Sejarah Perang Sipil Guinea-Bissau



Bangkai tank di yang teronggok di tengah kota Bissau. (Mariomassone / wikipedia.org)

Guinea-Bissau adalah nama dari sebuah negara yang terletak di pantai barat Benua Afrika. Negara ini berbatasan dengan Senegal di sebelah utara, Guinea di sebelah timur & selatan, serta Samudera Atlantik di sebelah barat.

Sebagai akibat dari kondisi domestiknya yang tidak stabil, lokasi geografisnya yang berada di antara Eropa & Amerika Latin, serta banyaknya teluk & pulau kecil yang bisa digunakan untuk bersembunyi, Guinea-Bissau pun menjadi lokasi transit favorit jaringan kartel narkoba internasional yang hendak menyelundupkan narkoba ke Eropa.

Satu dari sekian banyak peristiwa yang menjadi penanda tidak stabilnya kondisi internal Guinea-Bissau adalah perang saudara yang terjadi di negara tersebut pada tahun 1998 hingga 1999. Dalam perang ini, pemerintah Guinea-Bissau terlibat konflik dengan kawanan pemberontak yang aslinya merupakan tentara Guinea-Bissau yang beramai-ramai melakukan desersi. Selain melawan militer Guinea-Bissau, pasukan pemberontak Guinea-Bissau juga terlibat konflik dengan pasukan negara-negara tetangga Guinea-Bissau.



LATAR BELAKANG

Tahun 1974, Guinea-Bissau yang selama ini menjadi wilayah jajahan Portugal akhirnya memperoleh kemerdekaannya. Hanya berselang 6 tahun sesudah merdeka, negara muda tersebut langsung dilanda kudeta militer. Pasca kudeta, Joao Bernardo Vieira naik menjadi presiden baru Guinea-Bissau.

Di bawah kepemimpinannya, Guinea-Bissau bertransformasi menjadi negara otoriter di mana PAIGC selaku partai asal Vieira sebagai satu-satunya partai politik yang diperbolehkan beroperasi (kebijakan pelarangan terhadap partai-partai selain PAIGC baru dicabut pada tahun 1991).

Karena Vieira bisa berkuasa lewat jalur kudeta, militer Guinea-Bissau pada awalnya berharap kalau Vieira akan memberikan imbalan & hak-hak istimewa kepada militer. Namun Vieira justru lebih memilih untuk tetap menjadikan PAIGC selaku kelompok paling dominan dalam pemerintahan.

Sebagai akibatnya, Guinea-Bissau sepanjang dekade 1980-an sempat beberapa kali dilanda percobaan kudeta yang semuanya berakhir dengan kegagalan. Kendati dirinya masih tetap bisa berkuasa, rentetan peristiwa tadi membuat Vieira memendam rasa tidak percaya terhadap militernya sendiri.

Peta lokasi Guinea-Bissau. (bbc.co.uk)

Sebagai cara untuk menjaga agar militer Guinea-Bissau tidak cukup kuat untuk mengancam kelangsungan rezimnya, pada tahun 1995 anggaran militer Guinea-Bissau yang awalnya mencapai lebih dari 3 persen total pendapatan nasional dikurangi menjadi hanya 2,8 persen. Kemudian pada tahun 1997, jumlah tentara Guinea-Bissau yang awalnya mencapai 12.000 personil dipangkas menjadi tinggal 7.000 personil.

Di luar sektor militer, Vieira juga memecat orang-orang di pemerintahan & menggantinya dengan orang-orang yang bersedia menuruti keinginannya. Pada bulan Januari 1998, kepala angkatan bersenjata Ansumane Mane dipecat dari posisinya atas tuduhan menjual persenjataan secara diam-diam kepada kelompok pemberontak MFDC yang beroperasi di wilayah Senegal.

Mane yang tidak terima lantas melontarkan tuduhan balik kalau Vieira sebenarnya tahu akan aktivitas penjualan senjata ilegal tersebut, namun ia sengaja melakukan pembiaran & kemudian malah menjadikan Mane sebagai kambing hitam supaya negaranya bisa tetap menjaga hubungan baik dengan Senegal. Maka, Mane pun kemudian mengumpulkan tentara-tentara Guinea-Bissau yang masih setia kepadanya & bersiap untuk melancarkan pemberontakan.



BERJALANNYA PERANG

Tanggal 7 Juni 1998 alias hanya sehari sesudah Vieira mengangkat Humbert Gomes sebagai kepala angkatan bersenjata yang baru, Mane yang dibantu oleh 400 tentara pengikutnya menyerang & menduduki bandara ibukota Bissau & barak militer Bra yang terletak tidak jauh dari ibukota Bissau.

Peristiwa tersebut sekaligus menandai dimulainya perang sipil Guinea-Bissau. Bak api yang menjalar di padang rumput, tentara-tentara Guinea-Bissau yang lain beramai-ramai ikut memberontak. Selain mereka, warga sipil Guinea-Bissau yang merasa muak akan rezim Vieira juga ikut bergabung ke kubu Mane.

Dari sekian banyak tentara yang menyusun komposisi militer Guinea-Bissau, hanya 300 di antaranya yang memilih untuk tetap mendukung rezim Vieira. Fenomena yang ironisnya disebabkan oleh kebijakan Vieira sendiri. Karena ia merasa terlalu takut kalau dirinya bakal menjadi korban kudeta militer, Vieira memangkas kekuatan militer Guinea-Bissau secara sistematis & membatasi kontak dengan orang-orang di luar lingkaran penasihatnya.

Joao Vieira. (africdictators.wordpress.com)

Namun Vieira tidak benar-benar terpojok. Begitu pemberontakan yang dipimpin oleh Mane meletus, Viera langsung meminta bantuan militer kepada Senegal & Guinea yang wilayahnya bertetangga dengan Guinea-Bissau.

Hanya berselang 3 hari setelah perang sipil meletus, pasukan Senegal & Guinea yang masing-masingnya berkekuatan 1.300 & 500 personil tiba di Guinea-Bissau. Senegal bersedia mengirimkan pasukannya untuk membantu rezim Vieira karena rezim Vieira bersedia menuruti permintaan Senegal untuk tidak membantu kelompok separatis MFDC.

Di lain pihak, Guinea bersedia mengirimkan pasukan ke Guinea-Bissau karena Guinea ingin memperkuat pengaruhnya di kawasan setempat sambil memberikan peringatan tidak tertulis kepada pihak-pihak oposisi di dalam negeri supaya mereka tidak ikut memberontak.

Begitu pasukan Senegal tiba di wilayah Guinea-Bissau, mereka langsung "disambut" dengan tembakan artileri pasukan pemberontak. Intensitas perang pun membesar dengan cepat & kini sudah menjalar ke seantero Guinea-Bissau.

Sebanyak 250.000 warga sipil terpaksa mengungsi supaya tidak ikut terkena dampak perang. Perbatasan Guinea-Bissau dengan Senegal ditutup supaya kawasan tersebut tidak dimanfaatkan oleh kelompok pemberontak di masing-masing negara untuk menyelundupkan senjata. Arus lalu lintas di ibukota Bissau & sekitarnya dibatasi atau bahkan ditutup sama sekali.

Memasuki bulan Oktober, pasukan pemberontak sudah menguasai 80% wilayah Guinea-Bissau. Pemerintah Guinea-Bissau yang dibantu oleh militer Senegal & Guinea di lain pihak hanya memiliki kendali efektif atas ibukota Bissau & sekitarnya.

Selama perang berlangsung, perwakilan dari pemerintah & pemberontak Guinea-Bissau sebenarnya sempat beberapa kali melakukan perundingan damai & gencatan senjata atas tekanan dari dunia internasional. Namun karena gencatan senjata tersebut selalu dilanggar oleh kedua belah pihak, konflik pun tetap terus berlangsung.

Meskipun perang terus berlanjut, upaya untuk mendapatkan solusi damai juga tetap berjalan. Hasilnya, pada tanggal 1 November, Vieira & Mane sepakat untuk menandatangani perjanjian damai di Abuja, Nigeria.

Berdasarkan perjanjian ini, kedua belah pihak akan membentuk pemerintahan bersama. Perjanjian ini juga mengharuskan agar pasukan Senegal & Guinea ditarik mundur dari Guinea-Bissau. Sebagai gantinya, pasukan perdamaian dari sejumlah negara Afrika (ECOMOG) akan diterjunkan untuk membantu menjaga keamanan.

Pembakaran senjata untuk menyimbolkan berakhirnya perang sipil. (UNIOGBIS / un.org)

Tanggal 21 Februari 1999, pemerintahan bersama yang dimaksud akhirnya resmi dibentuk. Vieira tetap menjadi presiden Guinea-Bissau, namun kini ia harus berbagi kekuasaan dengan Perdana Menteri Francisco Fadul yang semasa perang bersimpati kepada kubu pemberontak. Di bulan yang sama, pasukan ECOMOG  yang beranggotakan tentara Benin, Gambia, Mali, Niger, & Togo juga mulai diterjunkan di Guinea-Bissau.

Riwayat pemerintahan gabungan ini sayangnya tidak berlangsung lama. Pada bulan Mei, pertempuran kembali berlangsung antara pasukan pendukung & penentang Vieira, di mana pasukan penentang Vieira berhasil keluar sebagai pemenang.

Sebanyak 600 tentara pendukung Vieira yang selamat kemudian dijebloskan ke dalam tahanan, sementara Vieira sendiri berhasil melarikan diri ke Portugal. Dengan kaburnya Vieira keluar negeri, berakhir pulalah perang sipil Guinea-Bissau dengan tumbangnya rezim Vieira.



KONDISI PASCA PERANG

Tidak diketahui secara pasti jumlah korban tewas akibat perang sipil Guinea-Bissau, namun jumlahnya diyakini mencapai ribuan jiwa. Sementara ratusan ribu lainnya yang selamat harus kehilangan tempat tinggalnya. Bukan hanya itu, perang ini juga mengganggu aktivitas perekonomian domestik & menyebabkan hancurnya sejumlah besar infrastruktur.

Sebagai akibatnya, Guinea-Bissau yang sejak sebelum perang aslinya merupakan negara miskin kondisinya sesudah perang jadi semakin mengenaskan. Selama perang berlangsung, jumlah produksi hasil pertanian Guinea-Bissau diperkirakan mengalami penurunan hingga 17%

Sementara itu di luar Guinea-Bissau, Vieira ternyata masih memendam hasrat untuk kembali ke negara asalnya. Vieira akhirnya benar-benar kembali ke Guinea-Bissau pada tahun 2005 & kemudian ikut serta dalam pemilihan presiden di tahun yang sama. Hasilnya, ia berhasil keluar sebagai pemenang.

Namun bak kisah tragedi, kali ini masa kepemimpinannya harus berakhir secara prematur dengan cara yang mengenaskan. Pada tanggal 2 Maret 2009, Vieira tewas terbunuh setelah sekawanan tentara pembangkang menyerbu istana kepresidenan. Guinea-Bissau masih harus menempuh jalan panjang untuk sekedar menikmati periode tanpa konflik.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : Juni 1998 - Mei 1999
-  Lokasi : Guinea-Bissau

Pihak yang Bertempur
(Negara)  -  Guinea-Bissau, Senegal, Guinea
       melawan
(Grup)  -  kelompok anti-Vieira
       melawan
(Negara)  -  ECOMOG (1999)

Hasil Akhir
Kemenangan kubu penentang presiden Joao Vieira

Korban Jiwa
Tidak jelas (sekitar ribuan jiwa)



REFERENSI

BBC. 1999. "Deposed Guinea-Bissau's president arrives in Portugal".
(news.bbc.co.uk/2/hi/africa/366762.stm)

Cross, J.. 2019. "Signs of Drug Trade Continue in Former “Narco-State” Guinea-Bissau".
(www.talkingdrugs.org/drug-trade-continue-former-narco-state-guinea-bissau)

F. Tarp & J. Kovsted. 1999. "Guinea Bissau".
(www.wider.unu.edu/sites/default/files/wp168.pdf)

GlobalSecurity.org. "Guinea Bissau Civil War".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/guinea-bissau-2.htm)

Obi, C.I.. 2009. "Economic Community of West African States on the Ground: Comparing Peacekeeping in Liberia, Sierra Leone, Guinea Bissau, and Côte D'Ivoire".
(www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/19362200903361945)
  





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



3 komentar:

  1. Bagaimana kalau mengulas sejarah klasik/sebelum atau awal masehi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya dulu sempat kepikiran buat ngebahas peristiwa dari masa Sebelum Masehi, macam Perang Romawi-Kartago atau sejarahnya Makedonia di masa Aleksander Agung. Kalau waktu & minat saya sedang mendukung, kapan-kapan akan saya coba bahas.

      Hapus
  2. SUDAH MISKIN TAMBAH MISKIN, KARENA KEBODOHAN

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.