Perang Sipil Burundi, Arena Lain Konflik Hutu-Tutsi



Senapan serbu sisa-sisa perang sipil Burundi yang sedang dibakar. (allafrica.com)

Burundi adalah nama dari sebuah negara kecil di Afrika yang tidak memiliki wilayah laut. Negara dengan ibukota Bujumbara ini berbatasan dengan Rwanda di sebelah utara, Tanzania di timur & selatan, serta Republik Demokratik Kongo & Danau Tanganyika di sebelah barat.

Di masa lalu, Burundi merupakan koloni alias daerah jajahan dari Jerman & Belgia. Pasca merdeka, negara ini beberapa kali mengalami kerusuhan etnis yang akhirnya memuncak menjadi perang sipil Burundi.

Perang sipil Burundi (Burundian civil war; guerre civile Burundaise) adalah sebutan untuk perang saudara yang berlangsung di Burundi pada tahun 1993 hingga 2006. Perang ini merupakan konflik antara militer pemerintah Burundi, kelompok pemberontak dari etnis Hutu, & milisi-milisi dari etnis Tutsi.

Walaupun perang ini kalah terkenal dibandingkan dengan perang sipil Rwanda yang juga membenturkan etnis Hutu & Tutsi, korban tewas akibat perang ini juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena korbannya dilaporkan mencapai lebih dari 300.000 jiwa.



LATAR BELAKANG

Secara garis besar, ada 2 etnis utama yang menyusun komposisi kependudukan Burundi. Kedua etnis tersebut adalah etnis mayoritas Hutu & etnis minoritas Tutsi. Kedua etnis tersebut sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal fisik & budaya.

Namun oleh Belgia selaku negara penguasa wilayah Burundi sejak tahun 1916, etnis Tutsi cenderung diistimewakan dalam banyak hal, misalnya dalam hal siapa yang menempati jabatan di institusi-institusi kolonial. Hal tersebut lantas mengundang rasa tidak suka dari etnis Hutu yang merasa diperlakukan bak warga kelas 2 di tanah kelahirannya sendiri.

Tahun 1962, Burundi merdeka sebagai negara monarki konstitusional di mana etnis Hutu & Tutsi memiliki perwakilannya masing-masing di parlemen. Namun riwayat Burundi sebagai negara kerajaan tidak berlangsung lama setelah pada tahun 1967, Michel Micombero yang berasal dari etnis Tutsi melakukan kudeta militer & membubarkan kerajaan.

Etnis Hutu semakin tertekan karena Micombero menjalankan gaya pemerintahan otoriter. Maka, pada tahun 1972 & 1988, etnis Hutu setempat nekat melakukan pemberontakan & penyerangan kepada etnis Tutsi di dekatnya. Pemerintah Rwanda lantas meresponnya dengan cara melakukan pembunuhan membabi buta yang berujung pada tewasnya lebih dari 150.000 warga etnis Hutu.

Peta lokasi Burundi. (bbc.co.uk)

Tahun 1993, Burundi akhirnya kembali menggelar pemilu multipartai di mana Melchior Ndadaye yang berasal dari etnis Hutu sukses memenangkan pemilu & menjadi presiden baru Burundi. Namun pada bulan Oktober di tahun yang sama, Ndadaye tewas dibunuh oleh tentara Tutsi ketika terjadi percobaan kudeta.

Pasca peristiwa tersebut, Burundi langsung dilanda aksi saling bunuh antara massa etnis Hutu dengan massa etnis Tutsi. Dikombinasikan dengan maraknya kemiskinan & rendahnya tingkat pendidikan penduduk Burundi mengingat mayoritas dari mereka hidup sebagai petani tradisional dengan pendapatan seadanya, terseretnya Burundi ke dalam periode yang penuh darah pun jadi tidak bisa dihindari lagi.



BERJALANNYA PERANG

Ada 3 kelompok bersenjata utama dari etnis Hutu yang aktif dalam perang sipil Burundi. Ketiga kelompok tersebut adalah Forces Nationales de Liberation (FNL; Pasukan Nasional Pembebasan) yang sudah terbentuk sejak dekade 1970-an, Forces pour la Defense de la Democratie (FDD; Tentara untuk Mempertahankan Demorkrasi) yang ada sejak dekade 1980-an, serta Forces Armees du peuple (FAP; Pasukan Tentara Rakyat).

Kelak, FNL & FAP membentuk aliansi dengan nama Forces de Liberation Nationale (FALINA; Pasukan Pembebasan Nasional). Lawan dari kelompok-kelompok tadi adalah militer Burundi beserta milisi-milisi Tutsi.

Pasca tewasnya Presiden Ndadaye, pemerintah Burundi (Hutu) & pelaku percobaan kudeta (Tutsi) melakukan perundingan untuk menentukan pemimpin baru & mengakhiri krisis politik. Hasilnya, mereka sepakat untuk mengangkat Cyprien Ntaryamira yang berasal dari etnis Hutu sebagai presiden baru Burundi pada bulan Oktober 1993.

Namun naas, ketika Ntaryamira sedang menaiki pesawat bersama-sama dengan presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana, pesawat yang mereka tumpangi hancur ditembak jatuh di Rwanda pada awal tahun 1994 oleh pihak yang tidak jelas identitasnya. Akibat peristiwa tersebut, intensitas konflik Hutu-Tutsi di Rwanda & Burundi semakin meningkat.

Tentara Burundi yang sedang melakukan patroli. (theeastafrican.co.ke)

Bulan September 1994, sebuah pemerintahan koalisi antara etnis Hutu & Tutsi berhasil dibentuk dengan Sylvestre Ntibantunganya yang berasal dari etnis Hutu sebagai presidennya. Namun, pembentukan pemerintahan tersebut masih belum berhasil meredakan perang.

Dua tahun berselang, faksi militer Burundi yang berasal dari etnis Tutsi melakukan kudeta & menjadikan Pierre Buyoya sebagai presiden baru Burundi. Kudeta tersebut langsung menuai kecaman dari dunia internasional sehingga buntutnya, Burundi pun menerima sanksi pengucilan & embargo dari dunia internasional.

Selama perang berlangsung, militer Burundi melakukan relokasi paksa penduduk sipil ke kamp-kamp berpengamanan ketat untuk mencegah kelompok pemberontak setempat memanfaatkan pemukiman warga sebagai tempat bersembunyi & mendapatkan logistik.

Kondisi dari kamp-kamp tersebut bisa dibilang memprihatinkan akibat minimnya fasilitas memadai semisal air bersih. Sebagai akibatnya, tidak sedikit penghuni kamp yang jatuh sakit atau menderita kekurangan gizi. Namun warga sipil Burundi tidak memiliki pilihan lain karena jika mereka tinggal di luar kamp, mereka bisa dianggap sebagai anggota pemberontak & beresiko ditembak di tempat.

Tahun 1998, dengan difasilitasi oleh Presiden Tanzania, Julius Nyerere, Buyoya & perwakilan kubu oposisi berhasil merumuskan konstitusi sementara. Setahun kemudian, Nyerere meninggal & tugasnya sebagai fasilitator perundingan damai lalu dilanjutkan oleh mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela.

Hasilnya, pada tahun 2000 sebuah kesepakatan damai berhasil dicapai dalam perundingan di Arusha, Tanzania. Sayang FDD & FNL menolak mengakui kesepakatan damai sehingga perang saudara di Burundi pun terus berlanjut.

Bulan April 2003, Domitien Ndayizeye yang berasal dari etnis Hutu naik menjadi presiden baru Burundi & terlibat perundingan damai dengan FDD pada akhir tahun yang sama. Hasilnya, FDD setuju untuk meletakkan senjata & para anggotanya diserap ke dalam militer Burundi.

Tahun 2005, Burundi mengesahkan konstitusi baru via referendum & menggelar pemilu parlemen yang berhasil dimenangkan oleh CNDD, sayap politik dari FDD. Tak lama kemudian, parlemen baru Burundi memilih Pierre Nkurunziza (Hutu) sebagai presiden baru negara mereka. Bulan September 2006 menjadi akhir resmi dari perang sipil Burundi setelah pada bulan tersebut, pemerintah & FNL menandatangani kesepakatan damai permanen di Dar es Salaam, Tanzania.


Milisi FNL. (gulf-times.com)


KONDISI PASCA PERANG

Seperti halnya perang saudara lain di Afrika, perang sipil Burundi juga merenggut korban jiwa yang sama sekali tidak sedikit. Korban tewas akibat perang ini dilaporkan mencapai lebih dari 300.000 jiwa. Selain korban tewas, perang sipil Burundi juga mengakibatkan kondisi Burundi porak poranda.

Sebagai akibatnya, Burundi yang dari saat sebelum perang merupakan negara miskin & kurang berkembang kondisinya sesudah perang menjadi semakin mengenaskan. Hingga sekarang, mayoritas penduduk Burundi bergantung pada aktivitas pertanian & peternakan tradisional untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Walaupun perang sudah berakhir, rasa saling tidak percaya antara etnis Hutu & Tutsi masih tetap mengendap. Kondisi politik & keamanan negara tersebut juga tetap rentan. Contoh paling baru bisa dilihat pada kondisi Burundi sekarang ini. Nkurunziza yang sudah 2 kali menjadi presiden Burundi ngotot ingin kembali mengikuti pilpres walaupun konstitusi Burundi melarang hal tersebut.

Sebagai akibatnya, muncul kerusuhan di seantero Burundi & puluhan ribu orang terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga Burundi. Semoga saja kondisi Burundi tidak semakin parah, karena perang saudara yang pernah meletus di negara tersebut harusnya bisa menjadi contoh nyata mengenai buruknya sikap fanatisme golongan & tindakan kekerasan ketika terjadi perbedaan pendapat.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : 1993 - 2006
-  Lokasi : Burundi

Pihak yang Bertempur
(Grup)  -  FNL, FDD, FAP, milisi etnis Hutu
       melawan
(Grup)  -  milisi etnis Tutsi
       melawan
(Negara)  -  Burundi

Hasil Akhir
-  Perang berakhir tanpa pemenang yang jelas
-  Kelompok-kelompok pemberontak etnis Hutu menjadi partai politik legal

Korban Jiwa
Lebih dari 300.000 jiwa



REFERENSI

GlobalSecurity.org. "Burundi Civil War".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/burundi.htm)

GlobalSecurity.org. "Forces armees du peuple (FAP)".
(www.globalsecurity.org/military/world/para/frolina.htm)

GlobalSecurity.org. "Forces de liberation nationale (FALINA)".
(www.globalsecurity.org/military/world/para/ulina.htm)

GlobalSecurity.org. "Forces nationales de liberation (FNL)".
(www.globalsecurity.org/military/world/para/palipehutu.htm)

GlobalSecurity.org. "Forces pour la défense de la democratie (FDD)".
(www.globalsecurity.org/military/world/para/cndd.htm)

Insight on Conflict. 2015. "Burundi : Conflict Profile".
(www.insightonconflict.org/conflicts/burundi/conflict-profile/)

Nduwimana, P.. 2015. "Almost 40,000 flee Burundi amid political crisis".
(www.reuters.com/article/2015/05/06/us-burundi-politics-idUSKBN0NR0SX20150506)

R. Lemarchand & E.K. Eggers. 2008. "Burundi". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

ReliefWeb. 2006. "Burundi peace agreement signed".
(reliefweb.int/report/burundi/burundi-peace-agreement-signed)
  





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.