Sejarah Modernisasi Jepang Sesudah Restorasi Meiji



Kartu pos yang menampilkan pemandangan ibukota Tokyo pada awal abad ke-20. (funnydroid.com)

Jika membicarakan soal sejarah Jepang, maka peristiwa Restorasi Meiji menjadi salah satu peristiwa yang paling terkenal. Wajar saja, pasalnya berkat restorasi itulah, Jepang yang awalnya merupakan negara terbelakang sejak itu mengalami perubahan total & bertransformasi menjadi salah satu negara termaju di Asia & bahkan dunia.

Bagi mereka yang tidak terlalu mendalami sejarah, Restorasi Meiji juga cukup familiar karena peristiwa tersebut kerap menjadi setting dari sejumlah karya hiburan berlatar belakang sejarah. Misalnya anime "Samurai X" & film "The Last Samurai".

Transformasi Jepang sesudah Restorasi Meiji memang terbilang mengagumkan. Pasalnya hanya dalam waktu kurang dari seabad pasca restorasi, Jepang sudah berhasil menjadi salah satu negara adidaya dunia & bahkan menjadi salah satu pemain penting dalam Perang Dunia II.

Lantas, apa rahasianya sehingga Jepang bisa mengalami transformasi sehebat itu hanya dalam waktu singkat? Jawabannya dapat pengunjung temukan dalam artikel kali ini. Dan supaya artikel ini tidak terlampau panjang, artikel ini hanya akan membahas proses modernisasi Jepang pada masa pemerintahan Kaisar Meiji dari tahun 1868 hingga 1912.



BIDANG POLITIK

Salah satu faktor pendorong utama terjadinya Restorasi Meiji adalah diberlakukannya perjanjian antara pemerintah Jepang & sejumlah negara maju. Bagi para penggagas restorasi, perjanjian-perjanjian tersebut dianggap tidak adil & harus direvisi karena memberikan hak-hak istimewa yang berlebihan kepada bangsa asing. Itulah sebabnya tidak lama sesudah Restorasi Meiji berhasil diwujudkan, mereka langsung bergerak cepat untuk mengupayakan agar isi perjanjian antara Jepang & negara-negara lain bisa diubah.

Sebagai upaya untuk mewujudkan revisi perjanjian internasional, pemerintah Jepang kemudian mengirimkan delegasi ke luar negeri pada tahun 1871. Pengiriman delegasi ini dikenal dengan sebutan "Misi Iwakura", di mana mereka melakukan kunjungan selama 2 tahun ke AS & negara-negara maju Eropa.

Jika melihat tujuan pembentukannya, Misi Iwakura sebenarnya bisa dikatakan sebagai misi yang gagal karena negara-negara terkait enggan mengubah isi perjanjiannya dengan Jepang. Namun dari misi itu pulalah, pemerintah Jepang mendapatkan pelajaran & informasi penting kalau mereka harus bisa semaju negara-negara tadi terlebih dahulu sebelum bisa dianggap setara.

Anggota Misi Iwakura di London, Inggris. (Kl833x9~commonswiki / wikipedia.org)

Mendirikan badan parlemen nasional dianggap sebagai salah satu solusinya karena sistem itulah yang sedang banyak digunakan di negara-negara Eropa & Amerika. Kendati pihak-pihak yang mendukung Restorasi Meiji sama-sama sepakat kalau Jepang perlu mendirikan parlemen, mereka masih belum sependapat mengenai bagaimana cara menyisipkan parlemen dalam sistem monarki Jepang.

Sistem parlemen Inggris & Jerman menjadi patokan utama dalam merencakan konsep parlemen Jepang mengingat 2 negara tersebut sama-sama berbentuk monarki konstitusional. Meskipun terlihat mirip, sistem parlemen yang dijalankan oleh Inggris & Jerman sebenarnya tidak benar-benar serupa. Jika parlemen Inggris memiliki kemandirian yang luas dalam menentukan kebijakan, maka wewenang parlemen Jerman lebih terbatas karena harus berbagi kekuasaan dengan kaisar.

Di sinilah perbedaan pendapat timbul. Golongan intelektual & progresif ingin supaya Jepang mengadopsi parlemen bergaya Inggris. Namun mereka yang berhaluan konservatif & tradisional lebih memilih sistem parlemen ala Jerman dengan alasan pandangan politik rakyat Jepang masih terbelakang, sehingga memberikan kebebasan terlalu luas pada mereka hanya akan menimbulkan kekacauan seperti yang terjadi di masa Revolusi Perancis.

Untuk mencegah timbulnya konflik yang tidak perlu, Kaisar Meiji lantas mengumumkan pada tahun 1881 kalau badan parlemen baru akan didirikan 10 tahun kemudian. Selama rentang periode tersebut, Menteri Hirobumi Ito melakukan kunjungan ke Inggris & Jerman untuk meminta saran dari politikus masing-masing negara.

Sepulangnya dari Eropa, Ito berkesimpulan kalau sistem parlemen Jerman adalah sistem yang paling cocok untuk Jepang. Maka, Ito & rekan-rekannya kemudian mulai menyusun naskah konstitusi baru yang kelak bakal menjadi pondasi bagi sistem pemerintahan Jepang.

Tahun 1889, konstitusi yang dimaksud akhirnya selesai dibuat & disahkan. Berdasarkan konstitusi ini, parlemen Jepang (Diet) memiliki hak untuk membuat peraturan & mengatur anggaran militer. Sementara kaisar Jepang memiliki kendali penuh atas militer & bisa membubarkan Diet jika dirasa perlu.

Namun dalam praktiknya, kaisar jarang turun tangan secara langsung & manuver politiknya lebih banyak diatur oleh "genro", badan penasihat yang beranggotakan para tetua klan Satsuma & Chosu, 2 klan utama yang memiliki peran penting dalam Restorasi Meiji. Setahun pasca pengesahan konstitusi tadi, Diet didirikan di mana sebagian anggotanya ditentukan dari hasil pemilu parlemen.

Berdasarkan komposisi anggotanya, parlemen Jepang terbagi ke dalam 2 kelompok dewan utama : Dewan Perwakilan yang keanggotaannya ditentukan oleh pemilu, serta Dewan Sebaya (Kizoku-In) yang beranggotakan tokoh-tokoh bangsawan berpengaruh di Jepang. Jika dibandingkan dengan parlemen negara lain, Kizoku-In memiliki kedudukan yang kurang lebih serupa dengan Rumah Bangsawan (House of Lords) di parlemen Inggris.

Awalnya, hanya mereka yang sudah membayar pajak berjumlah tertentu yang diperbolehkan untuk ikut serta dalam pemilu & memilih calon anggota Dewan Perwakilan. Baru pada tahun 1925, semua rakyat Jepang yang sudah cukup umur diberikan hak pilih yang setara.


Gedung parlemen Jepang di tahun 1890. (白拍子花子 / wikipedia.org)


BIDANG AGRARIS

Di era keshogunan, sektor pertanian menjadi sektor perekonomian yang paling dominan. Kendati hanya sekitar 20 persen lahan di Jepang yang bisa digunakan untuk bercocok tanam, kenyataannya lahan pertanian di Jepang cukup produktif dalam mencukupi kebutuhan pangan domestik & menghasilkan komoditas-komoditas ekspor seperti teh & sutra.

Ketika keshogunan akhirnya runtuh, rezim Jepang yang baru berkomitmen mengubah Jepang menjadi negara industri yang maju. Namun sebelum cita-cita tersebut bisa diwujudkan, pemerintahan Meiji tetap mengembangkan sektor pertanian secara serius supaya bisa mendapatkan sumber penghasilan sebanyak mungkin.

Lahan-lahan subur di Jepang pada awalnya dimonopoli oleh daimyo, semacam kelas bangsawan yang memiliki lahan luas & prajuritnya sendiri. Di wilayah kekuasaan masing-masing daimyo, para petani hanya boleh menanam tanaman yang diizinkan oleh daimyo. Namun menyusul terjadinya Restorasi Meiji, para daimyo direkrut menjadi kepala daerah / dijadikan pensiunan yang kebutuhan hidupnya ditanggung oleh negara.

Lahan-lahan para dainyo juga diambil alih oleh pemerintahh yang kemudian menjualnya kembali ke publik pada tahun 1871. Selain melakukan reformasi kepemilikan lahan, pemerintah Jepang juga memberikan kebebasan penuh kepada golongan petani untuk menanam komoditas apapun selama komoditas tersebut menguntungkan.

Teh menjadi salah satu komoditas yang paling banyak ditanam mengingat tanaman ini memiliki tingkat permintaan yang tinggi di dalam & luar negeri. Kebetulan minum teh secara bersama-sama memang menjadi bagian dari budaya sehari-hari masyarakat Jepang. Sementara di luar negeri, AS menjadi importir terbesar teh Jepang.

Untuk mendongrak jumlah hasil panen di tengah keterbatasan lahan, langkah-langkah inovatif seperti seleksi benih & pengembangan sistem irigasi diadopsi oleh para petani Jepang dengan dibantu oleh pemerintah. Hasilnya, hanya dalam rentang waktu 30 tahun, jumlah hasil panen Jepang meningkat hingga lebih dari 300 persen!

Suasana di tempat budidaya ulat sutra. (inserco.org)

Teh bukanlah satu-satunya komoditas ekspor andalan Jepang. Di akhir era keshogunan, Jepang sempat menjadi penyuplai utama sutra ke AS. Jika dibandingkan dengan sutra produksi Eropa & Cina, sutra buatan Jepang sebenarnya tergolong berkualitas rendah. Namun akibat wabah penyakit ulat sutra di Eropa & timbulnya Pemberontakan Taiping di Cina, pasokan sutra dari kedua wilayah tadi menjadi terganggu sehingga para importir asal AS kemudian melirik sutra Jepang sebagai alternatif.

Saat industri peternakan ulat sutra / serikultur di Eropa & Cina mulai pulih, sutra Jepang sempat kembali ditinggalkan oleh konsumen luar negeri. Pemerintah Jepang sesudah era keshogunan menaruh perhatian pada serius pada masalah ini mengingat mereka memperoleh pemasukan yang tidak sedikit dari pajak ekspor sutra. Maka, pemerintah Jepang kemudian menetapkan standar kualitas minimum mengenai sutra yang boleh diekspor.

Mesin-mesin pemintal & pengolah sutra juga diimpor dalam jumlah besar supaya Jepang tetap bisa memproduksi sutra dalam jumlah besar tanpa mengurangi kualitasnya. Hasilnya, hingga nyaris 1 abad berikutnya sutra secara konsisten menjadi komoditas ekspor utama Jepang. Menggeliatnya industri sutra juga berdampak pada munculnya kelas pedagang baru yang bertindak sebagai perantara antara produsen sutra dengan pedagang luar negeri.

Selain sutra, kapas menjadi komoditas tekstil lain yang juga memiliki permintaan tinggi, khususnya dari dalam negeri. Awalnya produsen kapas Jepang kewalahan memenuhi tingginya angka permintaan, sehingga Jepang di awal-awal era Meiji sempat mengimpor kapas dalam jumlah besar. Namun titik balik terjadi setelah pada tahun 1883, sejumlah pedagang & mantan daimyo membentuk perusahaan kapas "Osaka Boseki Kaisha" (OBK; Pabrik Pemintalan Osaka).

Bagian dalam pabrik pemintalan kapas. (grips.ac.jp)

Karena OBK terbukti sukses besar, para pebisnis Jepang lainnya kemudian berduyun-duyun turut menjajal sektor ini, sehingga muncullah pabrik-pabrik kapas yang baru di seantero Jepang. Kian banyaknya pabrik kapas yang bermunculan lantas berdampak pada timbulnya arus urbanisasi. Banyak wanita Jepang yang meninggalkan desanya untuk bekerja di pabrik kapas.

Kendati fenomena ini di satu sisi membantu mengurangi pengangguran, di sisi lain banyak dari buruh wanita tersebut yang hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Para buruh tersebut harus bekerja selama belasan jam setiap harinya & tidur sambil berdesak-desakan di asrama pada malam hari.

Sebagai akibatnya, kaum buruh sempat beberapa kali melakukan aksi protes & mogok kerja. Namun bukannya mendengarkan keluhan mereka, pemerintah Jepang yang ingin menjaga pertumbuhan ekonominya justru menetapkan kalau aksi mogok kerja bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.



BIDANG EKONOMI & INFRASTRUKTUR

Sebagai metode untuk menetapkan alat pembayaran yang sah & standar, sejak tahun 1871 Jepang mengeluarkan mata uang yen sebagai mata uang resmi negara. Sebelum yen dikeluarkan, masing-masing daerah di Jepang pada awalnya memiliki hak untuk mencetak uang kertas & koin logam mulianya sendiri-sendiri.

Awalnya kewenangan untuk mencetak uang diserahkan pada sejumlah bank swasta yang sudah disertifikasi oleh pemerintah. Namun karena sistem tersebut dianggap malah menimbulkan kekacauan, pada tahun 1882 Bank Nippon didirikan sebagai satu-satunya instansi resmi yang berhak mencetak uang yen. Selain mendirikan bank nasional, bank-bank lain juga didirikan untuk membantu menyediakan dana bagi para pengusaha & petani.

Di sejumlah negara otoriter yang menerapkan sistem ekonomi liberal, pemerintah & konglomerat swasta kerap terlibat simbiosis mutualisme. Pemerintah memberikan perlindungan kepada bisnis para konglomerat dengan cara menjamin stabilitas dalam negeri, menyediakan kemudahan dalam mendapatkan modal & mengekspor produknya, hingga memberikan semacam kekebalan hukum kepada para konglomerat. Sebagai gantinya, para konglomerat tadi membantu menyerap tenaga kerja & mempercepat modernisasi dengan cara membuka kompleks industri baru.

Pabrik kapal Mitsubishi di Nagasaki pada tahun 1910. (oldtokyo.com)

Fenomena demikian juga terjadi di Jepang pada era Meiji. Sejumlah pebisnis menjalin kontak dengan tokoh-tokoh di pemerintahan supaya bisa mendapatkan kemudahan & hak istimewa dalam mengembangkan bisnisnya. Para pebisnis yang dekat dengan pemerintah ini dikenal dengan sebutan "seisho", sementara organisasi & jaringan bisnis mereka dikenal dengan sebutan "zaibatsu".

Satu dari sekian banyak zaibatsu yang terbentuk di era Meiji adalah Mitsubishi, yang di masa kini lebih dikenal dengan produk-produk otomotifnya. Mitsubishi sendiri awalnya merupakan perusahaan kapal milik negara yang dibeli oleh Iwasaki Yataro pada tahun 1871. Saat militer Jepang teribat konflik, Mitsubishi membantu menyediakan kapal angkut untuk mereka.

Sebagai balas jasa atas sikap kooperatif Mitsubishi, pemerintah Jepang memberikan bantuan dana & hak-hak istimewa pada Mitsubishi. Saat Mitsubishi tumbuh menjadi kian besar, perusahaan tersebut kemudian turut menjajal sektor lain seperti pertambangan batu bara & perbankan.

Tantangan terbesar bagi Jepang untuk memajukan sektor industrinya adalah negara tersebut berada dalam kondisi buta teknologi akibat terlalu lama berada dalam kondisi menutup diri. Sebagai solusinya, sesudah restorasi Jepang mendatangkan banyak tenaga penasihat dari luar negeri. Dengan bantuan merekalah, kompleks industri & infastruktur modern semisal jalur rel dibangun secara besar-besaran di Jepang.

Namun langkah ini sendiri bukanlah tanpa batu sandungan. Pasalnya selain harus mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk membangun infrastruktur, pemerintah Jepang juga harus menyediakan gaji bulanan yang bernilai tinggi untuk para penasihat. Sebagai perbandingan, jika gaji udaijin / Perdana Menteri Jepang adalah 600 yen, maka gaji penasihat asal Inggris untuk sektor industri & perkeretaapian mencapai 2.000 yen.

Gambar dari tahun 1872 yang menampilkan kereta penumpang Jepang. (nippon.com)

Selain mendatangkan penasihat, Jepang juga mengimpor tenaga pengajar & mengirimkan sejumlah pelajar berbakatnya untuk menimba ilmu di Eropa serta Amerika. Pada awal dekade 1870-an, pemerintah Jepang dilaporkan menghabiskan uang hingga 2 juta yen setiap tahunnya untuk menggaji penasihat & tenaga didik dari luar negeri.

Saat Jepang mendirikan Kobu Daigakko (Universitas Teknik) di ibukota Tokyo pada tahun 1877, sejumlah mata kuliahnya disampaikan dalam bahasa Inggris & Jerman. Sekolah-sekolah menengah yang bergerak di bidang teknik juga didirikan di seantero Jepang untuk menghasilkan generasi-generasi baru yang memahami teknologi Barat.

Hingga akhir abad ke-19, neraca ekonomi Jepang secara garis besar terdiri dari ekspor bahan mentah & impor barang yang sudah jadi. Namun seiring dengan kian banyaknya teknologi asing yang berhasil diserap oleh Jepang, tren tersebut secara berangsur-angsur berubah.

Komoditas ekspor Jepang ke Eropa & AS memang masih didominasi oleh komoditas mentah seperti teh & sutra. Namun di Asia Pasifik, dengan memanfaatkan faktor kedekatan geografis, komoditas ekspor Jepang sejak tahun 1890-an mulai diisi oleh hasil-hasil industri seperti pakaian, lampu, pemantik api, hingga barang pecah belah.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



REFERENSI

 - . 2008. "Mitsubishi Group". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

 - . 2008. "Yen". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

F.G. Notehelfer & M.B. Jansen. 2008. "Japan". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

Library of Congress. "National Parliaments: Japan".
(www.loc.gov/law/help/national-parliaments/japan.php)

Ohno, K.. "Meiji (1): key goals of the new government".
(www.grips.ac.jp/teacher/oono/hp/lecture_J/lec03.htm)

Ohno, K.. "Meiji (2): importing and absorbing technology".
(www.grips.ac.jp/teacher/oono/hp/lecture_J/lec04.htm)

Ohno, K.. "Meiji (3): major industries: silk, cotton and machinery".
(www.grips.ac.jp/teacher/oono/hp/lecture_J/lec05.htm)

Ohno, K.. "Meiji (4): budget, finance and the macro balance".
(www.grips.ac.jp/teacher/oono/hp/lecture_J/lec06.htm)

Smitha, F.E.. 2015. "Economic Progress under Emperor Meiji".
(www.fsmitha.com/h3/h48japan4.htm)
  





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.