CARI

Sejarah Perang Rusia-Georgia di Front Abkhazia



Tank pasukan Abkhazia. (Viktor Drachev / news.yahoo.com)

Abkhazia & Ossetia Selatan adalah 2 daerah kecil yang berbatasan dengan Rusia di sebelah utara. Mayoritas negara berdaulat mengakui kedua daerah tersebut sebagai wilayah milik Georgia. Namun kalau menurut Rusia, Abkhazia & Ossetia Selatan adalah negara merdeka yang terpisah dari Georgia. Perang Rusia-Georgia yang pernah terjadi pada tahun 2008 menjadi penyebab mengapa Rusia memandang Abkhazia & Ossetia Selatan secara berbeda.

Perang Rusia-Georgia bermula ketika pasukan Georgia terlibat konflik melawan pasukan separatis Ossetia Selatan. Rusia kemudian memutuskan untuk ikut melibatkan diri dengan cara mengirimkan pasukannya ke wilayah Georgia.

Seusai perang, Rusia menempatkan pasukannya di wilayah Abkhazia & Ossetia Selatan sambil memberikan pengakuan diplomatik kepada kedua daerah tadi. Selain dengan nama Perang Rusia-Georgia, perang ini juga dikenal dengan nama "Perang Agustus" serta "Perang 5 Hari".

Mengenai jalannya Perang Rusia-Georgia di Ossetia Selatan sudah pernah dibahas di artikel ini. Jadi dalam kesempatan kali ini, pihak Republik bakal membahas soal Perang Rusia-Georgia yang mengambil tempat di Abkhazia. Kendati intensitasnya tidak sebesar perang yang terjadi di Ossetia Selatan, Perang Rusia-Georgia yang berlangsung di Abkhazia tetap tidak bisa dipandang sebelah mata karena perang ini memiliki dampak jangka panjang yang amat besar di dalam & di luar Abkhazia.



LATAR BELAKANG

1. Buruknya Hubungan Etnis Abkhaz & Georgia

Sejak abad ke-19, wilayah Abkhazia menjadi wilayah milik Kekaisaran Rusia. Untuk meredam kemungkinan pemberontakan karena wilayah tersebut sebelumnya dikuasai oleh Ottoman, banyak penduduk Muslim Abhkaz yang dideportasi keluar Abkhazia oleh pemerintah Rusia. Para imigran dari etnis Georgia & Rusia kemudian berdatangan ke wilayah Abkhazia untuk mengisi lahan-lahan yang sebelumnya ditempati oleh orang-orang Muslim Abkhaz.

Saat Kekaisaran Rusia runtuh & digantikan oleh Uni Soviet, wilayah Abkhazia dijadikan daerah otonomi di dalam wilayah negara bagian Georgia. Sejak periode inilah, hubungan antara etnis Abkhaz dengan Georgia mulai dilanda ketegangan. Pasalnya etnis Abkhaz merasa khawatir kalau identitas budaya mereka kelak akan digerus oleh etnis Georgia yang kebetulan memang unggul dalam hal jumlah. Berdasarkan data tahun 1926, etnis Abkhaz hanya menyusun 1/3 dari total komposisi penduduk Uni Soviet.

Peta Georgia & Abkhazia. (npr.org)

Etnis Georgia di lain pihak merasa tidak suka kepada etnis Abkhaz karena menurut mereka, etnis Abkhaz selaku etnis minoritas di wilayah Georgia justru menerima terlalu banyak keistimewaan dari pemerintah pusat Uni Soviet. Sebagai contoh, sejak tahun 1978 sebanyak 2/3 jatah kursi di lembaga pemerintahan Abkhazia bakal ditempati oleh orang-orang dari etnis Abkhaz. Bukan hanya itu, etnis Abkhaz juga diperbolehkan menerbitkan surat kabar berbahasa Abkhaz & mengajarkan bahasa Abkhaz di sekolah-sekolah.

Memasuki pertengahan dekade 1980-an, pemerintah Uni Soviet melonggarkan praktik sensor medianya sehingga kini penduduk Uni Soviet memiliki kebebasan berpendapat yang lebih luas. Namun fenomena ini juga membawa dampak negatif berupa semakin menguatnya sentimen nasionalisme & fanatisme berbasis etnis.

Di Georgia misalnya, hubungan antara etnis Georgia dengan etnis Abkhaz semakin memanas karena etnis Georgia ingin menjadikan bahasa Georgia sebagai bahasa wajib di seluruh wilayah Georgia. Wacana yang oleh etnis-etnis non-Georgia dianggap sebagai upaya penindasan terhadap etnis minoritas.

Tahun 1991, Georgia memerdekakan diri dari Uni Soviet. Setahun kemudian, Georgia mengirimkan pasukannya ke wilayah Abkhazia karena pemerintah Abkhazia ingin mengelola wilayahnya secara mandiri. Peristiwa tersebut lantas menandai dimulainya Perang Abkhazia Pertama yang berlangsung hingga tahun 1993.

Berkat masuknya aliran persenjataan & milisi relawan dari Rusia, pasukan Abkhazia berhasil memenangkan perang tersebut. Perang kembali meletus pada tahun 1998, namun lagi-lagi pasukan Abkhazia berhasil keluar sebagai pemenang & mempertahankan statusnya sebagai "negara dalam negara".

Rangkaian kekalahan tersebut jelas tidak disukai oleh pihak Georgia. Pasalnya selain harus kehilangan kontrol atas sebagian wilayahnya sendiri, ada ratusan ribu etnis Georgia yang terpaksa mengungsi meninggalkan Abkazhia & kini menjadi beban sosial ekonomi bagi pemerintah Georgia. Pihak Abkazhia di lain pihak juga sadar akan kemungkinan kembali meletusnya perang melawan Georgia, sehingga hubungan antara Abkazhia dengan Georgia pun terus dipenuhi oleh rasa saling curiga.


Peta negara-negara pecahan Uni Soviet, termasuk Rusia & Georgia. (bbc.co.uk)


2. Memanasnya Hubungan Rusia & Georgia

Rusia merupakan negara pecahan Uni Soviet yang wilayahnya paling luas. Saat Uni Soviet masih berdiri, ibukota Uni Soviet juga berlokasi di wilayah negara bagian Rusia. Jadi tidak mengherankan jika selepas runtuhnya Uni Soviet, Rusia senantiasa mencari cara untuk mempertahankan dominasinya atas wilayah-wilayah di sekitarnya.

Wilayah Kaukasus menjadi salah satu daerah yang paling menarik perhatian Rusia. Pasalnya meskipun kecil, Kaukasus memiliki lokasi yang strategis akibat berbatasan langsung dengan Laut Hitam & Asia Barat. Wilayah Kaukasus juga kaya akan barang tambang bernilai tinggi seperti minyak bumi. Dengan melihat hal-hal tadi, tidak mengherankan jika kemudian Rusia memadang Kaukasus sebagai salah satu wilayah terpentingnya.

Georgia sebagai salah satu negara bekas Uni Soviet yang terletak di Kaukasus juga tidak luput dari pantauan Rusia. Kebetulan saat Georgia baru saja merdeka, negara tersebut langsung diguncang oleh pemberontakan separatis di Abkazhia & Ossetia Selatan. Saat perangnya sudah berhenti, Rusia kemudian mengirimkan pasukan perdamaian ke kedua wilayah tadi. Walaupun Rusia memposisikan diri mereka sebagai pihak penengah yang netral, rakyat Georgia merasa kalau Rusia aslinya membantu kubu separatis secara diam-diam.

Tahun 2004, Mikheil Saakashvili terpilih menjadi presiden baru Georgia. Sejak memimpin Georgia, Saakashvili memendam ambisi untuk mengembalikan keutuhan wilayah Georgia dengan segala cara. Di bawah kepemimpinannya, jumlah prajurit & anggaran militer Georgia meningkat drastis. Ia juga menambah jumlah tentara Georgia di Irak dengan harapan negara-negara Barat nantinya bersedia merekrut Georgia sebagai anggota baru NATO, organisasi militer yang beranggotakan Amerika Serikat & negara-negara Eropa sekutunya.

Mikheil Saakashvili. (agenda.ge)

Kebijakan-kebijakan Georgia tersebut di lain pihak ganti menuai rasa tidak suka dari Rusia. Pasalnya NATO memiliki prinsip "serangan ke 1 negara anggota berarti serangan ke semua negara anggota". Dengan kata lain, jika Georgia kelak benar-benar menjadi anggota NATO, Rusia bakal menghadapi resiko dikeroyok oleh negara-negara anggota NATO jika Rusia tetap ngotot menempatkan pasukannya di Abkazhia & Ossetia Selatan, 2 wilayah yang diakui dunia internasional sebagai wilayah sah milik Georgia.

Rusia juga merasa khawatir bahwa jika kelak Georgia benar-benar menjadi anggota baru NATO, NATO bakal memanfaatkan wilayah Georgia untuk mendirikan instalasi militer yang lokasinya berada tepat di balik perbatasan Rusia. Kebetulan saat Rusia masih menjadi bagian dari Uni Soviet, NATO pernah memasang misil Jupiter di wilayah Turki, di mana misil tersebut cukup jauh untuk menjangkau ibukota Moskow. Misil Jupiter sendiri akhirnya ditarik mundur dari wilayah Turki pada tahun 1962 sebagai bagian dari kesepakatan damai untuk mengakhiri Krisis Misil Kuba.



ABKHAZIA MENJELANG PERANG RUSIA-GEORGIA

Lembah Kodori yang terletak di Abkhazia utara menjadi salah satu kawasan paling bergolak di Abkhazia pasca berakhirnya Perang Abkhazia Kedua di tahun 1998. Lokasi Lembah Kodori yang agak terisolasi berkat keberadaan sungai & pegunungan di sekelilingnya menjadi penyebabnya. Kemudian dari segi kependudukan, penduduk Kodori umumnya berasal dari etnis Svan yang memiliki kedekatan sosial budaya dengan etnis Georgia. Sebagai akibatnya, pemerintah Abkhazia pun tidak memiliki kontrol efektif atas wilayah tersebut.

Bulan Juli 2006, sejumlah milisi Georgia melarikan diri ke Kodori karena mereka enggan menyerahkan persenjataannya kepada aparat Georgia. Georgia lantas mengirimkan pasukan polisinya ke Kodori untuk menangkap mereka & berhasil menguasai desa-desa di Kodori dalam prosesnya. Setelah berhasil memantapkan kedudukannya di Kodori, pemerintah Georgia kemudian mendirikan badan pemerintahan Abkhazia versi mereka di Kodori untuk menandingi rezim separatis Abkhazia yang berbasis di Sukhumi.

Peta lokasi Lembah Kodori (Kodori Gorge). (bbc.com)

Bulan April 2008, Georgia mengklaim kalau drone milik mereka ditembak jatuh oleh pesawat tempur Rusia di Abkhazia. Pemerintah Georgia juga merilis rekaman video untuk membuktikan klaim mereka, namun Rusia balik membela diri dengan menyatakan kalau video tersebut hanyalah hasil rekayasa.

Sejak periode yang sama, Rusia juga mengirimkan lebih banyak personil militernya ke Abkhazia. Rusia mengklaim kalau mereka hanya ingin memperbaiki jalur rel & jalan raya di Abkhazia. Namun Georgia menuduh kalau Rusia sedang melakukan persiapan invasi ke wilayah Georgia.

Tanggal 7 Agustus 2008, pasukan Georgia melakukan invasi ke wilayah Ossetia Selatan sehingga dimulailah perang di Ossetia Selatan. Pasukan Georgia mengklaim kalau invasi tersebut dilakukan karena pihak musuh yang melakukan provokasi terlebih dahulu.

Lepas dari alasan tersebut, Rusia pada akhirnya ikut melibatkan diri dalam perang ini setelah markas pasukan perdamaian mereka di Ossetia Selatan turut menjadi sasaran penyerangan oleh pasukan Georgia. Saat intensitas konflik di Ossetia Selatan kian memanas, perang ini pun lantas turut menjalar ke wilayah Abkhazia.



ABKHAZIA SEMASA PERANG RUSIA-GEORGIA

Tanggal 9 Agustus, pasukan Abkhazia melakukan serangan ke wilayah Kodori dengan memakai pesawat & meriam artileri supaya pasukan Georgia yang sedang menjaga Kodori segera angkat kaki. Sementara itu di Laut Hitam, kapal-kapal perang Rusia yang awalnya berada di pelabuhan Sevastopol, Ukraina selatan, dikirim menuju pantai barat Georgia supaya Georgia tidak bisa menyerang Abkhazia dari arah laut.

Sehari kemudian, kapal-kapal perang Rusia akhirnya tiba di lepas pantai Georgia & mereka langsung dihadang oleh kapal-kapal perang Georgia. Pertempuran singkat pun pecah di antara keduanya. Pada awalnya, armada Georgia menembakkan misilnya sebanyak 2 kali ke arah armada Rusia. Armada Rusia lantas menembak balik & berhasil menenggelamkan 1 kapal Georgia. Akibatnya, armada Georgia terpaksa mundur & sesudah itu mereka tidak lagi mencoba meladeni pasukan Rusia di laut.

Pasukan Rusia semasa Perang Rusia-Georgia. (georgiatoday.ge)

Tanggal 11 Agustus, pasukan Rusia yang berkekuatan 9.000 tentara & lebih dari 350 kendaraan lapis baja memasuki wilayah barat Georgia. Mereka kemudian menyerbu Poti (kota pelabuhan Georgia tempat kapal-kapal tanker biasa berlabuh) & Senaki (lokasi pangkalan udara terbesar di Georgia). Akibatnya, Georgia kini tidak bisa lagi menggunakan Senaki untuk membantu pasukannya yang tengah bertempur di Abkhazia & Ossetia Selatan.

Tanggal 12 Agustus, pasukan Abkhazia yang pada awalnya hanya melakukan serangan ke Kodori dari kejauhan akhirnya mulai berhamburan masuk ke dalam wilayah Kodori. Otoritas Abkhazia lantas mengajukan tawaran kepada pasukan Georgia. Jika mereka bersedia menyerah, maka pasukan Georgia akan dibiarkan meninggalkan Kodori hidup-hidup. Tawaran tersebut diterima oleh pihak Georgia sehingga wilayah Kodori sejak itu berada di bawah kendali Abkhazia.



KONDISI PASCA PERANG

Perang Rusia-Georgia di wilayah Abkhazia & Georgia barat berakhir dengan kemenangan pasukan Rusia & Abkhazia. Di Georgia tengah yang menjadi lokasi Ossetia Selatan, kesuksesan serupa juga berhasil diraih oleh pasukan Ossetia Selatan. Jumlah korban tewas akibat perang di Abkhazia diketahui berjumlah 3 orang, yaitu 1 tentara Abkhazia & 2 tentara Georgia.

Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban tewas di front Ossetia Selatan yang mencapai ratusan jiwa. Sebabnya tidak lain karena dalam perang di Abkhazia, pasukan Georgia setuju untuk pergi meninggalkan daerah konflik tanpa memberikan perlawanan lebih jauh. Sementara di Ossetia Selatan, pasukan Georgia bertempur habis-habisan terlebih dahulu sebelum akhirnya dipukul mundur oleh pasukan gabungan Rusia & Ossetia Selatan.

Massa yang sedang berparade sambil mengibarkan bendera Rusia & Abkhazia. (eurasianet.org)

Perang Rusia-Georgia yang berlangsung di Abkhazia & sekitarnya hanya berlangsung kurang dari seminggu, namun perang ini memiliki dampak jangka panjang yang amat besar. Akibat perang ini, Abkhazia - beserta Ossetia Selatan - kini semakin berani mengukuhkan statusnya sebagai negara merdeka yang terpisah dari Georgia.

Sejak akhir Agustus 2008, pemerintah Rusia bahkan mengakui Abkhazia sebagai negara merdeka. Selain Rusia, negara-negara berdaulat yang juga mengakui Abkhazia sebagai negara merdeka adalah Nauru, Nikaragua, Suriah, & Venezuela. Dan berkat keberadaan pasukan Rusia di wilayahnya, Abkhazia sejak tahun 2008 tidak pernah lagi dilanda konflik bersenjata berskala besar. Kawasan pantai Abkhazia sekarang juga ramai dikunjungi oleh turis-turis yang datang dari Rusia.

Georgia di lain pihak tetap menolak mengakui kemerdekaan Abkhazia & menganggap kalau Abkhazia adalah wilayah milik Georgia yang sedang dijajah oleh Rusia. Mayoritas negara berdaulat juga mengakui Abkhazia sebagai wilayah milik Georgia.

Untuk memprotes tindakan Rusia yang sudah menginvasi wilayah Georgia & mengakui kemerdekaan Abkhazia, Georgia keluar dari organisasi CIS (organisasi yang beranggotakan negara-negara pecahan Uni Soviet) & memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Rusia.

Saat Perang Abkhazia Pertama meletus, sebanyak kurang lebih 200.000 warga etnis Georgia terpaksa mengungsi meninggalkan Abkhazia. Sekarang, ada sekitar 60.000 di antara mereka yang kini sudah bermukim kembali di Abkhazia.

Namun karena pemerintah Abkhazia enggan mengakui mereka sebagai warga negara Abkhazia, mereka diperlakukan bak warga negara asing yang sebagian hak-hak hidupnya tidak dijamin oleh pemerintah Abkhazia. Sebagai contoh, warga etnis Georgia di Abkhazia harus memperbarui izin tinggal mereka secara berkala melalui prosedur yang berbelit-belit.

Suasana di pos perbatasan Abkhazia & Georgia. (agenda.ge)

Supaya warga etnis Georgia yang tinggal di Abkhazia tidak benar-benar terlantar, pemerintah Georgia tetap membuka akses di perbatasan Georgia dengan Abkhazia sehingga mereka yang tinggal di Abkhazia bisa bepergian ke wilayah Georgia & sebaliknya.

Namun hal tersebut bukanlah akhir dari masalah karena mereka yang hendak keluar masuk perbatasan harus selalu membawa surat-surat resmi yang diperlukan. Sebagai akibatnya, tidak jarang warga etnis Georgia di Abkhazia yang ingin melewati perbatasan harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi jika kebetulan mereka sedang tidak memiliki surat resmi yang masih berlaku.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



DAFTAR PERANG DI ABKHAZIA

Perang Abkhazia I
Perang Abkhazia II
-  Perang Rusia-Georgia di Abkhazia (artikel ini)



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : Agustus 1998
-  Lokasi : Abkhazia, Georgia

Pihak yang Bertempur
(Daerah)  -  Abkhazia
(Negara)  -  Rusia
     melawan
(Negara)  -  Georgia

Hasil Akhir
-  Kemenangan pihak Abkhazia & Rusia
-  Rusia mengakui Abkhazia sebagai negara merdeka sejak tahun 2008

Korban Jiwa
-  Abkhazia : 1 orang
-  Georgia : 2 orang



REFERENSI

AP. 2019. "A brief look at the history of Russia-Georgia relations".
(apnews.com/article/2fcbe15e50924aac9d45b60890cf6a82)

BBC. 2008. "Russia scales down Georgia toll".
(news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7572635.stm)

Civil Georgia. 2006. "Official: Government Forces Control Most of Kodori Gorge".
(old.civil.ge/eng/article.php?id=13180)

GlobalSecurity.org. "Abkhazia - August 2008".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/abkhazia-7.htm)

GlobalSecurity.org. "Abkhazia - Path to War".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/abkhazia-1.htm)

GlobalSecurity.org. "South Ossetia Daily Chronology".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/south-ossetia-10.htm)

GlobalSecurity.org . "Soviet Abkhazia".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/abkhazia-5.htm)

Gogua, N.. 2017. "Georgians in Gali — foreigners in their own land".
(oc-media.org/features/georgians-in-gali-foreigners-in-their-own-land/)

Human Rights Watch. 1995. "Georgia/Abkhazia: Violations of the Laws of War and Russia's Role in the Conflict".
(www.hrw.org/reports/1995/Georgia2.htm)

Khashig, I.. 2008. "Abkhaz Open "Second Front"".
(www.iwpr.net/?p=crs&s=f&o=346164&apc_state=henh)

L Fuller & R. Giragosian. 2007. "Georgia: What Is Behind Expansion Of Armed Forces?".
(www.rferl.org/a/1078720.html)

Minorities at Risk Project. 2004. "Chronology for Abkhazians in Georgia".
(www.refworld.org/docid/469f388ca.html)

Missile threat, CSIS. 2016. "SM-78 Jupiter".
(missilethreat.csis.org/missile/jupiter/)

O'Rourke, B.. 2009. "Georgia Finalizes Withdrawal From CIS".
(www.rferl.org/a/Georgia_Finalizes_Withdrawal_From_CIS/1802284.html)

Pryce, P.. 2020. "Why is Russia Modernizing Abkhazian Forces?".
(www.offiziere.ch/?p=37289)

RIA Novosti. 2008. "Abchasen räumen Minen und suchen versprengte georgische Truppen im Kodori-Tal".
(de.rian.ru/safety/20080814/116039970.html)

Shonia, T.. 2020. "Georgia: Perils of the Enguri Crossing".
(iwpr.net/global-voices/georgia-perils-enguri-crossing)

Wikipedia. "Foreign relations of Abkhazia".
(en.wikipedia.org/w/index.php?title=Foreign_relations_of_Abkhazia&oldid=987323814)
 






COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.