Konflik Mauritania-Senegal, Bara Xenofobia di Sahel Barat



Peta wilayah sahel. (431960807798738045.weebly.com)

Sahel adalah sebutan untuk wilayah yang terbentang di sebelah selatan Gurun Sahara. Tidak seperti Gurun Sahara yang kering kerontang, sahel memiliki kondisi yang relatif lebih bersahabat bagi manusia karena wilayah sahel berbatasan langsung dengan kawasan hutan subur di sebelah selatan. Sebagai akibatnya, wilayah sahel pun kerap dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk melakukan kegiatan bercocok tanam & menggembala.

Mauritania & Senegal adalah 2 dari sekian banyak negara yang termasuk dalam wilayah sahel. Kedua negara tersebut dipisahkan oleh Sungai Senegal yang bermuara di Samudera Atlantik. Menjelang dekade terakhir abad ke-20, penduduk di kedua negara terlibat bentrokan hebat yang awalnya dipicu oleh masalah perebutan lahan subur. Konflik ini kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Perang Perbatasan Mauritania-Senegal" kendati pasukan resmi masing-masing negara jarang terlibat kontak senjata secara langsung.



LATAR BELAKANG

Mauritania & Senegal memiliki sejumlah perbedaan penting dalam hal sosial budaya. Mauritania sektor sosial politiknya dikuasai oleh etnis Maure & memiliki etnis kulit hitam Fulani / Halpulaar sebagai warga etnis minoritasnya. Senegal di lain pihak komposisi penduduknya didominasi oleh etnis kulit hitam Wolof. Sementara dalam hal bahasa, jika Mauritania menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa utamanya, maka Senegal menetapkan bahasa Perancis sebagai bahasa resminya.

Di kedua sisi Sungai Senegal, tinggallah masyarakat yang terdiri dari beragam kelompok etnis. Mereka menjadikan aktivitas pertanian tradisional & penggembalaan sebagai sumber mata pencahariannya.

Tidak jarang suatu keluarga mengelola pertanian di sisi utara sungai pada musim hujan & ganti menggembalakan hewan ternak di sisi seberang pada musim kering. Ketika Senegal & Mauritania memperoleh kemerdekaan di tahun 1960 dengan Sungai Senegal sebagai batasnya, kehidupan tradisional penduduk setempat secara umum tetap tidak mengalami perubahan.

Peta Sungai Senegal & negara-negara di sekitarnya. (bbc.co.uk)

Pade dekade 1970-an, terjadi bencana kekeringan di sekitar Sungai Senegal. Supaya bisa tetap menghidupi keluarganya, kaum muda setempat lantas berduyun-duyun pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan.

Fenomena urbanisasi ini berdampak langsung pada berubahnya komposisi kependudukan di ibukota masing-masing negara. Jumlah penduduk etnis Maure yang tinggal di Dakar (Senegal) semakin banyak & populasi warga kulit hitam di Nouakchott (Mauritania) juga mengalami peningkatan.

Tahun 1983, pemerintah Mauritania mengeluarkan peraturan baru mengenai sistem kepemilikan lahan. Keluarnya peraturan ini membawa dampak negatif bagi penduduk yang sudah tinggal di sekitar Sungai Senegal selama turun-temurun. Pasalnya peraturan ini tidak mengindahkan pola hidup tradisional penduduk setempat yang sudah terbiasa bertani sambil beternak di kedua sisi sungai tanpa menetapkan batas wilayah yang jelas. Keluarnya peraturan baru ini juga diikuti dengan masuknya sejumlah besar kaum pendatang dari arah utara, sehingga penduduk setempat menjadi semakin terdesak.

Tahun 1987, terjadi penangkapan massal kepada sejumlah personil militer Mauritania atas tuduhan merencanakan kudeta. Menurut klaim pemerintah Mauritania, rencana kudeta ini didalangi oleh kelompok yang beranggotakan personil kulit hitam & didukung oleh pemerintah Senegal.

Keluarnya pernyataan tersebut tak pelak memanaskan hubungan di antara kedua negara. Dikombinasikan dengan memanasnya hubungan antar komunitas di sekitar Sungai Senegal, konflik terbuka di antara kedua negara pun menjadi semakin sulit untuk dihindari.


Kondisi di tepi Sungai Senegal. (britannica.com)


BERJALANNYA KONFLIK

Tanggal 9 April 1989, terjadi konflik perebutan lahan subur antara kelompok penggembala etnis Fulani (Mauritania) dengan petani etnis Soninke (Senegal) di Diawara, Senegal timur. Aparat perbatasan Mauritania yang mengetahui insiden tersebut lalu memutuskan untuk ikut campur & membunuh 2 warga Senegal dalam prosesnya. Mereka juga melakukan penahanan kepada sejumlah warga Senegal.

Begitu mendengar kabar tersebut, penduduk Senegal yang dilanda sentimen anti-asing (xenofobia) langsung melakukan penyerangan kepada penduduk asal Mauritania yang sedang tinggal di Senegal. Di kota Dakar, toko-toko yang dikelola oleh para imigran Mauritania diserang & pemiliknya diusir paksa. Penduduk Mauritania yang mendengar kabar tersebut ganti tidak terima & balas melakukan penyerangan kepada para imigran Senegal di Nouakchott beserta kota-kota besar lainnya.

Memasuki awal bulan Juni, jumlah warga imigran di masing-masing negara yang tewas / terluka diperkirakan sudah mencapai lebih dari 250 orang. Sementara 170.000 lainnya terpaksa mengungsi & digiring menuju bandara untuk dideportasi. Di Mauritania, aksi deportasi massal bukan hanya dilakukan kepada imigran asal Senegal, tetapi juga kepada penduduk kulit hitam yang sudah tinggal di Mauritania selama beberapa generasi.

Pada periode yang sama, pasukan Senegal & Mauritania juga sudah berkumpul di dekat perbatasan. Djibril Ould Abdellahi selaku Menteri Dalam Negeri Mauritania bahkan memperingatkan kalau negaranya siap berperang jika pihak Senegal memulainya. Pihak-pihak asing seperti Perancis, Kanada, Mali, hingga Palestina (PLO) sampai ikut turun tangan untuk mencoba mendamaikan kedua negara. Namun upaya mereka gagal menurunkan tensi di antara kedua negara.

Warga Mauritania di bandara Senegal saat hendak dideportasi.

Tanggal 21 Agustus, kedua negara menutup perbatasan & melakukan pemutusan hubungan diplomatik. Sementara itu di ibukota masing-masing negara, dampak dari perginya imigran mulai dirasakan oleh warga lokal.

Di Dakar, timbul fenomena kelangkaan makanan karena selama ini warga lokal membeli makanan dari toko-toko yang dikelola oleh imigran Mauritania. Di Nouakchott, dampak yang timbul lebih parah karena banyak sektor penting seperti perikanan & kesehatan yang mengandalkan warga kulit hitam sebagai tenaga kerja utamanya.

Pasca putusnya hubungan diplomatik, aksi pengusiran massal warga kulit hitam dari Mauritania sempat berhenti. Namun memasuki tahun 1990, pemerintah Mauritania kembali mengintensifkan kebijakan represifnya terhadap warga kulit hitam. Orang-orang kulit hitam yang tinggal di perkotaan ditangkap oleh aparat, dirampas kartu identitasnya, & kemudian dideportasi ke Senegal serta Mali. Sementara mereka yang tinggal di sekitar Sungai Senegal menjadi sasaran pembantaian oleh tentara.

Tahun 1990 juga ditandai dengan meningkatnya aksi-aksi penyerangan yang dilakukan oleh FLAM (Forces de Liberation Africaines de Mauritanie; Pasukan Pembebasan Afrika di Mauritania) di sekitar Sungai Senegal. FLAM adalah kelompok pemberontak yang sudah terbentuk sejak tahun 1983 & komposisi keanggotaannya diisi oleh etnis kulit hitam Mauritania. Karena hubungan kedua negara sedang berada dalam kondisi yang buruk, Senegal pun membiarkan FLAM memanfaatkan wilayahnya sebagai markas untuk melakukan penyerangan ke wilayah Mauritania.

Kendati konflik & pengusiran massal masih terus berlangsung, upaya untuk menyelesaikan konflik ini tetap tetap berjalan. Tanggal 18 Juli 1991, pemimpin kedua negara akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian damai. Di bulan yang sama, FLAM juga mengumumkan kalau pihaknya berhenti melakukan perlawanan bersenjata. Setahun kemudian, Senegal & Mauritania sepakat untuk membuka kembali perbatasan & memulihkan hubungan diplomatik.


Warga kulit hitam Mauritania yang kini tinggal di kamp pengungsian di Senegal. (irinnews.org)


KONDISI PASCA PERJANJIAN DAMAI

Walaupun perjanjian damai sudah dicapai di tahun 1991, dalam praktiknya konflik susulan masih berlanjut hingga beberapa tahun berikutnya. Tahun 1997, kedua belah negara yang dibantu oleh Mali sepakat untuk melakukan patroli bersama di sepanjang perbatasan. Membaiknya hubungan antara Senegal & Mauritania membuat sejumlah pengungsi mulai berani untuk kembali ke daerah asalnya masing-masing.

Berakhirnya konflik tidak serta merta memperbaiki nasib warga kulit hitam di Mauritania. Menjelang digelarnya pemilu di tahun 1992, pemerintah berkuasa Mauritania mempersulit upaya golongan kulit hitam untuk ikut menyumbangkan suaranya.

Sistem perbudakan modern yang menjadikan golongan kulit hitam sebagai budak juga masih tetap berlanjut di kawasan pedesaan Mauritania. Sementara itu di Senegal, para pengungsi menolak untuk kembali ke Mauritania jika tidak ada jaminan keamanan & pemberian ganti rugi.

Tahun 2008 atau 3 tahun pasca tergulingnya diktator Maaouya Ould Sid'Ahmed Taya yang sudah berkuasa selama 21 tahun, PBB & pemerintah Mauritania memulai program pemulangan puluhan ribu pengungsi Mauritania yang masih tinggal di Senegal. Program tersebut berakhir pada tahun 2012 dengan kembalinya 24.672 pengungsi Mauritania dari Senegal. Namun sebanyak 14.000 lainnya menolak untuk kembali & lebih memilih untuk menetap di Senegal  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN KONFLIK

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : 1989 - 1991
-  Lokasi : Mauritania, Senegal

Pihak yang Bertempur
(Negara)  -  Mauritania
      melawan
(Grup)  -  FLAM
(Negara)  -  Senegal

Hasil Akhir
-  Konflik berakhir tanpa pemenang yang jelas
-  Kekerasan bersenjata masih berlanjut hingga beberapa tahun berikutnya
-  Terjadi perubahan komposisi penduduk di Senegal, Mauritania, & Mali

Korban Jiwa
Tidak jelas (lebih dari 250 jiwa)



REFERENSI

Cultural Survival. 1998. "Conflict in Senegal River Valley".
(www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/conflict-senegal-river-valley)

E. Villechalane & M.M.F. Diaw. 2012. "UNHCR completes repatriation of more than 24,000 Mauritanians".
(www.unhcr.org/news/makingdifference/2012/3/4f71f54c6/unhcr-completes-repatriation-24000-mauritanians.html)

ECC Platform. 2014. "Communal Violence in Mauritania and Senegal 1989-1992".
(library.ecc-platform.org/conflicts/mauritanians-vs-senegalese)

Human Rights Watch. 1990. "Mauritania - Human Rights Developments".
(www.hrw.org/reports/1990/WR90/AFRICA.BOU-06.htm)

Human Rights Watch. 1993. "Mauritania - Human Rights Developments".
(www.hrw.org/reports/1993/WR93/Afw-05.htm)

Human Rights Watch - Mauritania - Human Rights Developments (1993)

Immigration and Refugee Board of Canada. 2006. "Mauritania: Terrorist acts or violence against civilians committed by the African Liberation Forces of Mauritania (Forces de libération africaines de Mauritanie, FLAM) since their formation in 1983".
(www.refworld.org/docid/45f1478216.html)

Polgreen, L.. 2008. "Army Officers Seize Power in Mauritania".
(www.nytimes.com/2008/08/07/world/africa/07mauritania.html)

SWAC. 2010. "Senegal-Mauritania conflict".
(www.oecd.org/countries/mauritania/44650413.pdf)

Tempest, R.. 1989. "In Senegal and Mauritania, Ethnic Conflict Rages Amid Talk of War".
(articles.latimes.com/1989-06-03/news/mn-831_1_senegal-river-mauritanian-president-abdou-diouf)

Tempest, R.. 1989. "In Senegal and Mauritania, Ethnic Conflict Rages Amid Talk of War - Page 2".
(articles.latimes.com/1989-06-03/news/mn-831_1_senegal-river-mauritanian-president-abdou-diouf/2)

Tempest, R.. 1989. "In Senegal and Mauritania, Ethnic Conflict Rages Amid Talk of War - Page 3".
(articles.latimes.com/1989-06-03/news/mn-831_1_senegal-river-mauritanian-president-abdou-diouf/3)
   





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



1 komentar:

  1. Xenphobia yang melanda kedua negara (Mauritania dan Senegal) justru telah merugikan kedua negara Afrika tersebut. Primodialisme dan etnosentrisme yang berlebihan justru memicu sikap rasisme, anarkisme dan diskriminasi. Dan alangkah lebih baik bilamana PBB atau Uni Afrika ikut terlibat dalam mengamankan perbatasan kedua negara tersebut seperti keberadaan UNAMEE di perbatasan Ethiopia-Eritrea dan AMISOM di Somalia.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.