Perang Abkhazia Pertama, Pergolakan di Ujung Barat Georgia



Pasukan Abkhazia di tepi jembatan yang sudah hancur. (Sergei Mamontov & Alexander Nemenov / rferl.org)

Abkhazia adalah nama dari sebuah daerah kecil yang berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, Georgia di sebelah timur, serta Laut Hitam di sebelah barat & selatan. Di masa kini, mayoritas negara berdaulat menganggap Abkhazia sebagai wilayah milik Georgia. Namun bagi Rusia & sejumlah negara sekutunya, Abkhazia dipandang sebagai negara tersendiri yang terpisah dari Georgia.

Rumitnya status internasional yang dimiliki oleh Abkhazia tidak lepas dari konflik yang pernah menjerat Abkhazia. Saat Uni Soviet runtuh, Georgia selaku salah satu negara pecahan Uni Soviet mengangap Abkhazia sebagai bagian dari wilayahnya. Saat klaim Georgia tersebut ditolak oleh kubu Abkhazia, timbullah Perang Abkhazia Pertama antara pasukan Abkhazia melawan pasukan Georgia.

Nama "Pertama" pada perang ini diberikan karena perang ini merupakan perang pertama yang terjadi di Abkhazia tepat sesudah bubarnya Uni Soviet. Di kalangan komunitas etnis Abkhaz sendiri, perang ini juga dikenal dengan nama "Perang Patriotik" karena rakyat Abkhazia menganggap perang ini sebagai perjuangan gigih mereka dalam melindungi Abkhazia dari serbuan bangsa luar Abkhazia (dalam hal ini Georgia).



LATAR BELAKANG

1. Abkhazia Sebelum Era Soviet

Wilayah Abkhazia sudah sejak lama menjadi arena perebutan negara-negara di sekitarnya sebagai akibat lokasinya yang strategis. Daratan Abkhazia terletak di Kaukasus, daratan sempit yang menghubungkan Eropa Timur di sebelah utara dengan Asia Barat di sebelah selatan. Abkhazia juga berbatasan dengan Laut Hitam di sebelah barat.

Bagi Rusia, Laut Hitam memiliki peran yang amat vital karena perairan tersebut berbatasan langsung dengan wilayah Rusia & airnya tidak pernah membeku sepanjang tahun. Berbeda dengan perairan di sebelah utara & timur Rusia yang permukaan airnya bakal langsung dipenuhi oleh bongkahan es setiap kali musim dingin tiba, sehingga perairan yang bersangkutan menjadi jauh lebih berbahaya untuk digunakan oleh kapal-kapal laut.

Peta Kaukasus di era modern.

Pentingnya peran yang dimiliki oleh Laut Hitam bagi Rusia lantas membuat Rusia berambisi untuk menguasai daerah-daerah yang berada di sekitar Laut Hitam, termasuk Abkhazia. Abkhazia sendiri pada awalnya merupakan kerajaan tersendiri yang kemudian melebur dengan Kerajaan Georgia pada abad ke-10. Kemudian sejak abad ke-16, wilayah Abkhazia berhasil ditundukkan oleh Ottoman. Selama Ottoman berkuasa, banyak orang Abkhazia / Abkhaz yang berpindah agama ke Islam.

Pada abad ke-19, Abkhazia yang selama ini berada di bawah kendali Ottoman akhirnya berpindah tangan ke Rusia. Untuk memperkuat pengaruhnya atas Abkhazia, Rusia mendeportasi ratusan ribu Muslim Abkhaz ke wilayah Ottoman & memperkenalkan aksara Cyrillic sebagai aksara resmi untuk etnis Abkhaz. Lahan yang tadinya ditempati oleh Muslim Abkhaz kemudian ganti ditempati oleh orang-orang etnis Georgia & Rusia yang datang dari luar Abkhazia, sehingga etnis Abkhaz kini menjadi etnis minoritas di tanahnya sendiri.

Tahun 1917, tsar / kaisar Rusia mundur dari tahtanya sehingga berakhirlah riwayat Kekaisaran Rusia. Karena faksi-faksi yang menyusun badan pemerintahan baru Rusia terlibat perbedaan pendapat mengenai cara menjalankan pemerintahan, Rusia pun sesudah itu dilanda perang saudara. Kekacauan yang tengah melanda Rusia kemudian dimanfaatkan oleh daerah-daerah di Kaukasus untuk memerdekakan diri.

Georgia termasuk salah satu daerah di Kaukasus yang memerdekakan diri di tengah-tengah berlangsungnya perang saudara Rusia. Namun riwayat Georgia sebagai negara tersendiri tidak berlangsung lama setelah pasukan komunis Bolshevik menginvasi wilayah Georgia pada tahun 1921. Pasca invasi, Georgia dijadikan negara bagian penyusun Uni Soviet, sementara Abkhazia dijadikan daerah otonomi di dalam wilayah negara bagian Georgia.


Tentara Uni Soviet di Tbilisi, Georgia. (agenda.ge)


2. Abkhazia di Era Soviet

Memasuki tahun 1926, jumlah etnis Abkhaz yang menyusun komposisi penduduk Abkhazia tidak sampai 1/3 total penduduk Abkhazia. Saat tokoh kelahiran Georgia yang bernama Joseph Stalin naik menjadi pemimpin baru Partai Komunis Uni Soviet, upaya untuk menghilangkan identitas budaya etnis Abkhaz semakin gencar. Bahasa Abkhaz kini hanya boleh ditulis memakai aksara Georgia. Tokoh-tokoh intelektual etnis Abkhaz dibunuh oleh aparat Uni Soviet.

Tahun 1954, Stalin meninggal dunia. Setelah Stalin meninggal, orang-orang Abkhaz kini diperbolehkan kembali menggunakan aksara Cyrillic dalam komunikasi sehari-harinya. Momen tersebut tidak disia-siakan oleh komunitas Abkhaz yang mencoba menghidupkan kembali identitas budayanya. Bahasa Abkhaz kini mulai diajarkan di sekolah-sekolah tingkat menengah & atas. Media-media berbahasa Abkhaz semakin banyak bermunculan.

Menguatnya sentimen kesukuan di antara komunitas Abkhaz berbarengan dengan semakin bertambahnya populasi orang-orang non-Abkhaz yang menghuni Abkhazia. Buntutnya, pada tahun 1978 etnis Abkhaz meminta supaya daerah Abkhazia dijadikan negara bagian tersendiri. Permintaan tersebut ditolak oleh pemerintah pusat Uni Soviet. Namun sebagai gantinya, sebanyak 2/3 jatah kursi di lembaga pemerintahan Abkhazia bakal ditempati oleh etnis Abkhaz.

Komunitas Abkhaz menyambut hangat keputusan pemerintah Uni Soviet tersebut. Namun sikap sebaliknya ditunjukkan oleh komunitas etnis Georgia di Abkhazia. Pasalnya meskipun jumlah etnis Georgia 2 kali lebih banyak dibandingkan etnis Abkhaz, mereka justru menerima jatah lebih sedikit di lembaga pemerintahan. Pemerintah negara bagian Georgia juga merasa tidak suka dengan komunitas Abkhaz yang dianggap menerima otonomi terlalu luas meskipun mereka hanya berstatus sebagai etnis minoritas di wilayah Georgia.

Tahun 1985, Mikhail Gorbachev menjadi pemimpin baru Partai Komunis Uni Soviet. Untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi Uni Soviet yang pada waktu itu tengah melemah, Gorbachev mengeluarkan kebijakan "glasnost" (keterbukaan) & "perestroika" (restrukturisasi). Karena kombinasi dari kedua kebijakan tersebut memberikan kebebasan berpendapat yang lebih luas, gerakan-gerakan nasionalisme berbasis etnis pun mulai timbul di negara-negara bagian Uni Soviet, termasuk di Georgia.

Mikhail Gorbachev. (britannica.com)

Golongan nasionalis Georgia berambisi memerdekakan wilayahnya sambil menjadikan bahasa Georgia sebagai bahasa wajib di seantero wilayah Georgia. Rencana tersebut langsung ditentang oleh etnis-etnis non-Georgia yang menganggapnya sebagai upaya penindasan terhadap etnis minoritas. Dampaknya, kerusuhan antar etnis pun semakin sering terjadi di Georgia. Pada bulan Juli 1989 misalnya, sebanyak 14 orang tewas & 127 lainnya luka-luka pasca terjadinya bentrokan antara etnis Abkhaz & Georgia di Sukhumi, ibukota Abkhazia.

Tahun 1990, golongan nasionalis Georgia berhasil memenangkan pemilu daerah. Namun pelaksanaan pemilu tersebut dianggap bermasalah karena tidak semua penduduk di wilayah Abkhazia & Ossetia Selatan - daerah otonomi lain yang terletak di Georgia tengah - diperbolehkan mengikuti pemilu. Sebagai akibatnya, wacana supaya Abkhazia & Ossetia Selatan sekalian menjadi negara merdeka yang terpisah dari Georgia pun semakin menguat di masing-masing daerah.


3. Abkhazia di Era Georgia Merdeka

Tanggal 9 April 1991, pemerintah negara bagian Georgia mengumumkan kemerdekaannya. Zviad Gamsakhurdia terpilih sebagai presiden pertama negara Georgia merdeka. Begitu Gamsakhurdia mulai menjabat, ia memerintahkan supaya lawan-lawan politiknya ditangkap. Saat gelombang ketidakpuasan terhadap rezim Gamsakhurdia semakin meluas, konflik pun pecah antara mereka yang mendukung & menentang rezim Gamsakhurdia. Georgia kini terjerumus dalam perang saudara.

Tanggal 6 Januari 1992, Gamsakhurdia melarikan diri ke luar Georgia pasca timbulnya pertempuran sengit di ibukota Tbilisi. Kubu penentang Gamsakhurdia kemudian mendirikan badan pemerintahan baru untuk menggantikan rezim Gamsakhurdia. Namun perang masih jauh dari kata berakhir karena para pendukung Gamsakhurdia (dikenal juga dengan sebutan "Zviadist") memilih untuk tetap melanjutkan perlawanan.

Etnis Georgia yang tinggal di Abkhazia pada umumnya merupakan golongan pendukung Gamsakhurdia. Pemerintah daerah Abkhazia sendiri pada awalnya bersikap pasif selama berlangsungnya perang saudara. Namun setelah pemerintah Georgia menjalankan kembali konstitusi tahun 1921 pada bulan Februari 1992, pemerintah Abkhazia merasa tersulut karena konstitusi tersebut dianggap sebagai upaya pemerintah pusat Georgia untuk menghilangkan otonomi khusus yang selama ini dimiliki oleh Abkhazia.

Pasukan Georgia saat memasuki kota Sukhumi, Abkhazia. (abkhazworld.com)

Bulan Juli 1992, parlemen Abkhazia mengumumkan kalau pihaknya memberlakukan kembali konstitusi warisan Uni Soviet yang pada intinya menyatakan kalau wilayah Abkhazia beroperasi secara terpisah dari wilayah Georgia. Pemerintah pusat Georgia menganggap tindakan tersebut sebagai upaya Abkhazia untuk melepaskan diri dari Georgia. Maka, pasukan Georgia yang berkekuatan 2.000 personil pun kemudian dikirim ke Abkhazia.

Selain untuk menggagalkan upaya kemerdekaan Abkhazia, alasan lain mengapa Georgia mengirim pasukannya ke Abkhazia adalah untuk membebaskan 13 warga Georgia yang diculik & ditahan oleh milisi-milisi Zviadist di Abkhazia. Sebanyak 10 di antara mereka akhirnya dibebaskan pada tanggal 14 Agustus, sementara 3 orang lainnya baru dibebaskan pada tanggal 19 Agustus saat peperangan di Abkhazia tengah sengit-sengitnya berlangsung.



BERJALANNYA PERANG

Perang Saudara di Tengah Perang Saudara

Tanggal 13 Agustus 1992, pasukan Georgia yang dilengkapi dengan tank, meriam artileri, & helikopter memasuki desa Gali yang terletak di Abkhazia timur. Keesokan harinya, pasukan Georgia berhasil menduduki bandara Sukhumi yang terletak di Abkhazia tengah. Pasukan Abkhaz yang terdiri dari petugas keamanan & milisi relawan etnis Abkhaz mencoba melawan. Namun karena mereka hanya dilengkapi dengan senapan & bom molotov, mereka tidak berhasil menghentikan laju pasukan Georgia.

Pasukan Georgia bukan hanya menyerbu dari arah darat (timur), tetapi juga dari arah laut (barat). Kota Gagra yang terletak di Abkhazia barat laut adalah contoh dari kota Abkhazia yang berhasil direbut oleh pasukan Georgia yang menyerbu dari arah laut. Dari sana, pasukan Georgia melanjutkan pergerakannya ke arah timur sehingga pasukan Abkhazia kini terkepung dari 2 arah sekaligus.

Peta Abkhazia. (Giorgi Balakhadze / wikimedia.org)

Memasuki tanggal 18 Agustus, sebagian besar kota Sukhumi kini sudah berada di tangan pasukan Georgia. Pasukan Georgia kemudian menduduki gedung kementerian Abkhazia & mengibarkan bendera Georgia di atasnya. Mereka juga mengambil alih bangunan-bangunan komunikasi di Abkhazia seperti stasiun televisi, kantor telegrap, & pusat jaringan telepon. Wilayah yang masih dikuasai oleh pasukan Abkhazia kini tinggal wilayah Abkhazia tengah, tepatnya kota Gudauta & sekitarnya.

Karena wilayah Abkhazia berbatasan dengan laut & memiliki iklim yang relatif lebih hangat jika dibandingkan wilayah Uni Soviet yang lain, kawasan pantai Abkhazia banyak dikunjungi oleh wisatawan-wisatawan Uni Soviet. Saat Perang Abkhazia Pertama meletus, banyak turis asing yang terjebak di tengah-tengah perang karena pasukan Georgia melancarkan invasinya secara mendadak.

Menanggapi hal tersebut, Rusia pun mengirimkan pasukannya ke Abkhazia untuk membantu mengevakuasi warga negaranya yang terjebak di Abkhazia. Pasukan Rusia tiba di Abkhazia pada tanggal 16 Agustus. Memasuki tanggal 20 Agustus, jumlah warga sipil yang berhasil dievakuasi oleh kapal-kapal Rusia di Laut Hitam mencapai hampir 10.000 orang.

Walaupun Rusia mencoba memposisikan dirinya sebagai negara netral dalam konflik ini, dalam praktiknya banyak tentara Rusia yang secara diam-diam menjual persenjataan ke kedua belah pihak. Sejumlah pilot pesawat tempur Rusia bahkan ada yang ikut bertempur sebagai bagian dari kubu Abkhaz sejak bulan Desember 1992.

Pasukan Abkhaz bukan hanya mendapat bala bantuan dari sejumlah tentara Rusia. Karena merasa bersimpati atas perjuangan etnis Abkhaz, sejumlah relawan dari luar Abkhazia berduyun-duyun memasuki wilayah Abkhazia untuk bergabung dengan pasukan etnis Abkhaz. Para relawan tersebut umumnya berasal dari etnis Chechnya, Ingushetia, & Armenia. Masuknya mereka tak pelak membuat intensitas konflik semakin sengit.

Semakin banyaknya pihak yang ikut terseret ke dalam konflik ini lantas membuat pemerintah Rusia memutuskan kalau sudah waktunya mereka bertindak lebih aktif dalam konflik ini. Salah satu pertimbangannya adalah karena banyak milisi dalam konflik ini berasal dari Chechnya, daerah milik Rusia di Kaukasus yang kebetulan juga ingin memerdekakan diri dari Rusia. Alasan lainnya adalah karena selama perang berlangsung, gudang-gudang senjata milik Rusia di Georgia kerap menjadi sasaran penjarahan oleh kedua belah pihak.


Pasukan milisi Abkhaz. (Andrei Solovyov / rferl.org)



Gencatan Senjata yang Tidak Berlangsung Lama

Atas tekanan dari Rusia, pada tanggal 26 Agustus kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Pasukan Georgia mulai ditarik mundur dari Abkhazia pada tanggal yang sama. Dua hari kemudian, helikopter Rusia mendarat di Gudauta untuk memulangkan orang-orang Chechnya yang bertempur di Abkhazia. Tanggal 3 September, perwakilan Abkhazia & Georgia menandatangani kesepakatan damai.

Berdasarkan kesepakatan ini, Abkhazia akan tetap menjadi bagian dari wilayah Georgia. Sebagai gantinya, jumlah personil militer Georgia akan dipangkas & stok persenjataan ilegal milik kedua belah pihak bakal dilucuti. Dicapainya kesepakatan damai ini sayangnya gagal menghentikan konflik seutuhnya karena kedua belah pihak sama-sama melontarkan tuduhan kalau kubu lawannya melakukan pelanggaran kesepakatan damai. Akibatnya, perang pun kembali meletus pada tanggal 1 Oktober.

Saat perang kembali meletus, pasukan Abkhazia kini berada dalam kondisi yang jauh lebih kuat. Pasukan mereka kini berjumlah hampir 4.000 personil di mana selain diperkuat oleh orang-orang etnis Abkhaz, mereka juga diperkuat oleh milisi-milisi relawan yang datang dari luar Georgia. Sementara dari segi persenjataan, pasukan Abkhaz kini dilengkapi dengan senapan peluncur roket, tank T-72, kendaraan lapis baja, & meriam artileri.

Kota Gagra yang ada di Abkhazia barat laut menjadi salah satu daerah pertama yang menjadi arena konflik di bulan Oktober. Pasukan Georgia yang sedang menguasai kota tersebut kalah dalam hal jumlah personil, namun unggul dalam hal jumlah kendaraan tempur. Meskipun begitu, karena kawasan sekitar Gagra adalah kawasan pegunungan, pasukan Georgia tidak bisa memanfaatkan keunggulannya secara maksimal.

Prajurit Abkhaz yang sedang menenteng senapan AK-47 & peluncur roket. (Andrei Solovyov / rferl.org)

Untuk menghancurkan tank-tank pasukan Georgia, prajurit Abkhazia akan menyelinap masuk ke dalam bangunan & kemudian menembakkan senjata roketnya dari dalam bangunan. Hasilnya, pada tanggal 3 Oktober pasukan Abkhazia berhasil menguasai kota Gagra. Jumlah korban tewas dalam pertempuran ini diperkirakan mencapai 400 jiwa, di mana 300 di antaranya berasal dari pihak Georgia.

Tanggal 14 Desember, helikopter Rusia ditembak jatuh seusai mengevakuasi warga sipil etnis Abkhaz di kota Tkvarcheli. Akibat insiden tersebut, setidaknya 52 orang menjadi korban tewas, di mana 25 di antaranya diketahui sebagai anak-anak.

Pemerintah Georgia mengklaim kalau pelaku penembakan tersebut bukanlah tentara Georgia. Namun rakyat Rusia sudah terlanjur merasa tidak percaya dengan Georgia sehingga makin banyak tentara Rusia yang bersimpati kepada Abkhaz & mengirimkan persenjataan secara diam-diam ke pihak Abkhaz.

Rusia secara resmi tidak pernah menyatakan kalau negaranya mendukung Abkhazia. Namun karena Georgia menganggap kalau Rusia aslinya berpihak kepada Abkhazia, pasukan Georgia kini tidak segan-segan menyerang tentara Rusia.

Pada tanggal 18 Januari 1993, helikopter Rusia yang sedang membawa bantuan kemanusiaan ke kota Tkvarcheli dipaksa mendarat oleh pasukan Georgia. Helikopter tersebut beroperasi atas anjuran dari lembaga Palang Merah, namun pasukan Georgia tetap menahan para awak helikopter karena mereka dianggap memasuki wilayah Georgia tanpa izin.

Tidak lama sesudah insiden tersebut, pasukan Georgia menyerang pangkalan militer milik Rusia di Ehsera & Tbilisi untuk mengambil stok persenjataan di dalamnya. Pasukan Georgia juga sempat menyandera puluhan tentara Rusia di Lagodekhi. Karena tindakan pasukan Georgia tersebut dianggap sudah melampaui batas, pada tanggal 20 Februari pesawat Su-25 Rusia melakukan pemboman ke kota Sukhumi yang sedang dikuasai oleh pasukan Georgia.

Pesawat Su-25 Rusia. (Magnus Manske / wikipedia.org)

Bicara soal Sukhumi, pasukan Abkhazia pada bulan Januari 1993 sempat melakukan invasi dari arah barat & dari arah selatan (laut) untuk menguasai kembali kota tersebut. Namun karena sisi barat kota Sukhumi dilindungi oleh Sungai Gumista, upaya pasukan Abkhazia untuk menguasai Sukhumi harus berakhir dengan kegagalan. Pasukan Abkhazia kembali mencoba menguasai Sukhumi pada bulan Maret & Juli dengan memakai taktik serupa, namun keduanya sama-sama berakhir dengan kegagalan.

Tanggal 27 Juli 1993, pasukan Abkhazia & Georgia sepakat untuk kembali melakukan gencatan senjata. Di luar Georgia, Dewan Keamanan PBB juga mengeluarkan Resolusi 854 yang isinya meminta supaya pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Abkhazia segera menghentikan kontak senjata. Sebagai tindak lanjut atas resolusi tersebut, PBB dengan nama mandat UNOMIG mengirimkan sejumlah personilnya ke Abkhazia untuk membantu mengawasi jalannya gencatan senjata.


Musuh Lama yang Bangkit Kembali

Saat konflik antara pasukan Abkhazia & Georgia mereda, sisa-sisa milisi Zviadist kembali melakukan pemberontakan supaya Zviad Gamsakhurdia bisa kembali menjadi presiden Georgia. Pasukan Georgia tidak bisa leluasa melawan karena sebagai bagian dari resolusi damai PBB, pasukan Georgia harus membiarkan persenjataan beratnya dilucuti. Sebagai akibatnya, pada awal bulan September pasukan Zviadist sudah berhasil menguasai kota-kota penting di Georgia barat seperti Mingrelia, Senaki, Poti, & Gali (Abkhazia).

Saat konsentrasi pasukan Georgia tengah tersita itulah, pada tanggal 16 September pasukan Abkhazia melakukan serangan besar-besaran ke kota Sukhumi, Ochamchira, & sekeliling Tkvarcheli. Pasukan Abkhazia beralasan pihaknya berhak untuk tidak lagi mematuhi gencatan bersenjata karena pasukan Georgia di Abkhazia belum menyerahkan semua persenjataannya. Karena pasukan Georgia diserang saat sedang berada dalam kondisi tidak siap, pasukan Abkhazia dalam perkembangannya berhasil menguasai hampir 80 persen wilayah Abkhazia.  

Warga sipil Georgia yang sedang mengungsi meninggalkan Abkhazia. (Reuters / rferl.org)

Tindakan pasukan Abkhazia tersebut di lain pihak langsung mengundang kecaman dari Rusia. Maka, Rusia pun memutus jaringan listrik & saluran telepon yang mengarah ke Abkhazia. Namun tindakan tersebut tetap tidak berhasil menghentikan sepak terjang pasukan Abkhazia. Bahkan kini mereka sudah mengepung sekeliling kota Sukhumi pada tanggal 21 September. Karena pasukan Georgia yang menjaga kota tersebut menolak untuk menyerah, pertempuran hebat pun kemudian langsung melanda Sukhumi.

Selama pertempuran berlangsung, pesawat-pesawat yang mencoba mengevakuasi warga sipil Sukhumi ditembak jatuh oleh pasukan Abkhazia. Saat kota Sukhumi akhirnya jatuh ke tangan pasukan Abkhazia pada tanggal 27 September, sebanyak puluhan ribu warga sipil Sukhumi dievakuasi ke luar kota oleh kapal-kapal militer Rusia. Di luar Abkhazia, pertempuran antara pasukan Georgia & Zviadist juga masih berlangsung. Bahkan kini pasukan Zviadist sudah berjarak semakin dekat dengan Tbilisi, ibukota Georgia.

Kewalahan karena harus meladeni banyak musuh sekaligus, pemerintah Georgia terpaksa meminta bantuan ke luar negeri. Pada tanggal 8 Oktober, Eduard Shevardnadze selaku presiden Georgia mengumumkan kalau negaranya bakal bergabung dalam Commonwealth of Independent States (CIS; Persemakmuran Negara-Negara Merdeka), organisasi yang beranggotakan negara-negara pecahan Uni Soviet.

Sejak melepaskan diri dari Uni Soviet, pemerintah Georgia awalnya selalu menolak bergabung ke dalam CIS karena organisasi tersebut dianggap sebagai upaya Rusia untuk menjaga pengaruhnya atas negara-negara sekitarnya. Berubahnya sikap pemerintah Georgia lantas diikuti dengan masuknya pasukan Rusia ke wilayah Georgia untuk membantu melindungi jalur-jalur transportasi di Georgia. Pasukan Rusia juga mengirimkan bantuan persenjataan kepada Georgia supaya pasukan Zviadist bisa segera ditumpas.

Milisi Zviadist. (AlexandreAssatiani / wikimedia.org)

Situasi di Georgia sendiri masih tetap panas karena konflik antara pasukan Georgia melawan pasukan Zviadist & separatis Abkhazia masih tetap berlangsung. Karena sepak terjang Zviadist dianggap lebih berbahaya, pasukan Georgia memutuskan untuk fokus memerangi pasukan Zviadist.

Hasilnya, pasukan Georgia berhasil mendesak balik pasukan Zviadist & memenangkan perang saudara pada akhir tahun 1993. Gamsakhurdia sendiri nantinya ditemukan tewas dengan luka tembak di kepalanya, namun masih belum diketahui apakah dia tewas akibat bunuh diri atau dibunuh oleh orang yang identitasnya masih belum jelas.

Berkecamuknya konflik antara pasukan Georgia melawan Zviadist lantas dimanfaatkan oleh pasukan Abkhazia untuk menggencarkan operasi militernya. Hasilnya, pada akhir tahun 1993 pasukan Abkhazia berhasil menguasai hampir seluruh wilayah yang terletak di sisi barat Sungai Enguri, sungai yang memisahkan wilayah Abkhazia dengan wilayah Georgia lainnnya. Perang Abkhazia Pertama pun berakhir dengan kegagalan pasukan Georgia mempertahankan kendalinya atas wilayah Abkhazia.



KONDISI PASCA PERANG

Perang Abkhazia Pertama hanya berlangsung kurang dari 1,5 tahun, namun perang ini menyebabkan kota-kota di Abkhazia porak poranda. Seringnya pasukan kedua belah pihak menembakkan meriamnya secara membabi buta ke kawasan padat penduduk menjadi penyebab utamanya. Kemudian setiap kali pasukan dari salah satu kubu berhasil menguasai wilayah milik kubu lawannya, mereka bakal langsung melakukan vandalisme & penjarahan ke rumah-rumah penduduk.

Sebelum Perang Abkhazia Pertama meletus, banyak warga sipil etnis Georgia & Abkhaz yang hidup bertetangga & bahkan saling menikah. Ketika perang meletus, banyak dari mereka yang tidak bisa lagi hidup berdampingan & terpaksa mengungsi akibat maraknya aksi-aksi penyerangan bermotifkan kebencian antar etnis. Maraknya aksi-aksi penjarahan & penganiayaan kepada warga sipil tidak lepas dari fakta bahwa pasukan di kedua belah pihak umumnya beranggotakan relawan & milisi yang tidak memiliki tingkat kedisiplinan memadai.

Kota Sukhumi pada awalnya dihuni oleh 120.000 penduduk. Saat kota tersebut berhasil dikuasai oleh pasukan Georgia, jumlah penduduk Sukhumi menurun menjadi tinggal 50.000, di mana mayoritasnya berasal dari etnis Georgia. Saat pasukan Abkhazia berbalik menjadi pihak yang lebih dominan menjelang berakhirnya perang, banyak warga sipil etnis Georgia yang beramai-ramai pergi meninggalkan Abkhazia. Jumlah pengungsi di akhir Perang Abkhazia Pertama dilaporkan mencapai 200.000 jiwa, di mana mayoritasnya merupakan etnis Georgia.

Peta Georgia & Abkhazia. (npr.org)

Bulan Juni 1994, atas izin dari pemerintah Abkhazia & Georgia, pasukan perdamaian CIS yang beranggotakan 1.600 tentara Rusia diterjunkan di perbatasan Abkhazia & Georgia untuk memastikan agar kedua belah pihak tidak kembali berkonflik. Tanggal 26 November 1994, parlemen Abkhazia mengadopsi konstitusi baru yang pada intinya menyatakan kalau Abkhazia adalah negara merdeka. Kemudian pada tanggal 6 Desember, Vladislav Ardzinba dilantik menjadi presiden pertama "negara" Abkhazia.

Pemerintah Georgia tetap bersikeras menganggap Abkhazia sebagai bagian dari wilayahnya. Namun keberadaan pasukan perdamaian Rusia & belum pulihnya kondisi domestik Georgia seusai perang saudara menyebabkan Georgia tidak bisa menggunakan jalur militer untuk menguasai kembali Abkhazia. Saat hubungan antara Georgia dengan Abkhazia tidak kunjung membaik, pasukan Abkhazia nantinya bakal kembali terlibat perang melawan pasukan etnis Georgia beberapa tahun kemudian.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



DAFTAR PERANG DI ABKHAZIA

-  Perang Abkhazia I (artikel ini)
Perang Abkhazia II
Perang Rusia-Georgia di Abkhazia



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : 1992 - 1993
-  Lokasi : Abkhazia, Georgia

Pihak yang Bertempur
(Daerah)  -  Abkhazia
(Grup)  -  milisi pro Abkhazia
      melawan
(Negara)  -  Georgia
(Grup)  -  milisi pro Georgia
      melawan
(Grup)  -  Zviadist
      melawan
(Negara)  -  Rusia

Hasil Akhir
-  Kemenangan pihak Abkhazia
-  Kekalahan pihak Zviadist
-  Abkhazia menjadi negara merdeka yang tidak diakui dunia internasional
-  Pasukan perdamaian Rusia diterjunkan di perbatasan Abkhazia & Georgia

Korban Jiwa
-  Abkhazia : 4.040 jiwa
-  Georgia : 4.000 - 11.000 jiwa



REFERENSI

Ardzinba, A.. 2019. "Portraits of the war: stories of Abkhaz volunteers".
(abaza.org/en/portraits-of-the-war-stories-of-abkhaz-volunteers)

BBC. 2011. "Georgia ex-president's 1993 'suicide' questioned".
(www.bbc.com/news/world-europe-12540564)

Owen, E.. 2009. "Abkhazia's Diaspora: Dreaming of Home".
(www.eurasianet.org/departments/insightb/articles/eav030909b.shtml)

GlobalSecurity.org. "Georgia 1992 Civil War".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/georgia-1992.htm)

GlobalSecurity.org. "Independent Abkhazia".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/abkhazia-4.htm)

GlobalSecurity.org. "Soviet Abkhazia".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/abkhazia-5.htm)

Human Rights Watch. 1995. "Georgia/Abkhazia: Violations of the Laws of War and Russia's Role in the Conflict".
(www.hrw.org/reports/1995/Georgia2.htm)

Minorities at Risk Project. 2004. "Chronology for Abkhazians in Georgia".
(www.refworld.org/docid/469f388ca.html)

Tarkha-Mouravi, G.. 1996. "The Georgian-Abkhazian Conflict in A Regional Context".
(pdc.ceu.hu/archive/00002157/01/IPS_Abkhaz_paper_jav.pdf)

UNOMIG. 2009. "Georgia - UNOMIG - Background".
(peacekeeping.un.org/mission/past/unomig/background.html)
  






COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.