Perang Pasir, Retaknya Hubungan Maroko & Aljazair



Bendera Maroko beserta sepasang bendera Aljazair di kejauhan. (AFP / thearabweekly.com)

Maroko & Aljazair adalah nama dari 2 negara Afrika Utara yang memiliki kesamaan dalam banyak hal. Selain sama-sama terletak di Afrika Utara, kedua negara bertetangga tersebut mayoritas penduduknya sama-sama menganut agama Islam & fasih berbahasa Arab. Namun banyaknya kesamaan yang dimiliki oleh keduanya tidak lantas membuat Maroko & Aljazair memiliki hubungan yang senantiasa harmonis. Perang Pasir adalah contoh dari konflik yang pernah terjadi di antara keduanya.

Perang Pasir (Harb ar-Rimal; Sand War) adalah sebutan untuk konflik bersenjata yang berlangsung pada tahun 1963 antara pasukan Maroko & Aljazair. Perang yang terjadi di perbatasan kedua negara ini timbul akibat adanya perbedaan pendapat mengenai wilayah milik masing-masing negara di perbatasan. Kendati perang ini hanya berlangsung dalam skala yang relatif kecil & waktu yang relatif singkat, perang ini berdampak pada memburuknya hubungan kedua negara hingga bertahun-tahun kemudian.



LATAR BELAKANG

Pada tahun 1956, Kerajaan Maroko yang sudah berada di bawah kekuasaan Perancis selama puluhan tahun akhirnya mendapatkan kembali kemerdekaannya. Raja Muhammad V yang sempat diasingkan keluar Maroko oleh Perancis kemudian menjadi raja pertama Maroko pasca kemerdekaan. Saat Muhammad V meninggal pada tahun 1961, putranya yang bergelar Hasan II kemudian naik tahta menggantikan almarhum ayahnya.

Tantangan terbesar bagi Hasan II saat mulai berkuasa adalah pamor gerakan sayap kiri di Maroko tengah mengalami pertumbuhan pesat sebagai akibat dari maraknya korupsi & kemiskinan. Motor utama gerakan sayap kiri di Maroko adalah partai politik Union Nationale des Forces Populaires (UNFP; Serikat Nasional Angkatan Populer). Kekhawatiran utama Hasan adalah jika UNFP dibiarkan tumbuh hingga terlampau kuat, partai tersebut kelak akan membubarkan kerajaan supaya Maroko berubah menjadi negara republik.

Kegelisahan Hasan kian menjadi-jadi setelah pada pemilu yang digelar di bulan Mei 1963, UNFP berhasil mengumpulkan suara yang cukup banyak. Kemudian di kawasan pedesaan yang banyak dihuni oleh para tuan tanah pendukung Hasan, kaum petani beramai-ramai mengambil lahan milik para tuan tanah setempat. Melihat hal tersebut, Hasan pun memutuskan untuk beralih ke metode yang lebih keras.

Maroko & Aljazair (Algeria) seperti yang terlihat pada peta. (alwaght.com)

Sejak bulan Juli, polisi mengepung kantor pusat UNFP & melakukan penahanan kepada ratusan orang. Mereka yang ditangkap tersebut kemudian dinyatakan bersalah atas tuduhan berniat menggulingkan pemerintah. Namun kekhawatiran Hasan bukan hanya terbatas di dalam negeri. Ia juga merasa khawatir dengan perkembangan situasi di Aljazair karena UNFP diketahui memiliki kedekatan dengan Ahmed Ben Bella, pemimpin Aljazair yang bersimpati dengan ideologi kiri.

Tidak lama setelah Aljazair menjadi negara merdeka pada tahun 1962, Hasan menyatakan kalau sejumlah wilayah Aljazair di dekat perbatasan Maroko seperti Tindouf, Tinjoub, & Hassi-Beida adalah wilayah milik Maroko. Dasar dari klaim Hasan tersebut adalah saat Maroko belum dijajah oleh Perancis, wilayah yang bersangkutan sudah berada di bawah pengaruh Maroko. Namun klaim Maroko tersebut langsung ditolak oleh pihak Aljazair.

Hasan sendiri rupanya masih enggan mengalah. Sebagai cara untuk menegaskan klaimnya & mengalihkan perhatian rakyat Maroko dari masalah-masalah di dalam negeri, Hasan kemudian memerintahkan pasukan Maroko untuk menyerbu wilayah sengketa. Hasan merasa percaya diri kalau negaranya bisa memenangkan perang karena tentara Maroko lebih terlatih & Aljazair masih dalam proses memulihkan diri pasca perang kemerdekaan.


Raja Maroko, Hasan II (yabiladi.com)


BERJALANNYA PERANG

Pada akhir bulan September 1963, pasukan Maroko menerobos masuk ke wilayah Aljazair untuk menduduki kota Tinjoub & Hassi-Beida yang terletak di sebelah tenggara Maroko. Pemerintah Maroko kemudian memanfaatkan keberhasilan pasukannya dalam menduduki Tinjoub & Hassi-Beida untuk merilis pemberitaan-pemberitaan berunsur nasionalisme.

Di pihak berseberangan, Ben Bella mengecam tindakan pemerintah Maroko. Ia juga meminta kepada pasukan Maroko untuk berhenti melanjutkan perang karena rakyat Aljazair & Maroko aslinya bersaudara. Tekanan agar pasukan Maroko berhenti berperang juga datang dari organisasi-organisasi mahasiswa Maroko. Namun tekanan tersebut tidak digubris oleh pemerintah Maroko.

Pada tanggal 8 Oktober, pasukan Aljazair akhirnya dikerahkan untuk merebut kembali kota Tinjoub & Hassi-Beida. Hasilnya, pasukan Aljazair berhasil menewaskan 10 tentara Maroko sehingga pasukan Maroko yang sedang menduduki Tinjoub & Hassi-Beida terpaksa mundur. Namun hanya berselang beberapa hari kemudian, atau tepatnya pada tanggal 14 Oktober, kota Tinjoub & Hassi-Beida kembali berada di tangan Maroko pasca serangan balik yang dilancarkan oleh pasukan Maroko.

Saat intensitas perang semakin meningkat, Ben Bella kemudian meminta bantuan kepada dunia internasional. Ia meminta supaya organisasi OAU - cikal bakal Uni Afrika - bersedia memfasilitasi perundingan damai antara Maroko & Aljazair. Sementara di luar Afrika, pemerintah Kuba memberikan dukungannya kepada Aljazair dengan cara mengirimkan pasukan berkekuatan 686 personil yang dilengkapi dengan 22 unit tank T-34 & sejumlah meriam artileri. Pasukan Kuba tersebut tiba di Aljazair pada tanggal 22 Oktober.

Peta lokasi Tinjoub. (fr.wikipedia.org)

Entah ada pengaruhnya secara langsung atau tidak, pada tanggal 30 Oktober perwakilan Maroko & Aljazair setuju untuk melakukan gencatan senjata dalam perundingan yang digelar di kota Bamako, Mali. Namun gencatan tersebut tidak berhasil menghentikan kontak senjata sepenuhnya karena hingga awal bulan November, pasukan Aljazair beberapa kali diketahui melakukan penyerbuan ke kota Tinjoub & Hassi-Beida.

Pada periode yang bersamaan, pasukan Aljazair juga melakukan serangan di sebelah utara & berhasil menduduki kota perbatasan Ich di Maroko utara. Karena kota Ich berbatasan langsung dengan kawasan gurun yang luas, kota tersebut dari aspek strategis tergolong sulit untuk dipertahankan. Namun alih-alih mencoba merebut kembali Ich, Maroko lebih memilih untuk memperkuat kedudukannya di Tinjoub & Hassi-Beida.

Pada tanggal 4 November, dengan difasilitasi oleh Modibo Keita (presiden Mali) & Haile Selasie (kaisar Ethiopia), pasukan Maroko & Aljazair akhirnya sepakat untuk benar-benar berhenti melanjutkan konflik. Kemudian pada bulan Desember, pasukan kedua negara sama-sama ditarik mundur dari kota-kota yang sedang mereka duduki. Pasukan Mali kemudian ditempatkan di perbatasan untuk mengawasi gencatan senjata.


Pasukan Maroko di dekat perbatasan Aljazair. (yabiladi.com)


KONDISI PASCA PERANG

Pada tahun 1964, Maroko & Aljazair melakukan pemulihan hubungan diplomatik. Maroko setuju untuk melepas klaimnya atas wilayah sengketa. Sebagai gantinya, Maroko diperbolehkan menikmati sebagian hasil penambangan bijih besi di wilayah Aljazair. Namun kesepakatan mengenai pembagian keuntungan bijih besi tersebut pada akhirnya tidak pernah terealisasi akibat masih kurang harmonisnya hubungan di antara kedua negara.

Bagi Maroko, Perang Pasir bisa dipandang sebagai kesuksesan sekaligus kegagalan. Perang ini di satu sisi menunjukkan kalau militer Maroko lebih unggul dibandingkan militer Aljazair. Namun perang ini juga menunjukkan kalau Aljazair memiliki posisi tawar yang lebih baik di dunia internasional akibat banyaknya simpati yang mereka dapat. Salah satunya karena yang bertindak sebagai pihak penyerbu / agresor dalam perang ini adalah pasukan Maroko.

Bagi Aljazair, perang ini menumbuhkan sentimen kalau Maroko merupakan negara dengan ambisi teritorial & tidak boleh dibiarkan tumbuh terlalu kuat. Itulah sebabnya ketika Maroko terlibat konflik dengan kelompok separatis Polisario di Sahara Barat, Aljazair bersedia membiarkan Polisario menggunakan wilayah Aljazair sebagai markasnya. Kemudian sejak tahun 1994 hingga sekarang, perbatasan yang memisahkan kedua negara juga ditutup pasca terjadinya insiden penyerangan oleh kelompok militan asal Aljazair di kota Marrakesh, Maroko.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : 1963
-  Lokasi : perbatasan Maroko & Aljazair

Pihak yang Bertempur
(Negara)  -  Maroko
       melawan
(Negara)  -  Aljazair

Hasil Akhir
-  Perang berakhir tanpa pemenang yang jelas
-  Maroko mencabut klaimnya atas wilayah sengketa

Korban Jiwa
Tidak jelas (sekitar ratusan jiwa)



REFERENSI

Chtatou, M.. 2018. "Morocco and Algeria: The Endless Cold War".
(intpolicydigest.org/morocco-and-algeria-the-endless-cold-war/)

D. Lounnas & N. Messari. 2018. "Algeria–Morocco Relations and their Impact on the Maghrebi Regional System".
(www.iai.it/sites/default/files/menara_wp_20.pdf)

Gleijeses, P.. 2003. "How Cuba aided revolutionary Algeria in 1963".
(www.themilitant.com/2003/6743/674359)

K. Farsoun & J. Paul. 1976 "War in the Sahara : 1963".
(www.jstor.org/stable/3011767)

Kasraoui, S.. 2018. "Algerian Politician: Closure of Borders 'Unacceptable Political, Economic, Social Mistake'".
(www.moroccoworldnews.com/2018/09/254043/algeria-morocco-western-sahara-borders)

Metz, H.C.. 1994. "Security Problems with Neighboring States".
(countrystudies.us/algeria/157.htm)
  





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.