Perang Kongo, Perang Terbesar di Benua Afrika



Foto siluet tentara di Kongo. (hrw.org)

Afrika. Inilah nama benua yang terletak di antara Samudera Hindia & Samudera Atlantik. Benua ini terkenal karena memiliki sumber daya alam yang melimpah, wilayah liar yang masih tersebar luas, & orang-orang kulit hitam yang perkasa.

Di sisi lain, Afrika juga dikenal sebagai salah satu wilayah yang penuh konflik. Anggapan itu tidak sepenuhnya salah karena faktanya, Benua Afrika memang masih sering diliputi konflik & perang saudara hingga sekarang. Dari sekian banyak konflik di sana, salah satu yang terbesar & paling berdarah adalah Perang Kongo yang terjadi di jantung Benua Afrika.

Perang Kongo (Congo War; Guerre du Congo) adalah rangkaian konflik yang terjadi di Republik Demokratik Kongo (dulunya Zaire). Perang ini sendiri bisa dibagi ke dalam 2 periode : periode pertama (1996 - 1997) & periode kedua (1998 - 2003). Total, ada sekitar 8 negara Afrika & puluhan kelompok milisi yang terlibat dalam perang ini.

Akibat begitu banyaknya pihak yang terlibat dalam perang ini & besarnya jumlah kerugian yang timbul, perang ini - khususnya perang yang terjadi dalam periode kedua - kerap disebut juga sebagai "Perang Besar Afrika" (African Great War) atau "Perang Dunianya Afrika" (African's World War). Artikel ini sendiri akan fokus membahas Perang Kongo Pertama, perang yang menjadi penyebab mengapa Zaire berganti nama menjadi Kongo.



LATAR BELAKANG

1. Perang Sipil Rwanda (1990 - 1993)

Bicara soal perang di Kongo, mau tak mau kita harus melongok sedikit soal perang sipil Rwanda karena perang di Kongo bisa dibilang merupakan imbas langsung dari perang sipil di Rwanda. Perang sipil di Rwanda merupakan perang yang terjadi di Rwanda antara etnis mayoritas Hutu dengan etnis minoritas Tutsi pada tahun 1990-1993.

Akar dari perang tersebut bermula setelah melalui referendum yang diadakan Belgia untuk memerdekakan Rwanda, mayoritas rakyat Rwanda menginginkan perubahan sistem politik yang selama masa penjajahan didominasi oleh etnis Tutsi. Rwanda akhirnya merdeka pada tahun 1962 & peristiwa kemerdekaan Rwanda langsung diikuti oleh eksodus besar-besaran etnis Tutsi dari Rwanda ke negara-negara sekitarnya.

Tahun 1990, sebuah kelompok bersenjata bernama Rwandan Patriotic Front (RPF; Front Patriotik Rwanda) yang terdiri dari komunitas pengungsi Tutsi di Uganda melakukan serangan ke Rwanda. Akibatnya, meletuslah Perang Sipil Rwanda antara kelompok milisi RPF (Tutsi) melawan tentara Rwanda & milisi Interahamwe (Hutu).

Tentara Rwanda di depan tumpukan tengkorak korban pembantaian. (iluvsa.blogspot.com)

Selama perang sipil tersebut, berlangsung juga aksi-aksi pembantaian yang dilakukan oleh milisi Hutu & militer Rwanda terhadap komunitas Tutsi di Rwanda (dikenal sebagai "genosida Rwanda"). Mobutu Sese Seko sendiri selaku pemimpin dari Zaire (sekarang bernama RDK) memberikan dukungannya pada pemerintah Rwanda & etnis Hutu. Namun dalam perkembangannya, pasukan RPF berhasil mendesak pasukan pemerintah Rwanda sehingga perang akhirnya berakhir pada tahun 1993 dengan kemenangan pasukan RPF.

Usai kemenangan pasukan RPF (Tutsi), jutaan orang Hutu yang masih ada di Rwanda pun berbondong-bondong mengungsi ke wilayah timur Zaire karena takut etnis Tutsi akan melakukan genosida balasan terhadap mereka. Dampaknya, wilayah Zaire timur pun selanjutnya menjadi semacam kompleks pengungsian besar.

Di antara mereka, terdapat pula sejumlah anggota milisi Interahamwe (Hutu) yang memakai wilayah kompleks pengungsian di Zaire timur sebagai markas untuk melacarkan serangan balasan ke Rwanda. Merasa bahwa menggulingkan rezim Mobutu adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri ancaman milisi Hutu terhadap Rwanda, pemerintah Rwanda pun menyiapkan pasukannya kalau-kalau pecah pertempuran melawan rezim Mobutu di kawasan Afrika.


2. Perang Sipil Angola

Tidak lama sesudah Angola merdeka dari tangan Portugal pada tahun 1975, kelompok-kelompok gerilyawan yang sebelumnya bersatu melawan Portugal (MPLA, FNLA, & UNITA) pada perkembangannya berkonflik satu sama lain untuk memperebutkan kekuasaan di Angola. Konflik sempat mereda setelah ketiganya sepakat membentuk pemerintahan transisi usai perundingan yang diadakan di Portugal.

Periode damai tersebut sayangnya tak berlangsung lama setelah 2 bulan kemudian, konflik antara ketiganya kembali meletus menjadi apa yang dikenal sebagai "perang sipil Angola". Konflik yang terjadi di Angola kemungkinan tidak akan berkepanjangan jika negara-negara adidaya tidak ikut campur. Jika Uni Soviet & Kuba mendukung kelompok komunis MPLA yang memegang tampuk kepemimpinan Angola, maka UNITA & FNLA mendapat dukungan dari AS, Zaire, & Afrika Selatan.

Sikap Zaire dalam perang sipil Angola pada gilirannya berdampak pada sikap Angola ketika Perang Kongo meletus. Pemerintah Angola berusaha memanfaatkan momen tersebut untuk menumbangkan rezim berkuasa Mobutu yang mendukung milisi anti-komunis di Angola, sementara milisi anti-komunis UNITA sempat mengirimkan bantuan pasukan ke Zaire untuk membantu pasukan pro-Mobutu.


Peta Zaire & negara-negara tetangganya. (yoyolz / pinterest.com)


3. Terbentuknya Aliansi Pemberontak di Zaire

Di dalam Zaire, sejak dekade 90-an muncul gelombang ketidakpuasan terhadap rezim Mobutu menyusul ambruknya ekonomi Zaire akibat maraknya kegiatan korupsi di tubuh pemerintahan & berhentinya dukungan dari AS terhadap rezim Mobutu.

AS awalnya mendukung rezim Mobutu karena rezim Mobutu dianggap bisa membantu menghentikan penyebaran paham komunisme di Afrika tengah. Namun menyusul runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991, AS tidak lagi memiliki alasan untuk mendukung Mobutu. Kondisi Zaire hanya semakin lemah menyusul semakin rapuhnya kondisi presiden Mobutu akibat penyakit kanker yang dideritanya.

Di tempat lain, Laurent-Desire Kabila - penganut faham komunisme & pengikut Lubumba yang dulu dikudeta oleh Mobutu - yang selama ini bersembunyi di pelosok Tenggara Zaire & memimpin kelompok pemberontak bernama Popular Revolutionary Party (PRP; Partai Revolusioner Populer) mulai menjalin kontak dengan kelompok-kelompok pemberontak lain di berbagai wilayah Zaire & kelompok milisi Tutsi.

Kelompok-kelompok tersebut kemudian melebur menjadi kelompok pemberontak baru bernama Alliance des Forces Democratiques pour la Liberation du Congo-Zaire (AFDL-CZ; Aliansi Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Kongo-Zaire) atau biasa disingkat AFDL. Pembentukan AFDL & lemahnya kondisi internal Zaire menyebabkan perang di Zaire hanya tinggal menunggu waktu...


Mobutu Sese Seko. (Jean-Marc Bouju / theguardian.com)


BERJALANNYA PERANG KONGO I

Dimulainya Peperangan

Tanggal 4 Oktober 1996, kelompok pemberontak dari etnis Banyamulenge - etnis lokal yang masih memiliki hubungan dekat dengan etnis Tutsi - melakukan serangan ke desa Lamera, Zaire timur. Pemerintah pusat Zaire yang merasa terkejut dengan serangan tersebut kemudian menyatakan bahwa mereka akan mendeportasi etnis Banyamulenge keluar dari wilayah Zaire secara besar-besaran.

Bukan hanya itu, pemerintah Zaire menambahkan bahwa etnis Banyamulenge yang tidak meninggalkan Zaire dalam waktu 2 minggu akan dieksekusi di tempat. Keputusan pemerintah tersebut ternyata menjadi blunder karena semakin memperkeruh keadaan & meningkatkan tensi pemberontakan.

Awal Oktober 1996, kelompok gabungan pemberontak anti-Mobutu & tentara nasional Rwanda melakukan serangan ke wilayah Zaire timur melalui Burundi. Hanya dalam waktu relatif singkat, kota-kota penting di kawasan itu seperti Uvira & Bukavu berhasil mereka kuasai. Pasukan gabungan tersebut kemudian melaju lebih jauh & menyerang kota penting lainnya, Goma, dari arah selatan & timur sekaligus.

Pasukan Zaire yang ditempatkan di kawasan tersebut akhirnya dipaksa mundur pada awal November. Pemerintah Zaire lantas meresponnya dengan mengirim pasukan yang dilengkapi dengan senjata berat ke wilayah Zaire timur, namun keberadaan mereka di sana ternyata malah memperburuk keadaan. Sebabnya adalah karena para tentara yang dikirim ke sana tidak bisa membedakan penduduk lokal dengan anggota pemberontak, mereka kerap melakukan pendobrakan paksa & perampasan di rumah-rumah penduduk setempat.

Kompleks pengungsian Hutu di Zaire timur. (Joonasl / wikipedia.org)

Melihat kondisi Zaire timur yang semakin memburuk & bisa mengancam nyawa pengungsi-pengungsi Hutu di sana, PBB menyusun rencana untuk segera mengirim pasukan multinasional. Mendengar berita tersebut, pasukan AFDL lantas melakukan serangan kilat ke kompleks pengungsi Hutu di Kimbumba dengan tujuan mengarahkan para pengungsi untuk kembali ke Rwanda tanpa melukai mereka & mencegah campur tangan asing.

Pasukan Zaire & milisi Hutu yang menjaga kompleks pengungsian tersebut berusaha melawan sekuat tenaga, namun mereka gagal mencegah para pengungsi melarikan diri ke arah Rwanda & sekitarnya. Hilangnya kompleks pengungsian tersebut karena para pengungsinya pergi melarikan diri pada gilirannya menyebabkan PBB mengurungkan niatnya untuk mengirim pasukan multinasional. Di lain pihak, banyak dari anggota milisi Hutu yang melarikan diri ke wilayah Zaire barat.


Hilangnya Wilayah Zaire Satu Demi Satu

Setelah berhasil mengembalikan para pengungsi Hutu ke wilayah Rwanda, pasukan anti-Mobutu & pemerintah Rwanda kini memfokuskan diri pada tujuan utama mereka : menggulingkan rezim Mobutu. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menyusun rencana untuk menguasai seluruh wilayah timur Zaire. Ada indikasi bahwa rencana menguasai Zaire timur tersebut berlatar belakang ekonomi karena wilayah timur Zaire memang banyak mengandung mineral-mineral berharga mahal seperti kobalt, emas, & seng.

Dalam perang merebut wilayah timur Zaire, negara-negara seperti Angola, Burundi, & Uganda mulai melibatkan diri. Angola yang memiliki pemerintahan berhaluan komunis ingin menumbangkan rezim Mobutu yang menyokong kelompok pemberontak anti-komunis di negaranya. Burundi yang letaknya bersebelahan dengan Rwanda memang memiliki pemerintahan yang didominasi oleh etnis Tutsi.

Dan Uganda? Mereka melakukan itu sebagai semacam bentuk balas budi di mana ketika terjadi perang sipil di Uganda pada dekade 1980-an, banyak dari anggota perantauan Tutsi di Uganda yang membantu pasukan pimpinan Yoweri Museveni untuk menggulingkan rezim berkuasa di Uganda saat itu. Sebagai konsekuensinya, Zaire pun kini harus bertempur melawan 4 negara sekaligus : Angola, Burundi, Rwanda, & Uganda.

Peta kota-kota di Zaire. (worldmapmaker.com)

Kembali ke medan perang. Selama pertempuran di wilayah Zaire timur, pasukan Zaire terbukti tidak bertaji karena rendahnya rasa disiplin & keahlian mereka dalam berperang. Sebagai contoh, pasukan Zaire begitu mudah kehilangan persenjataan beratnya sejak awal pertempuran.

Pasukan Zaire juga mudah panik & seringkali langsung mundur tanpa perlawanan berarti ketika pasukan musuh mendekat. Ketika bergerak mundur, pasukan Zaire sering melakukan aksi-aksi perampasan kepada penduduk lokal Zaire di rute yang mereka lewati.

Akibatnya sudah jelas, penduduk lokal Zaire semakin kehilangan simpati terhadap tentara negara mereka sendiri. Sadar bahwa tentara nasionalnya tidak bisa diandalkan, pemerintah Zaire terpaksa memakai milisi Hutu dari Rwanda, milisi anti-komunis Angola, & tentara-tentara bayaran untuk membantu menahan laju pasukan gabungan anti-Mobutu.

Habisnya kesabaran penduduk lokal terhadap tindakan-tindakan tentara Zaire akhirnya berbuntut pada pertempuran di kota penting Kisangani pada bulan Maret 1997. Saat itu, penduduk lokal memandu kelompok pemberontak ke lokasi-lokasi strategis di sekitar kantong pertahanan milik pasukan Zaire & milisi Hutu.

Pasukan gabungan anti-Mobutu kemudian mengepung kantong pertahanan tersebut dari 3 arah sekaligus. Hanya dalam waktu 2 hari, kota Kisangani akhirnya berhasil dikuasai oleh pasukan anti-Mobutu. Pasukan Zaire sendiri sempat mengirimkan pesawat tempur untuk menggempur pasukan anti-Mobutu. Namun usai pertempuran di Kisangani, pesawat tempur milik Zaire tidak pernah terlihat digunakan lagi.


Tentara Rwanda. (Finbarr O'Reilly / reuters.com)


Menuju Kinshasa

Jatuhnya Kisangani ke tangan pasukan anti-Mobutu sekaligus meruntuhkan reputasi Mobutu karena pertempuran di Kisangani menunjukkan bagaimana opini masyarakat Zaire terhadap rezim Mobutu.

Perlahan tapi pasti, pasukan gabungan anti-Mobutu pun mulai bergerak ke arah ibukota Zaire, Kinshasa, & merebut kota-kota di rute yang mereka lewati. Namun, pergerakan pasukan gabungan anti-Mobutu tersebut sempat tertahan ketika mereka mendapatkan perlawanan sengit dari pasukan gabungan Zaire & milisi anti-komunis Angola di kota Kenge yang hanya berjarak 120 mil dari Kinshasa.

Selama perang ini, pasukan anti-Mobutu sempat dipaksa mundur kembali ke Zaire timur sebelum akhirnya berhasil memukul balik pasukan pro-Mobutu. Korban jiwa yang timbul akibat pertempuran di Kengen mencapai 300 orang lebih & menjadikan pertempuran tersebut sebagai salah satu peristiwa pertempuran paling berdarah selama Perang Kongo Pertama. Sesudah pertempuran tadi, pasukan anti-Mobutu terus bergerak & akhirnya tiba di tepi Kinshasa.

Pembicaraan damai sempat dilakukan untuk mencegah konflik meletus, namun gagal setelah perwakilan yang dikirim oleh kelompok anti-Mobutu ditembak oleh seorang pendukung Mobutu. Pasukan anti-Mobutu akhirnya masuk membanjiri kota Kinshasa, namun pertumpahan darah tidak timbul karena pasukan Zaire sudah diinstruksikan sebelumnya untuk bekerja sama dengan pasukan anti-Mobutu bila situasi sudah tidak mendukung.

Perang Kongo Pertama pun secara resmi berakhir pada bulan Mei 1997 dengan kemenangan pasukan anti-Mobutu. Mobutu sendiri berhasil melarikan diri tepat sebelum pasukan gabungan yang menentangnya menduduki kota Kinshasa. Ia tidak pernah kembali lagi ke Zaire hingga akhirnya meninggal pada tanggal 7 September 1997 di kota Rabat, Maroko.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



DAFTAR PERANG KONGO

-  Perang Kongo I (artikel ini)
Perang Kongo II



RINGKASAN PERANG KONGO PERTAMA

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : 1996 - 1997
-  Lokasi : Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo)

Pihak yang Bertempur
(Grup)  -  UNITA, milisi Hutu Rwanda
(Negara)  -  Zaire
      melawan
(Grup)  -  AFDL
(Negara)  -  Angola, Burundi, Rwanda, Uganda

Hasil Akhir
-  Kemenangan AFDL & sekutu-sekutunya
-  Laurent-Desire Kabila menjadi presiden Zaire yang baru
-  Nama "Zaire" diubah menjadi "Republik Demokratik Kongo"

Korban Jiwa
Tidak diketahui



REFERENSI

BBC. 2001. "Timeline: DR Congo conflict".
(news.bbc.co.uk/2/hi/africa/573051.stm)

French, H.W.. 1997. "Anatomy of an Autocracy: Mobutu's 32-Year Reign".
(movies2.nytimes.com/library/world/africa/051797zaire-mobutu.html)

GlobalSecurity.org. "Congo War".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/congo.htm)

Thom, W.G.. 1997. "Congo-Zaire's 1996-97 Civil War in the Context of Evolving Patterns of Military Conflict in Africa in the Era of Independence".
(www.lib.unb.ca/Texts/JCS/fall99/THOM.htm)

Uppsala Conflict Data Program. "Burundi".
(www.ucdp.uu.se/gpdatabase/gpcountry.php?id=26)

Wikipedia. "Democratic Republic of the Congo".
(en.wikipedia.org/wiki/Democratic_Republic_of_the_Congo)

Wikipedia. "First Congo War".
(en.wikipedia.org/wiki/First_Congo_War)

Wikipedia. "Rwanda".
(en.wikipedia.org/wiki/Rwanda)

Wikipedia. "Uganda - History".
(en.wikipedia.org/wiki/Uganda#History)

Zapatta, M.. 2011. "Congo: The First and Second Wars, 1996-2003".
(enoughproject.org/blog/congo-first-and-second-wars-1996-2003)
  





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



4 komentar:

  1. Kasihan sodara2 kita di Afrika sana... kok peraaaang mulu.... Sekarang Pantai Gading yang panas... :(

    Saya pikir, perang paling ganas ada di Sudan, seperti di film "Black Hawk Down". Ternyata bukan.... :(

    BalasHapus
  2. semoga harapan dan impian bangsa ini tercapai menjadi bangsa yg hidup damai. Tuhan pasti memberikan saat yang indah. make our dream come true

    BalasHapus
  3. IA KASIAN TAPI BAGAIMNA BUAT KALO UDAH TERJADI

    BalasHapus
  4. Thanks artikelnya, sangat bermanfaat untuk menambah wawasan

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.