Perang Sipil Inggris, Lahirnya Republik di Kepulauan Britania



Lukisan mengenai Pertempuran Naseby (1645) dalam Perang Sipil Inggris. (Sumber)

Perang sipil Inggris (English civil war) adalah perang saudara yang berlangsung antara tahun 1642 hingga 1651 di wilayah Kerajaan Inggris. Perang ini merupakan konflik antara kubu pendukung raja Inggris (Royalis) melawan kubu pendukung Parlemen Inggris (Parlementaris). Selain dengan nama Royalis, kubu pendukung raja juga dikenal dengan sebutan "Cavaliers" (Para Prajurit Berkuda) sebagai simbolisasi kalau mereka yang mendukung raja adalah para ksatria yang setia. Kalau untuk kubu pendukung Parlemen, mereka dikenal dengan julukan lain "Rounheads" (Para Kepala Bundar) karena beberapa anggota Parlemen memiliki model rambut yang bentuknya menyesuaikan lekuk kepala.

Berdasarkan waktu & faktor pemicunya, perang sipil Inggris bisa dibagi ke dalam 3 fase utama : fase pertama (1642 - 1646), fase kedua (1648 - 1649), & fase ketiga (1650 - 1651). Seusai perang, Kerajaan Inggris sempat menghilang selama beberapa tahun karena digantikan oleh negara republik yang mengusung nama "Persemakmuran Inggris" (Commonwealth of England). Dan berhubung pada masa itu wilayah Skotlandia & Pulau Irlandia berstatus sebagai wilayah bawahan Kerajaan Inggris, hasil dari perang sipil Inggris pada gilirannya turut berdampak pada terjadinya perubahan sosial politik di kedua wilayah tadi.



LATAR BELAKANG

Sejak tahun 1625, Inggris dipimpin oleh Raja Charles I. Di tahun awal kepemimpinannya pula, dia menikah dengan Henrietta Maria, putri dari raja Perancis Henry IV yang beragama Katolik. Pernikahan antara Charles & Maria ditanggapi dingin oleh rakyat Inggris yang beragama Protestan karena mereka memiliki pengalaman buruk dengan penganut Katolik.

Sebagai contoh, ketika Inggris dipimpin oleh Ratu Mary I pada tahun 1553 hingga 1558, Mary mencoba menjadikan Katolik sebagai satu-satunya agama yang diperbolehkan di Inggris & sempat mengeksekusi ratusan penganut Protestan. Lalu pada tahun 1605, seorang ekstrimis Katolik yang bernama Guy Fawkes ditangkap & dieksekusi karena berencana membunuh Raja James I.

Peta Kepulauan Britania. (Sumber)

Tahun 1637, Raja Charles mengeluarkan buku panduan doa untuk rakyat Skotlandia. Perilisan buku tersebut langsung memancing amarah & penolakan dari golongan Presbiterian - salah satu aliran dalam Kristen Protestan - karena mereka merasa panduan dalam buku tersebut terlalu mirip dengan ritual agama Katolik.

Sebagai akibatnya, rasa tidak suka golongan Protestan garis keras (Puritan) terhadap Charles semakin membumbung. Apalagi kebijakan buku baru tersebut keluar tidak lama Charles mengangkat William Laud sebagai Uskup Besar Kerajaan Inggris. Menurut golongan Puritan, keberadaan Uskup Besar tidak diperlukan dalam agama Protestan karena Uskup Besar adalah konsep buatan Paus & institusi Katolik. Kebijakan Raja Charles untuk memaksakan buku panduan doa lantas berdampak pada meletusnya pemberontakan di Skotlandia pada tahun 1639.

Setahun kemudian, perang berakhir dengan kemenangan pasukan pemberontak (dikenal juga dengan sebutan Covenanters / para pemegang janji untuk menjaga kemurnian Presbiterian) di mana Charles berjanji kalau dia tidak akan memaksakan buku panduan doa ke rakyat Skotlandia. Dia juga berjanji akan membayar uang kepada Covenanters sehingga pasca perang, Charles mengalami kesulitan keuangan & terpaksa memanggil para anggota Parlemen Inggris pada bulan November 1640 untuk meminta bantuan uang.

Sekedar info, Parlemen Inggris di era Charles tidak sama dengan parlemen yang kita kenal sekarang. Parlemen Inggris di masa tersebut beranggotakan para bangsawan & tokoh agama senior dari seantero Inggris. Keberadaan Parlemen juga tidak bersifat permanen karena hanya raja Inggris yang memiliki wewenang untuk mendirikan & membubarkan Parlemen.

Karena keanggotaan Parlemen diisi oleh tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh & kontrol kuat di daerahnya masing-masing, raja membutuhkan Parlemen untuk mengumpulkan uang di daerah-daerah. Sebagai gantinya, Parlemen menggunakan posisi tawarnya untuk mempengaruhi raja supaya raja bersedia mengeluarkan kebijakan yang memihak kepentingan mereka.

Raja Charles I. (Sumber)

Kembali ke topik utama. Ketika Raja Charles meminta Parlemen mengucurkan bantuan uang kepadanya, Parlemen menyatakan kesediaannya dengan syarat Charles mau membatalkan kebijakan reformasi agamanya, tidak mencari bantuan uang tanpa seizin Parlemen, & tidak membubarkan Parlemen jika para anggota Parlemen menolak.

Syarat-syarat tersebut disetujui oleh Charles. Keadaan nampaknya terlihat bakal kembali membaik, namun mendadak pada bulan Oktober 1641 pecah pemberontakan di Irlandia oleh penduduk Katolik setempat. Peristiwa yang membuat golongan Puritan kembali menaruh rasa curiga yang berlebihan pada golongan Katolik.

Golongan Puritan dalam Parlemen meminta Raja Charles memecat para penasihatnya yang dianggap terlalu pro Katolik, namun permintaan tersebut ditolak oleh Charles & golongan moderat dalam Parlemen. Pasca penolakan, Raja Charles yang ditemani oleh sejumlah tentara memasuki gedung parlemen untuk menangkap 5 anggota Parlemen, namun gagal.

Tindakan Raja Charles tersebut langsung memancing sikap antipati dari Parlemen yang menganggap Raja Charles mencoba menggunakan cara semena-mena untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak sejalan dengannya. Sebagai akibatnya, hubungan antara Raja Charles & Parlemen pun jadi semakin panas. Rakyat Inggris ikut terbagi ke dalam 2 kubu sehingga pecahnya perang saudara di tanah Inggris menjadi semakin sulit untuk dihindari.


Parlemen Inggris di tahun 1641. (Sumber)


BERJALANNYA PERANG

Perang Sipil Pertama (1642 - 1646)

Tanggal 22 Agustus 1642, Raja Charles menaikkan bendera perang kerajaannya di Nottingham, Inggris tengah, sekaligus menandai dimulainya Perang Sipil Inggris secara resmi. Sesudah itu, Charles & para simpatisannya pergi ke Inggris barat sebelum kemudian menuju Inggris utara (kedua daerah tadi didominasi oleh pendukung Raja Charles) untuk merekrut tentara tambahan.

Hasilnya, jika di awal pengibaran bendera Charles hanya memiliki 2.000 tentara, pada pertengahan September jumlah pasukannya sudah membengkak menjadi lebih dari 24.000 tentara di mana 4.200 di antaranya adalah pasukan berkuda (kavaleri). Di pihak berseberangan, kubu Parlemen tidak berdiam diri & mereka juga mengumpulkan pasukannya sendiri untuk berhadap-hadapan dengan pasukan pro raja (Royalis).

Pertempuran besar antara pasukan Royalis & Parlementaris akhirnya pecah pada tanggal 23 Oktober 1642 di Edgehill, Inggris tengah. Dalam pertempuran tersebut, kedua belah pihak sama-sama diperkuat oleh pasukan berkekuatan 14.000 tentara. Awalnya pasukan royalis berhasil menembus sisi kiri formasi pasukan Parlementaris yang dipimpin oleh bangsawan Essex, Robert Devereux.

Namun di tengah-tengah pertempuran, bala bantuan untuk pasukan Parlementaris tiba di medan tempur sehingga serangan pasukan Royalis tersebut berhasil dipukul mundur & giliran pasukan Parlementaris yang berada di posisi menyerang. Namun pasukan Royalis berhasl membendung pergerakan pasukan Parlementaris sehingga pertempuran itupun berakhir tanpa pemenang yang jelas.

Lukisan mengenai Pertempuran Edgehill. (Sumber)

Bulan November 1642, pasukan Parlementaris berhasil mengalahkan pasukan Royalis di Turnham Green, sebelah barat London, sehingga Raja Charles terpaksa mengungsi ke Oxford & menjadikan kota tersebut sebagai markas barunya. Namun sesudah itu, peruntungan kubu Parlementaris berubah & giliran kubu Royalis yang berada di atas angin.

Menjelang akhir tahun 1642, pasukan Royalis dari Newcastle bergerak ke selatan & berhasil menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai oleh pasukan Parlementaris di Inggris utara. Sementara itu di Inggris barat daya, kesuksesan serupa juga berhasil diraih oleh pasukan Royalis yang berhasil mengalahkan pasukan Parlementaris di Braddock Down pada bulan Januari 1643.

Tren positif pasukan Royalis masih terus berlanjut sebelum mereka akhirnya terlibat pertempuran dengan pasukan Parlementaris di Newbury, sebelah barat London, pada tanggal 20 September 1643. Pertempuran tersebut terjadi karena pasukan Parlementaris hendak menuju ibukota London via Newbury, sementara Newbury sedang dikuasai oleh pasukan Royalis.

Setelah melalui pertempuran sengit selama seharian penuh, pasukan Royalis terpaksa mengibarkan bendera putih & membiarkan pasukan Parlementaris melanjutkan perjalanan ke London via Newbury karena pasukan Royalis tidak memiliki cukup perbekalan untuk terus bertempur. Pasca Pertempuran Newbury pula, pamor Parlemen meningkat sehingga kelompok Covenanters di Skotlandia bersedia menjalin aliansi dengan Parlementaris.

Bergabungnya Covenanters di sisi Parlementaris kini membuat kubu Royalis di Inggris utara berada dalam posisi terjepit. Memasuki bulan Juni 1644, kubu Parlementaris & Royalis terlibat dalam pertempuran terbesar sepanjang periode perang sipil Inggris : Pertempuran Marston Moor. Bermula dari keberhasilan pasukan Royalis menggagalkan serangan pasukan Parlementaris ke kota York, Inggris utara, pasukan Royalis yang sedang mengejar sisa-sisa pasukan Parlementaris justru malah dicegat oleh pasukan Parlementaris lain yang berkekuatan lebih besar.

Peta evolusi wilayah semasa Perang Sipil Inggris Pertama.

Pertempuran besar pun tak terhindarkan di mana total 45.000 tentara terlibat di dalamnya. Di akhir pertempuran, pasukan Parlementaris keluar sebagai pemenang di mana mereka berhasil menewaskan 4.000 tentara Royalis, menyita sejumlah meriam milik Royalis, & menguasai York sekaligus mengisolasi sisa-sisa wilayah Royalis di Inggris utara.

Tahun berganti, kubu Parlementaris yang dibantu oleh Covenanters Skotlandia masih berada di atas angin. Pertempuran terpenting di tahun ini terjadi di Naseby yang terletak 32 km di sebelah selatan Leicester, Inggris tengah, pada tanggal 14 Juni 1645. Pertempuran Naseby hanya berlangsung selama 3 jam, namun efek domino yang ditumbulkannya sungguh besar karena pertempuran tersebut merenggut nyawa sebagian besar prajurit infantri pasukan Royalis yang masih tersisa.

Sadar kalau cepat atau lambat kubu Parlementaris akan memenangkan perang, pada bulan Mei 1646 Raja Charles menyerahkan diri ke hadapan Covenanters. Covenanters lalu menyerahkan Charles ke tangan Parlementaris dengan imbalan £400.000, di mana Parlementaris kemudian memenjarakan Charles di Northamptonshire, Inggris tengah.


Perang Sipil Kedua & Ketiga (1648 - 1651)

Pasca berakhirnya perang sipil fase pertama, muncul ketegangan antara lembaga Parlemen dengan New Model Army (NMA; Tentara Model Baru), angkatan bersenjata yang dibentuk oleh kubu Parlementaris pada tahun 1645 supaya Parlementaris memiliki pasukan dengan tingkat kedisiplinan tinggi & struktur komando terpusat.

Keributan itu sendiri muncul karena NMA ingin supaya tunggakan gaji mereka dilunasi & adanya rasa tidak suka dari anggota Parlemen kalau NMA sedang berusaha mendikte pengambilan keputusan di Parlemen. Sementara itu di luar Parlementaris, sisa-sisa kubu Royalis juga masih eksis & mereka tersebar di seantero Inggris.

Komunitas penggemar sejarah (reenactors) yang sedang
bermain peran sebagai pasukan NMA.

Bulan November 1647, dengan memanfaatkan lengahnya pengawasan Parlementaris terhadap Charles, Charles berhasil melarikan diri & kemudian menyeberang ke Pulau Wight yang berada di sebelah selatan Pulau Britania. Di sana, Charles lalu melakukan perundingan dengan perwakilan Covenanters Skotlandia.

Hasilnya, pada tanggal 26 Desember 1647 Charles & Covenanters berhasil menciptakan kesepakatan rahasia. Covenanters setuju untuk membantu mengembalikan Charles ke tahtanya. Sebagai gantinya, Charles tidak akan mengusik praktik agama Presbiterian di Skotlandia & bersedia membiarkan Gereja Presbiterian berdiri di Inggris selama 3 tahun. Kesepakatan ini sekaligus mengubah posisi Covenanters dari awalnya pro-Parlementaris menjadi pro-Royalis.

Perang sipil fase kedua akhirnya pecah di tahun 1648 setelah mereka yang berseberangan dengan NMA mengangkat senjata & menyatakan dukungan terang-terangan kepada Charles. Dalam perang sipil fase kedua ini, pasukan NMA / Parlementaris non-Presbiterian harus berhadapan dengan koalisi pasukan Royalis, Covenanters, & faksi Presbiterian dalam Parlemen.

Walaupun terkesan dikeroyok, kenyataannya justru kubu NMA-lah yang pada akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang karena mereka berhasil memanfaatkan lemahnya koordinasi, kekompakan, & jaringan logistik di tubuh koalisi. Pasca keberhasilan mengalahkan pasukan koalisi dalam pertempuran di Preston, Inggris tengah, pada bulan Agustus 1648, NMA lalu mengadili & mengeksekusi Charles pada bulan Januari 1649 dengan alasan Charles adalah penyebab timbulnya kembali perang saudara di Inggris.

Tewasnya Raja Charles I tidak lantas mengubur ambisi kubu Royalis & Covenanters di Skotlandia. Mereka kini mengangkat Charles II - putra dari Raja Charles I - sebagai raja baru Inggris. Diangkatnya Charles II lantas membuat Inggris kini memiliki 2 pemerintahan yang sama-sama mengklaim dirinya sebagai penguasa sah Inggris : pemerintahan monarki pimpinan Raja Charles II & pemerintahan republik bentukan NMA / Parlementaris dengan Oliver Cromwell sebagai pemimpinnya.

Oliver Cromwell.

Di kemudian hari, pemerintahan republik ini nantinya lebih dikenal dengan nama "Persemakmuran Inggris" (Commonwealth of England) pasca disahkannya rancangan undang-undang mengenai pendirian persemakmuran pada bulan Mei 1649. Perang sipil fase ketiga akhirnya pecah setelah Persemakmuran mengirimkan pasukannya untuk menginvasi Skotlandia pada bulan Juli 1650.

Awalnya segalanya terlihat berjalan lancar. Sehari sebelum Natal, pasukan Persemakmuran sudah berhasil menduduki Edinburgh, ibukota dari Skotlandia. Bulan Agustus 1651, giliran kota Perth yang terletak di sebelah utara Edinburgh yang jatuh ke tangan pasukan Persemakmuran. Namun Cromwell selaku pemimpin pasukan Persemakmuran di Skotlandia tidak sadar kalau pasukan koalisi Royalis-Covenanters sengaja membiarkan pasukan Persemakmuran menyerbu Perth supaya pasukan koalisi bisa melakukan invasi mendadak ke wilayah Inggris.

Charles II awalnya berencana merekrut penduduk di Inggris utara & barat untuk menambah jumlah tentara pasukan koalisi. Namun di luar dugaan, mayoritas penduduk Inggris enggan bergabung dengan pasukan koalisi karena mereka tidak mau bekerja sama dengan orang-orang Skotlandia. Sementara itu di pihak lawan, ketika Cromwell akhirnya sadar kalau pasukan koalisi sedang dalam perjalanan menuju London, ia membawa pasukannya kembali ke Inggris untuk mencegat pasukan koalisi dari arah timur.

Tanggal 3 September 1651, pasukan koalisi & Persemakmuran akhirnya terlibat pertempuran sengit di Worcester, Inggris barat, di mana pertempuran tersebut berhasil dimenangkan oleh pasukan Persemakmuran. Pasca pertempuran, Charles II melarikan diri ke Perancis sehingga status Persemakmuran sebagai pemerintahan sah Inggris menjadi tak terbantahkan lagi.


Raja Charles II (ketiga dari kanan) menjelang Pertempuran Worcester. (Sumber)


KONDISI PASCA PERANG

Sulit mengetahui secara pasti berapa jumlah total korban tewas dalam perang sipil Inggris, namun diperkirakan jumlahnya mencapai 212.000 jiwa. Seperti halnya perang-perang yang terjadi sebelum abad ke-20, mayoritas korban tersebut tewas bukan akibat terbunuh oleh senjata musuh, tapi akibat wabah penyakit yang ditimbulkan oleh macetnya penyaluran logistik & buruknya sanitasi di masa itu. Jumlah tersebut baru mencakup jumlah korban tewas di wilayah Inggris. Jika dikombinasikan dengan korban tewas di wilayah Skotlandia, jumlah totalnya diperkirakan bisa mencapai lebih dari 220.000 jiwa.

Perang sipil Inggris juga mengubah bentuk pemerintahan Inggris Raya menjadi republik. Bentuk pemerintahan yang tidak biasa mengingat pada periode tersebut sistem pemerintahan monarki absolut masih mendominasi Eropa. Ketika Oliver Cromwell wafat di tahun 1658, posisinya sebagai pemimpin Persemakmuran Inggris diteruskan oleh putranya, Richard Cromwell. Namun Richard hanya memegang jabatan tersebut selama setahun usai dilengserkan oleh Parlemen.

Tahun 1660, sebagai solusi atas tidak stabilnya aktivitas sosial politik di Inggris akibat konflik antara sesama anggota Parlemen, Charles II diundang untuk kembali ke Inggris & memimpin Inggris sebagai raja. Peristiwa tersebut sekaligus menandai berakhirnya era republik di tanah Inggris & berubahnya kembali Inggris menjadi negara kerajaan.

Hanya setahun setelah Charles II kembali berkuasa, mayat Oliver Cromwell dikeluarkan dari kuburannya & kemudian digantung layaknya orang yang sedang dieksekusi. Sesudah itu, mayat Cromwell dipenggal & kepalanya dipajang di atas tiang kayu setinggi 6 meter yang didirikan di halaman gedung parlemen. Tujuannya adalah supaya di kemudian hari, tidak ada lagi yang berani membubarkan kerajaan. Puluhan tahun kemudian, kepala Crowmell menghilang dari tempatnya setelah cuaca buruk melanda London.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
- Waktu : 1642 - 1651
- Lokasi : Pulau Britania

Pihak yang Bertempur
(Grup)  -  Parlementaris, Covenanters (1644 - 1646)
       melawan
(Negara)  -  Kerajaan Inggris
(Grup)  -  Royalis, Covenanters (1648 - 1651)

Hasil Akhir
- Kemenangan pihak Parlementaris
- Inggris Raya menjadi negara republik hingga tahun 1660

Korban Jiwa
Lebih dari 220.000 jiwa



REFERENSI

BCW Projects - The Second Civil War : Military Overview
BCW Projects - The Third Civil War : Timeline 1649-51
BCW Projects - The Worchester Campaign, 1651
Brit Politics - Causes of the Civil War
Encyclopedia Britannica - English Civil Wars
History Learning Site - The English Civil War
History On The Net - English Civil War Timeline
J. P. Sommweville - Commonwealth and Protectorate 1649-1658
Mental Floss - The Strange Saga of Oliver Cromwell's Head
Wikipedia - English Civil War
Wikipedia - First English Civil War
 - . 2008. "Charles I". Encyclopaedia Britannica, Chicago.
 - . 2008. "Charles II". Encyclopaedia Britannica, Chicago.
 - . 2008. "Cromwell, Richard". Encyclopaedia Britannica, Chicago.
 - . 2008. "Marston Moor, battle of". Encyclopaedia Britannica, Chicago.
 - . 2008. "Naseby, battle of". Encyclopaedia Britannica, Chicago.







COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.