Kepulauan Solomon, Negeri Pasifik yang Dicabik Pertumpahan Darah



Foto udara Kepulauan Solomon. (Theeo / wikipedia.org)

Oseania (Oceania) adalah sebutan untuk kawasan yang terletak di Samudera Pasifik bagian tengah di mana negara-negara yang menyusun Oseania umumnya berupa negara pulau atau kepulauan (kecuali Australia, yang aslinya merupakan sebuah benua kecil). Karena luas daratannya yang kecil & letaknya yang relatif terisolasi dari benua lainnya, maka kawasan Oseania pun bisa dibilang hanya memiliki peran yang minim dalam sejarah dunia.

Namun, minim bukan berarti kawasan ini lantas tidak memiliki sejarah yang menarik. Kali ini, pihak Republik ingin membahas soal sejarah konflik di Kepulauan Solomon, salah satu negara di kawasan Oseania.

Kepulauan Solomon (Solomon Islands) adalah sebuah negara kepulauan kecil yang terletak di sebelah timur Papua Nugini, negara tetangga Indonesia yang berbatasan langsung dengan provinsi Papua. Awalnya merupakan anggota koloni Inggris sejak abad ke-19, negeri kepulauan tersebut akhirnya menjadi negara merdeka sejak tahun 1976 dengan status persemakmuran.

Bagi para pecinta sejarah Perang Dunia II, Kepulauan Solomon mestinya bukanlah nama yang asing karena kawasan ini sempat menjadi arena pertempuran sengit antara pasukan Sekutu melawan pasukan Jepang. Dan sedikit info lainnya, Kepulauan Solomon adalah 1 dari sedikit negara berdaulat yang tidak memiliki tentara nasional sendiri.

Secara geografis, Kepulauan Solomon - sesuai namanya - merupakan negara kepulauan yang jumlah pulaunya diperkirakan mencapai hampir 100 pulau. Karena wujudnya yang berupa kepulauan & letaknya yang dekat dengan khatulistiwa, maka negara ini pun memiliki banyak pantai tropis & dasar laut dengan pemandangan yang indah.

Dikombinasikan dengan sumber daya alamnya yang umumnya berasal dari hasil laut, perkebunan & tambang emas, Kepulauan Solomon sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi negara makmur. Sayang, potensi itu gagal dimaksimalkan dengan baik akibat konflik sipil yang mencabik negara tersebut sejak akhir abad ke-20.



LATAR BELAKANG

Pulau Malaita merupakan salah satu pulau dengan populasi paling padat di Kepulauan Solomon. Jumlah penduduk yang tinggi sayangnya tidak diimbangi dengan pengembangan infrastruktur yang merata karena pengembangan infrastruktur & fasilitas penunjang lainnya hanya terfokus di ibukota Kepulauan Solomon, Honiara, yang terletak di Pulau Guadalkanal.

Sebagai akibatnya, sejak dekade 1970-an timbul arus migrasi dari penduduk pulau-pulau di Kepulauan Solomon - termasuk penduduk Pulau Malaita - menuju Pulau Guadalkanal. Ketika jumlah para transmigran semakin meningkat & lapangan kerja yang tersedia semakin sedikit, ketegangan antara penduduk asli Guadalkanal dengan penduduk non-Guadalkanal pun mulai timbul.

Peta Kepulauan Solomon.

Pengembangan infrastruktur yang pesat di Pulau Guadalkanal di sisi lain ternyata tidak sepenuhnya berefek positif bagi penduduk asli Pulau Guadalkanal sendiri. Sejak dekade 1970-an, banyak penduduk asli Pulau Guadalkanal yang menjual tanah adat mereka kepada para pelaku industri dengan harga & ganti rugi yang jumlahnya dianggap tidak sepadan.

Seiring berjalannya waktu, ketika banyak anggota dari masyarakat adat tersebut - khususnya dari golongan muda - merasa tidak puas dengan hasil penjualan tanah adatnya di masa lalu yang dianggap tidak menguntungkan bagi mereka, konflik & sengketa antara masyarakat adat setempat dengan para pemilik lahan industri pun timbul ke permukaan.

Memasuki dekade 1980-an, ketegangan antara penduduk lokal Guadalkanal dengan para transmigran & pemilik lahan masih belum menurun, tapi malah cenderung meningkat. Tahun 1988 misalnya, timbul aksi demonstrasi besar-besaran oleh penduduk asli Guadalkanal pasca tewasnya beberapa penduduk asli Guadalkanal yang disebut-sebut merupakan perbuatan dari orang-orang non-Guadalkanal.

Dalam demonstrasi tersebut, para demonstran juga menekan pemerintah untuk membatasi jumlah transmigran ke Pulau Guadalkanal & menerapkan sistem pemerintahan federal. Setahun kemudian, timbul kerusuhan besar antara penduduk asli Guadalkanal dengan transmigran Malaita di Honiara. Menurut keterangan polisi, mayoritas dari pelaku kerusuhan adalah para pemuda pengangguran dari komunitas penduduk asli Guadalkanal.

Tahun 1997, terjadi pergantian rezim di Kepulauan Solomon pasca pemilu yang digelar di tahun yang sama. Awalnya, rezim baru pimpinan Perdana Menteri (PM) Bartholomew Ulufa'alu berjanji akan memberikan 20 % saham perusahaan kelapa sawit - sektor industri terpenting di Pulau Guadalkanal - milik negara kepada pemerintah lokal Pulau Guadalkanal.

Usulan tersebut ditolak oleh pemerintah lokal Guadalkanal yang menginginkan kepemilikan penuh atas perusahaan kelapa sawit tersebut. Ketika pemerintah pusat Kepulauan Solomon menyatakan penolakan balik, masa depan kepemilikan dari industri sawit di Pulau Guadalkanal pun jadi berlarut-larut & keinginan para penduduk lokal Guadalkanal yang ingin mendapatkan bagian keuntungan dari industri di tanah mereka sendiri jadi terkatung-katung.

Penduduk asli Guadalkanal yang sudah mempersenjatai diri mereka.

Merasa semakin tidak puas & tidak sabar dengan kinerja rezim baru, sejumlah elemen penduduk asli Guadalkanal pun berinsiatif untuk mengambil tindakan sendiri. Tindakan yang dimaksud adalah mengambil paksa tanah-tanah di Guadalkanal yang dimiliki oleh penduduk non-Guadalkanal. Untuk mewujudkan ambisi tersebut, mereka mulai mempersenjatai diri mereka sendiri di mana persenjataan yang mereka miliki umumnya adalah persenjataan sisa-sisa Perang Dunia II.

Pulau Guadalkanal kebetulan memang sempat menjadi arena konflik yang dahsyat saat Perang Dunia II masih berlangsung. Ketika para tentara menarik diri usai berakhirnya perang, mereka meninggalkan sejumlah besar stok persenjataan di pulau tersebut - tanpa tahu bahwa puluhan tahun kemudian, senjata-senjata tersebut bakal bangkit kembali dari penyimpanannya untuk meminta korban baru.



BERJALANNYA KONFLIK

Lahirnya Kelompok-Kelompok Bersenjata

Bulan November 1998, beberapa orang ekstrimis penduduk asli Guadalkanal melakukan serangan ke pemukiman milik transmigran Malaita di sebelah tenggara Pulau Guadalkanal. Tak lama sesudahnya, polisi berhasil menangkap & menahan beberapa tersangka penyerangan.

Namun, kegiatan penahanan mereka tidak bertahan lama setelah 2 di antara tersangka yang ditahan - Harold Keke & saudaranya, Joseph Sangu - dibebaskan dengan uang jaminan. Usai dibebaskan, bukannya berhenti melakukan aksi kekerasan, mereka justru membentuk kelompok milisi yang bernama Guadalcanal Revolutionary Army (GRA; Tentara Revolusi Guadalkanal) pada tahun 1999.

Sejak terbentuknya GRA, aksi-aksi kekerasan di Pulau Guadalkanal semakin meningkat di mana target serangan dari GRA adalah pemukiman-pemukiman dari penduduk non-Guadalkanal - umumnya penduduk dari Pulau Malaika - di sekitar Honiara, ibukota Kepulauan Solomon.

Akibat aksi-aksi penyerangan yang dilakukan oleh GRA, 50 orang tewas & 20.000 orang lainnya dipaksa meninggalkan Pulau Guadalkanal menuju pulau aslinya masing-masing. Upaya polisi untuk meredam aksi-aksi GRA cenderung berakibat kontradiktif karena setiap kali timbul korban tewas di pihak GRA, jumlah penduduk asli Guadalkanal yang membenci aparat negara justru semakin banyak sehingga pihak GRA malah jadi semakin mudah menambah anggotanya.

Desa di dekat Honiara yang terbakar akibat serangan para milisi. (abc.net.au)

Menjelang akhir tahun 1999, konflik bersenjata di Kepulauan Solomon menjadi semakin panas menyusul terbentuknya kelompok milisi baru bernama Malaita Eagle Force (MEF; Pasukan Elang Malaita) yang didirikan oleh penduduk asli Pulau Malaita yang terusir dari Pulau Guadalkanal.

Dalam pembentukannya, MEF menyatakan bahwa tujuan utama mereka mengangkat senjata adalah untuk melindungi kepentingan transmigran Malaita di Pulau Guadalkanal & menuntut ganti rugi atas harta benda transmigran Malaita yang dirusak oleh GRA.

Tak lama sesudah pembentukannya, MEF melakukan penyerangan ke kantor-kantor polisi setempat & menjarah stok persenjataan yang tersimpan di dalamnya. Dalam periode yang kurang lebih bersamaan, timbul perpecahan dalam kubu GRA yang ditandai dengan munculnya kelompok milisi baru yang bernama Isatabu Freedom Movement (IFM; Gerakan Kemerdekaan Isatabu).

Memasuki tahun 2000, kelompok GRA & MEF - beserta IFM - semakin sering terlibat baku tembak di sekitar Honiara. Kondisi Honiara sendiri masih relatif terkendali walaupun ketakutan bahwa pertempuran akan menjalar ke Honiara terus menerus ada. Seolah perang antara GRA & MEF belum cukup, pada bulan Maret 2000 muncul kelompok milisi baru yang menyebut dirinya Malaita Seagull Force (MSF; Pasukan Camar Malaita).

Tidak jelas apa agenda dari MSF, namun pihak oposisi di parlemen melancarkan tuduhan bahwa MSF dibentuk oleh PM Ulufa'alu secara diam-diam untuk membantunya memerangi MEF. Tuduhan itu langsung dibantah oleh PM Ulufa'alu & pada bulan Mei 2000, sebuah komite khusus dibentuk untuk menyelidiki sepak terjang MSF.


Para anggota MEF yang sedang berpatroli. (abc.net.au)


Kudeta & Kekacauan Menjelang Perundingan Damai

Sejak awal tahun 2000 sendiri, PM Ulufa'alu diketahui melakukan pembicaraan diam-diam dengan Uni Eropa untuk meminta sumbangan sebesar 300.000 dollar Solomon kepada Uni Eropa untuk membangun kembali infrastruktur yang rusak. Ketika memasuki bulan Juni 2000, perwakilan dari Uni Eropa berkunjung ke Honiara di mana rencananya, ia & PM Ulufa'alu akan menandatangani kesepakatan mengenai sumbangan uang tersebut pada tanggal 5 Juni 2000.

Namun, tanpa disangka-sangka, pada tanggal tersebut MEF yang dibantu oleh polisi-polisi pro-Malaita melancarkan serangan ke Honiara. Mereka juga menahan PM Ulufa'alu di rumahnya sendiri sambil memaksanya meletakkan jabatan.

Pasca serangan ke Honiara yang berakhir dengan keberhasilan MEF menduduki ibukota Kepulauan Solomon tersebut, MEF juga mengamankan sejumlah besar stok persenjataan dari kantor polisi setempat & memakainya untuk memerangi milisi-milisi pro-Guadalkanal di sekitar Honiara.

Sayangnya, keberhasilan MEF menduduki Honiara diikuti dengan menurunnya rasa disiplin dari anggotanya sehingga situasi keamanan di Honiara pun jadi tak terkendali. Kriminalitas semakin merajarela & aktivitas pemerintahan negara mengalami kelumpuhan.

Di tengah-tengah situasi genting tersebut, pihak parlemen mengangkat Manasseh Sogovare sebagai perdana menteri baru Kepulauan Solomon pada bulan Juli 2000. Tak lama kemudian, Australia & Selandia Baru - 2 negara paling berpengaruh di kawasan Oseania - mengakui Sogovare dengan jabatan barunya tersebut.

Bulan Oktober 2000, pihak-pihak yang bertikai setuju untuk melakukan perundingan damai di Townsville, Australia. Perundingan damai yang berlangsung selama sekitar 5 hari tersebut kemudian berujung pada penandatanganan Perjanjian Damai Townsville.

Peta lokasi Townsville, tempat dilangsungkannya perundingan damai. (whereismap.net)

Beberapa poin penting dari perjanjian tersebut adalah kedua belah pihak sepakat untuk berhenti meneruskan aktivitas bersenjata & membiarkan senjatanya dilucuti dengan janji mendapatkan pengampunan hukum.

Lewat perjanjian damai yang sama, pihak-pihak yang bertikai juga setuju untuk bekerja sama dalam memulihkan & membangun kembali Pulau Guadalkanal yang luluh lantak akibat perang. Dengan disahkannya Perjanjian Townsville, maka perang sipil di Kepulauan Solomon pun berakhir - secara teoritis.

Disahkannya Perjanjian Townsville sayangnya tidak serta merta membuat kondisi Kepulauan Solomon langsung membaik. Walaupun konflik terbuka antar milisi tidak lagi timbul pasca perjanjian damai tersebut, aksi-aksi kriminal & kekerasan antar golongan masih mewarnai kehidupan masyarakat Guadalkanal.

Tak hanya itu, Harold Keke - salah satu tokoh pendiri GRA - menolak menandatangani Perjanjian Townsville & lebih memilih melanjutkan perang dengan membentuk kelompok milisi baru bernama Guadalcanal Liberation Front (GLF; Front Pembebasan Guadalkanal). Sikap Keke ini pada gilirannya membuat rencana pelucutan senjata jadi semakin rumit karena MEF menolak membiarkan senjatanya dilucuti selama GLF masih aktif beroperasi.


Harold Keke (depan). (bbc.co.uk)


Naiknya Kembali Tensi di Ibukota

Bulan Desember tahun 2001, Kepulauan Solomon kembali menggelar pemilu di mana kali ini, Sir Allan Kemakeza terpilih sebagai perdana menteri yang baru. PM Kemakeza dianggap memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok milisi tertentu sehingga rezimnya kerap mendapat ancaman dari kelompok-kelompok milisi yang berseberangan.

Selama PM Kemakeza berkuasa, aksi-aksi kekerasan & kriminalitas di Honiara & sekitarnya juga mengalami peningkatan. Seolah itu belum cukup, menteri keuangan dari Kepulauan Solomon juga kerap dikerubungi & ditodong oleh para anggota milisi setiap kali bantuan finansial dari luar Kepulauan Solomon akan tiba. Merasa semakin tidak tahan dengan tekanan dari para anggota milisi, Menteri Keuangan Laurie Chan akhirnya mengundurkan diri pada bulan Desember 2002.

Memasuki tahun 2003, kondisi Kepulauan Solomon benar-benar berada di ambang kehancuran. Pemerintahan pusat tidak bisa bertindak secara efektif, aksi-aksi kriminal di ibukota negara merajarela tanpa bisa dikontrol, organisasi kepolisian terpecah belah karena para petingginya malah mendekatkan diri kepada kelompok-kelompok milisi tertentu, & kas negara hampir mengalami kekosongan.

Di tengah-tengah situasi yang semakin kritis tersebut, pada bulan Juli 2003 pemerintah Kepulauan Solomon akhirnya mengajukan permohonan resmi agar negara-negara luar mau mengirimkan pasukan keamanannya ke Kepulauan Solomon untuk membantu menormalkan kembali kondisi internal negara tersebut.

Tak lama setelah pemerintah Kepulauan Solomon merilis permohonan resmi, tentara & polisi dari 20 negara Oseania mulai berkumpul di Townsville, Australia, untuk mengikuti pelatihan singkat sebelum diterjunkan ke Kepulauan Solomon.

Bulan Agustus 2003, pasukan keamanan gabungan dengan nama Regional Assistance Mission to Solomon Islands (RAMSI; Misi Bantuan Regional untuk Kepulauan Solomon) tersebut akhirnya diberangkatkan ke Kepulauan Solomon.

Sejak RAMSI masuk ke Kepulauan Solomon, kondisi keamanan negara tersebut pun secara berangsur-angsur mengalami peningkatan. Masuknya RAMSI juga diikuti oleh keputusan Harold Keke untuk menyerahkan diri & berhenti melanjutkan aktivitas bersenjatanya pada bulan yang sama.


Tentara RAMSI saat tiba di bandara Kepulauan Solomon. (militaryphotos.net)


KONDISI PASCA PERANG

Tak lama sesudah menyerahkan diri, Harold Keke diadili & dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Di lain pihak, sejak pertama kali mendarat di Kepulauan Solomon, RAMSI juga berhasil menangkap sejumlah besar anggota milisi & mengamankan stok-stok persenjataan ilegal milik mereka sehingga kondisi internal Kepulauan Solomon mengalami peningkatan pesat.

Membaiknya kondisi internal Kepulauan Solomon pada gilirannya membuat pemerintah pusat dari negara tersebut mulai bisa menjalankan fungsinya kembali secara normal. Perwakilan dari RAMSI sendiri menyatakan bahwa mereka akan terus berada di Kepulauan Solomon hingga tahun 2013 di mana rencananya, jumlah personil aktif di negara kepulauan tersebut akan dikurangi secara bertahap.

Perang sipil di Kepulauan Solomon berlangsung antara tahun 1998 hingga tahun 2003. Tidak diketahui angka pasti dari jumlah korban tewas selama perang berlangsung, namun diperkirakan jumlah korban tewas mencapai 100 jiwa lebih & jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal mencapai 30.000 di mana mayoritasnya berasal dari golongan Malaita.

Kondisi Pulau Guadalkanal juga luluh lantak akibat perang. Sebagai akibatnya, Kepulauan Solomon yang sebelum konflik meletus sebenarnya merupakan salah satu negara termiskin di kawasan Pasifik kondisinya seusai dilanda perang jadi semakin parah.

Bantuan finansial sudah dikucurkan oleh negara-negara lain untuk membantu mengatasi masalah tersebut, namun proses rekonstruksi sendiri terkendala oleh masih belum stabilnya kondisi internal Kepulauan Solomon. Masih tingginya angka buta huruf & fanatisme etnis yang berlebihan di antara masyarakat Kepulauan Solomon ditengarai menjadi penyebab utamanya sehingga mereka relatif mudah diprovokasi.

Suasana kota Honiara, 5 tahun pasca perang berakhir. (db-city.com)

Tahun 2006 contohnya, tak lama setelah beredarnya isu bahwa ada pebisnis Cina yang menyogok anggota parlemen Kepulauan Solomon pada pemilu di tahun yang sama, muncul kerusuhan besar di ibukota Honiara & pemukiman etnis Cina di kota tersebut dibakar massa.

Tak hanya di tingkat masyarakat kelas bawah, konflik & ketegangan juga kerap timbul di tingkat parlemen yang ditandai dengan seringnya terjadi pergantian anggota parlemen - termasuk perdana menteri - di negara tersebut.

Pada akhirnya, nasib Kepulauan Solomon bergantung dari sikap & tindakan nyata dari penghuni negara itu sendiri. Apakah mereka mau bersatu untuk bersama-sama mengatasi masalah-masalah negara mereka, atau mereka masih mau mengedepankan ego & kepentingan kelompoknya sendiri.

Satu hal yang pasti, perang sipil yang sudah mencabik Kepulauan Solomon seharusnya bisa menyadarkan mereka bahwa menyelesaikan masalah dengan kekerasan hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru di masa depan.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : 1998 - 2003
-  Lokasi : Pulau Guadalkanal

Pihak yang Bertempur
(Grup)  -  GRA, GLF, IFM
      melawan
(Grup)  -  MEF
      melawan
(Negara)  -  Kepulauan Solomon
      melawan
(Negara)  -  negara-negara anggota RAMSI (2003)


Hasil Akhir
-  Perang berakhir tanpa pemenang
-  Pelucutan senjata & pembubaran kelompok-kelompok milisi
-  Penempatan pasukan keamanan RAMSI di Kepulauan Solomon hingga sekarang

Korban Jiwa
Sekitar 100 jiwa lebih



REFERENSI

B. Pollard & M. Whalle. 2005. "The Solomon Islands: Conflict and Peacebuilding".
(conflict-prevention.net/page.php?id=45&formid=72&action=show&articleid=668)

BBC. 2010. "Solomon Islands country profile".
(news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/country_profiles/1249307.stm)

Department of Commerce. "The Townsville Peace Agreement".
(www.commerce.gov.sb/Gov/Peace_Agreement.htm)

Kabutaulaka, T.T.. 2001. "Beyond Ethnicity : The Political Economy of the Guadalcanal Crisis in Solomon Islands".
(rspas.anu.edu.au/papers/melanesia/working_papers/tarcisiusworkingpaper.htm)

RAMSI. 2011. "RAMSI will still be here in 2013: Special Coordinator reassures Premiers".
(www.ramsi.org/media/news/ramsi-will-still-be-here-in-2013-special-coordinator-reassures-premiers.html)

Wikipedia. "Solomon Islands".
(en.wikipedia.org/wiki/Solomon_Islands)

Wikipedia. "Harold Keke".
(en.wikipedia.org/wiki/Harold_Keke)

(Film) 2000. "A People Divided: Solomon Islands". ABC Australia.
(www.youtube.com/watch?v=BW6X9YAR2f4)
  





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



12 komentar:

  1. kalo liat di tv maupun yutube, kepulauan ini sangat indah
    tapi ya lagi berkonflik

    BalasHapus
  2. postingan bagus bro, buat nambah pengetahuan tentang negara2 di kep. pasifik. tahanks

    BalasHapus
  3. Abis nonton filem mr pip jadi penasaran ama cerita sebetul nya pulau solomon tqiuw for post nya ya

    BalasHapus
  4. Negara yg tidak memiliki tentara????mungkin negara ini perlu membentuk tentara mereka

    BalasHapus
  5. Tulisan bagus untuk mengenal lebih jauh tetanggan kitabdi timur. Harusnya indonesia mulai tebar pengaruh diwilayah ini. Agar tercipta kesejahteraan, keamanan dan kerjasama yg erat masa mendatang

    BalasHapus
  6. negara gagal. terbelakang pula. parah

    BalasHapus
  7. Info yang bagus,jadi tahu masalah disana,karena ada penawaran kerja shipyard disana

    BalasHapus
  8. Terima kasih, informasi menarik untuk mengenal sejarah tentang Kepulauan Solomon. Sebentar lagi aku mau berkunjung ke Solomon, semoga damai aman dan ramah.

    BalasHapus
  9. Saya ingin menanyakan keberadaan RAMSI (Regional Assistance Mission in Solomon Islans). Keberadaan RAMSI yg dipimpin oleh Australia adalah bentuk pelanggaran terhadap suatu negara yg berdaulat, sama persis seperti yg pernah dilakukan oleh Australia saat memimpin INTERFET di Timor-Timur. Padahal, saat itu Timur-Timor masih bagian wilayah Indonesia.

    BalasHapus
  10. Hmm, kenapa mereka mendukung OPM yang merupakan teroris, padahal merekapun pernah diganggu oleh aksi separatis juga

    BalasHapus
  11. Menarik untuk saya ketahui tentang solomon islands Ini,Karena saya akan kesana untuk bekerja.thanks

    BalasHapus
  12. Negara gagal dan kecil yang arogan ikut mendukung gerakan OPM.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.