Perang Abkhazia Kedua, Gagalnya Taktik Gerilya Georgia



Bendera Abkhazia. (abkhazinform.com)

Daratan Kaukasus yang terletak di antara Rusia, Iran, & Turki dikenal sebagai salah satu kawasan paling bergolak di dunia. Pasalnya kawasan ini sudah sejak lama menjadi arena konflik akibat lokasinya yang strategis & komposisi penduduknya yang amat beragam. Saat Uni Soviet runtuh & muncul negara-negara baru di kawasan Kaukasus, intensitas konflik yang terjadi di sana hanya semakin meningkat. Perang Abkhazia Kedua adalah contoh dari konflik tersebut.

Perang Abkhazia Kedua adalah konflik bersenjata yang terjadi pada tahun 1998 di Abkhazia, sebuah daerah kecil di Georgia barat. Konflik tersebut merupakan lanjutan dari Perang Abkhazia Pertama yang terjadi pada tahun 1992 hingga 1993.

Jika Perang Abkhazia Pertama terjadi antara pasukan separatis Abkhazia melawan militer Georgia, Perang Abkhazia Kedua membenturkan pasukan Abkhazia melawan kelompok-kelompok ekstrimis Georgia. Seusai perang, Abkhazia mempertahankan statusnya sebagai wilayah mandiri yang beroperasi di luar jangkauan pemerintah Georgia.



LATAR BELAKANG

Abkhazia sepanjang perjalanan sejarahnya dikuasai oleh bangsa-bangsa asing silih berganti. Lokasi Abkhazia yang berada di tepi Laut Hitam sekaligus di persimpangan 2 benua (Eropa Timur di utara, Asia Barat di selatan) menyebabkan Abkhazia dipandang sebagai wilayah yang amat strategis untuk dikuasai. Terhitung sejak abad ke-19, Abkhazia yang awalnya dikuasai oleh Ottoman ganti dikuasai oleh Kekaisaran Rusia.

Untuk meredam kemungkinan pemberontakan di wilayah barunya, Rusia mendeportasi ratusan ribu penduduk Muslim Abkhazia ke wilayah Ottoman & memperkenalkan aksara Cyrillic sebagai aksara untuk etnis Abkhaz. Lahan yang ditinggalkan oleh Muslim Abkhaz tadi kemudian ganti ditempati oleh orang-orang dari etnis Georgia & Rusia. Sebagai akibatnya, etnis Abkhaz pun kini menjadi etnis minoritas di tanahnya sendiri. Berdasarkan data pada tahun 1926, etnis Abkhaz diketahui berjumlah 56.000 penduduk dari total 186.000 penduduk Abkhazia.

Saat Uni Soviet didirikan di bekas wilayah Kekaisaran Rusia pada akhir tahun 1921, wilayah Abkhazia dijadikan daerah otonomi di dalam wilayah negara bagian Georgia. Pada periode inilah, hubungan antara etnis Abkhaz dengan etnis Georgia mulai menegang.

Etnis Abkhaz merasa khawatir kalau etnis Georgia bakal memanfaatkan faktor keunggulan jumlah penduduk & status mereka sebagai pengelola negara bagian untuk mengekang etnis Abkhaz. Terlebih lagi karena saat Uni Soviet dipimpin oleh Joseph Stalin (tokoh kelahiran Georgia), etnis Abkhaz sempat dipaksa untuk menggunakan aksara Georgia hingga tahun 1954.

Etnis Georgia di lain pihak merasa kalau etnis Abkhaz adalah etnis minoritas yang menerima terlalu banyak keistimewaan dari pemerintah pusat Uni Soviet. Sebagai contoh, sejak tahun 1978 sebanyak 2/3 jatah kursi di lembaga pemerintahan Abkhazia dialokasikan khusus untuk etnis Abkhaz. Kemudian meskipun etnis Abkhaz tinggal di dalam wilayah negara bagian Georgia, mereka tetap bisa menggunakan bahasa Abkhaz alih-alih Georgia untuk keperluan komunikasi sehari-hari.

Peta Georgia & Abkhazia. (npr.org)


Tahun 1985, Mikhail Gorbachev menjadi pemimpin baru Partai Komunis Uni Soviet. Di bawah kepemimpinannya, praktik sensor media dilonggarkan & kebebasan berpendapat tumbuh subur. Namun fenomena tersebut juga membawa dampak negatif. Sentimen nasionalisme & fanatisme berbasis etnis yang selama ini dikekang kini mulai menjamur di negara-negara bagian Uni Soviet, termasuk di Georgia. Golongan nasionalis di Georgia kini berambisi menjadikan wilayahnya sebagai negara merdeka dengan bahasa Georgia sebagai bahasa utamanya.

Hal tersebut ganti menuai rasa tidak suka dari etnis-etnis non-Georgia di wilayah Georgia, termasuk Abkhaz. Mereka merasa bahwa jika Georgia kelak benar-benar merdeka, mereka bakal diperlakukan bak warga kelas dua. Sebagai akibatnya, saat Georgia benar-benar menjadi negara merdeka pada tahun 1991, pemerintah daerah Abkhazia mengadopsi konstitusi warisan Uni Soviet pada tahun 1992. Berdasarkan konstitusi tersebut, Abkhazia bakal beroperasi menjadi daerah yang terpisah dari Georgia.

Pemerintah pusat Georgia melihat peristiwa tersebut sebagai upaya Abkhazia untuk memerdekakan diri. Maka, pemerintah Georgia pun kemudian mengirimkan pasukannya ke wilayah Abkhazia sehingga pecahlah Perang Abkhazia Pertama. Kendati pada awalnya terdesak, pasukan Abkhazia dalam perkembangannya berhasil memukul balik pasukan Georgia berkat masuknya aliran persenjataan & pejuang asing dari luar Abkhazia, khususnya dari Rusia.

Situasi makin runyam bagi Georgia karena saat perang di Abkhazia masih berlangsung, mereka juga sedang terlibat perang saudara melawan pasukan pemberontak pendukung Zviad Gamsakhurdia, presiden Georgia yang dipaksa lengser pada awal tahun 1992. Saat Perang Abkhazia Pertama berakhir pada tahun 1993, sebagian besar wilayah Abkhazia berada di tangan kelompok pejuang kemerdekaan Abkhazia.

Pasukan perdamaian asal Rusia kemudian diterjunkan di tepi Sungai Inguri - sungai yang memisahkan wilayah Abkhazia & Georgia - supaya kedua belah pihak tidak kembali bertikai. Akibat perang tersebut, sebanyak 200.000 warga etnis Georgia yang tadinya tinggal di wilayah Abkhazia terpaksa pergi mengungsi. Namun baru 30.000 di antara mereka yang bisa kembali ke tempat tinggal lamanya di Gali, Abkhazia tenggara.

Peta Abkhazia beserta nama-nama distrik & sungainya. (John O'Loughlin / researchgate.net)

Terlantarnya nasib para pengungsi etnis Georgia & kegagalan pemerintah Georgia dalam menguasai kembali Abkhazia lantas mendorong sejumlah milisi etnis Georgia untuk membentuk kelompok-kelompok bersenjata / paramiliter dengan tujuan menyatukan kembali Abkhazia dengan Georgia lewat jalur perang gerilya.

Ada 2 kelompok bersenjata utama Georgia yang terbentuk untuk tujuan tersebut. Kelompok pertama adalah White Legion (WL; Legiun Putih) yang dipimpin oleh Zurab Samushia. Kelompok kedua mengusung nama Forest Brothers (FB; Persaudaraan Hutan) & dipimpin oleh Dato
Shengelia. Munculnya kedua kelompok tersebut lantas memanaskan kembali situasi keamanan di Abkhazia yang memang masih rentan.



BERJALANNYA PERANG

Pada awal bulan Mei 1998, sebanyak 300 milisi WL menyusup masuk ke wilayah Abkhazia. Kemudian pada tanggal 2 & 3 Mei, sejumlah milisi Georgia menduduki desa Saberio & Khumushkuri yang terletak di distrik Gali, Abkhazia timur. Begitu berhasil menguasai kedua desa tersebut, mereka kemudian mengibarkan bendera Georgia.

Pasukan Abkhazia mencoba menguasai kembali kedua desa tadi, namun gagal akibat sengitnya perlawanan yang diberikan oleh milisi-milisi Georgia. Bukan hanya itu, sebanyak 6 tentara Abkhazia dikabarkan juga tewas dalam pertempuran tersebut. Di luar Abkhazia, Tamaz Nadareishvili selaku ketua parlemen Abkhazia versi Georgia menyatakan kalau WL akan bertambah kuat jika orang-orang etnis Georgia tidak diperbolehkan kembali ke Abkhazia.

Tanggal 18 Mei, pasukan milisi Georgia menyerang desa Repi & membunuh 20 polisi Abkhazia di desa tersebut. Keesokan harinya, pasukan Abkhaz melakukan serangan balasan ke distrik Gali sehingga timbullah pertempuran sengit yang menewaskan 30 orang. Akibat pertempuran tersebut, warga sipil etnis Georgia terpaksa beramai-ramai pergi meninggalkan Gali. Pasukan Abkhazia kemudian membakar rumah-rumah yang ditinggalkan oleh etnis Georgia.

Bangunan kampus di kota Gali yang kini berada dalam kondisi terlantar. (Amos Chapple / theguardian.com)

Menurut anggota parlemen Abkhazia versi Georgia, pasukan Abkhazia yang melakukan penyerbuan ke Gali menggunakan persenjataan berat yang serupa dengan persenjataan milik pasukan perdamaian Rusia. Spekulasi pun muncul kalau pasukan Rusia sengaja membiarkan konflik kembali timbul sambil membantu pihak Abkhazia secara diam-diam supaya Abkhazia memiliki alasan untuk mengusir etnis Georgia keluar dari wilayahnya.

Tanggal 22 Mei, perwakilan Abkhazia & Georgia setuju untuk melakukan gencatan senjata dalam perundingan damai yang difasilitasi oleh PBB di Tbilisi, ibukota Georgia. Namun karena hubungan antara pemerintah Georgia dengan kelompok WL serta FB masih belum begitu jelas, tidak diketahui apakah kesepakatan tersebut benar-benar bisa mengakhiri kontak senjata.

Dan benar saja, pada hari yang sama pasukan Abkhazia kembali terlibat pertempuran melawan pasukan milisi Georgia di desa Tskhiri yang terletak di sebelah timur kota Gali. Tanggal 25 Mei, Samushia selaku pemimpin kelompok WL mengeluarkan ancaman kalau pasukannya bakal menyerang pasukan perdamaian Rusia jika mereka masih saja mengirimkan senjata artileri kepada pasukan Abkhazia.

Di Georgia sendiri, muncul seruan supaya militer Georgia segera ikut melibatkan diri dalam perang ini supaya mereka bisa melindungi keselamatan warga sipil etnis Georgia di zona konflik. Namun karena pasukan Georgia masih belum memiliki persenjataan pengganti yang memadai seusai perang saudara & Perang Abkhazia Pertama, Eduard Shevardnadze selaku presiden Georgia memutuskan kalau militer Georgia tidak bisa ikut campur dalam perang ini.

Keengganan militer Georgia untuk ikut campur lantas membuat alur Perang Abkhazia Kedua menjadi semakin berat sebelah. Memasuki tanggal 27 Mei, pasukan Abkhazia yang memang unggul dalam hal persenjataan akhirnya berhasil mengusir milisi-milisi Georgia keluar dari wilayahnya. Dan entah ada hubungannya dengan perang ini atau tidak, pemerintah Georgia membatalkan perayaan Hari Kemerdekaan Georgia yang harusnya digelar pada tanggal 26 Mei akibat beredarnya kabar kalau presiden Shevardnadze hendak dibunuh saat perayaan berlangsung.


Eduard Shevardnadze. (Martin H / wikiquote.org)


KONDISI PASCA PERANG

Jika dibandingkan dengan Perang Abkhazia Pertama, Perang Abkhazia Kedua berlangsung dalam rentang waktu yang jauh lebih singkat. Namun perang ini tetap menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Tidak diketahui secara jelas berapa jumlah korban tewas pasti dalam perang ini karena kedua belah memiliki laporan korban jiwa yang saling bertolak belakang untuk kepentingan propaganda.

Sebagai contoh, Abkhazia mengklaim kalau jumlah korban tewas di pihaknya mencapai 8 jiwa dengan 160 korban jiwa di pihak Georgia. Namun sumber versi Georgia mengklaim kalau jumlah korban tewas di pihak Abkhazia aslinya mencapai 300 orang dengan 17 korban tewas di pihak Georgia. Selain menimbulkan korban tewas, perang ini menyebabkan sekitar 30.000 warga sipil etnis Georgia terpaksa kembali pergi meninggalkan Abkhazia setelah sebelumnya sempat kembali tinggal di sana usai Perang Abkhazia Pertama.

Kendati gagal mewujudkan kembali penyatuan Abkhazia dengan Georgia, kelompok WL & FB tetap aktif seusai perang, di mana mereka kini aktif melakukan serangan-serangan sporadis kepada tentara perdamaian Rusia & warga sipil Abkhazia. Kedua kelompok tadi juga terlibat dalam aktivitas penyelundupan ilegal di wilayah Georgia. Pada tahun 2004, kedua kelompok tersebut akhirnya dibubarkan oleh pemerintah Georgia.

Sejak Perang Abkhazia Pertama meletus, rakyat Georgia menganggap kalau Rusia aslinya berpihak kepada kubu Abkhazia kendati Rusia memposisikan dirinya sebagai negara netral. Pandangan tersebut hanya semakin menguat saat Perang Abkhazia Kedua meletus. Hubungan antara Georgia & Rusia yang dipenuhi sikap saling curiga akhirnya memuncak menjadi perang terbuka antara militer kedua negara pada tahun 2008.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



DAFTAR PERANG DI ABKHAZIA

Perang Abkhazia I
-  Perang Abkhazia II (artikel ini)
Perang Rusia-Georgia di Abkhazia



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : Mei 1998
-  Lokasi : Abkhazia

Pihak yang Bertempur
(Daerah)  -  Abkhazia
       melawan
(Grup)  -  White Legion, Forest Brothers

Hasil Akhir
Kemenangan pihak Abkhazia

Korban Jiwa
-  Abkhazia : 8 - 300 jiwa
-  Georgia : 17 - 160 jiwa



REFERENSI

A. Kukhianidze, dkk.. 2004. "Smuggling Through Abkhazia and Tskhinvali Region of Georgia".
(traccc.gmu.edu/sites/default/files/Kukhianidze_Kupatadze_Smuggling_Georgia_Eng._2004.pdf)

Fuller, L.. 1998. "Caucasus Report: May 26, 1998".
(www.rferl.org/a/1342037.html)

GlobalSecurity.org. "Georgia 1992 Civil War".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/georgia-1992.htm)

GlobalSecurity.org - Soviet Abkhazia
(www.globalsecurity.org/military/world/war/abkhazia-5.htm)

Human Rights Watch. 1995. "Georgia/Abkhazia: Violations of the Laws of War and Russia's Role in the Conflict".
(www.hrw.org/reports/1995/Georgia2.htm)

Jamestown. 1998. "Have Georgian Guerrillas Seized Ground In Abkhazia".
(jamestown.org/program/have-georgian-guerrillas-seized-ground-in-abkhazia/)

Minority at Risk Project. 2004. "Chronology for Abkhazians in Georgia".
(www.refworld.org/docid/469f388ca.html)

RFE/RL. 1998. "Newsline - June 3, 1998".
(www.rferl.org/a/1141669.html)

RFE/RL. 1998. "Newsline - May 11, 1998".
(www.rferl.org/a/1141652.html)

RFE/RL. 1998. "Newsline - May 21, 1998".
(www.rferl.org/a/1141660.html)

RFE/RL. 1998. "Newsline - May 22, 1998".
(www.rferl.org/a/1141661.html)

RFE/RL. 1998. "Newsline - May 25, 1998".
(www.rferl.org/a/1141662.html)

RFE/RL. 1998. "May 27, 1998".
(www.rferl.org/a/1141664.html)

RFE/RL. 2009. "Is The White Legion Back In Business?".
(www.rferl.org/a/Is_The_White_Legion_Back_In_Business/1762893.html)

Wikipedia. "War in Abkhazia (1998)".
(en.wikipedia.org/w/index.php?title=War_in_Abkhazia_%281998%29&oldid=982581839)
 






COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.