Perang Aljazair, Lahirnya Negara Raksasa di Afrika Utara



Maqam Echahid, monumen peringatan Perang Aljazair di ibukota Aljir. (tripadvisor.com)

Jika kita melihat peta Benua Afrika sebelah utara, kita bakal mendapati Aljazair / Algeria sebagai negara terbesar di wilayah tersebut. Kendati berukuran besar, Aljazair memiliki tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah karena wilayahnya didominasi oleh gurun pasir. Namun hal tersebut tidak lantas menjadikan Aljazair sebagai negara yang terbelakang, karena faktanya negara ini memiliki cadangan minyak bumi & lokasinya berseberangan langsung dengan Benua Eropa di sebelah utara.

Seperti halnya mayoritas negara Afrika yang lain, Aljazair dulunya juga pernah dikuasai oleh bangsa Eropa. Tepatnya oleh negara Perancis sejak abad ke-19. Aljazair sendiri baru memperoleh kemerdekaannya di tahun 1962. Namun kemerdekaan tersebut tidak diperoleh Aljazair dengan mudah, karena negara tersebut harus dilanda peperangan terlebih dahulu selama bertahun-tahun sebelum berhasil melepaskan diri dari negara induknya. Konflik di Aljazair juga menjadi alasan lain mengapa Perancis sempat mengalami pergantian konstitusi & sistem pemerintahan di tahun 1958.



LATAR BELAKANG

Aljazair pada awalnya merupakan daerah bawahan Ottoman. Namun sejak abad ke-19, wilayah tersebut secara berangsur-angsur ditaklukkan oleh Perancis. Awalnya Perancis hanya sekedar melakukan blokade di lepas pantai Aljazair, dengan alasan pemerintah Aljazair melakukan tindakan yang merendahkan harga diri utusan Perancis.

Tiga tahun kemudian, blokade tersebut kemudian diikuti dengan invasi pasukan Perancis ke daratan Aljazair. Dalam proses penaklukan tersebut, pasukan Perancis banyak menggunakan taktik bumi hangus di kawasan padat penduduk supaya penduduk di wilayah lain Aljazair lekas tunduk kepada Perancis.

Takluknya Aljazair di tangan Perancis lalu diikuti dengan masuknya orang-orang Perancis untuk bermukim di sana. Kendati penduduk asli Aljazair merupakan golongan mayoritas dalam hal jumlah, pemerintah kolonial Perancis justru memperlakukan mereka bak warga negara kelas dua.

Sebagai contoh, koloni Aljazair menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa resminya, sehingga akses penduduk asli Aljazair terhadap sektor pendidikan tinggi & pekerjaan di kota-kota besar menjadi terbatas. Bukan hanya itu, kendati jumlah pemasukan warga asli Aljazair hanya sekitar 20% dari pendapatan total rakyat koloni Aljazair, sebanyak 70% pajak pungutan langsung justru ditarik dari penduduk asli Aljazair.

Peta lokasi Aljazair. (bbc.co.uk)

Kombinasi dari hal-hal tersebut lantas menimbulkan rasa tidak puas dari penduduk asli Aljazair. Gerakan-gerakan yang menuntut perbaikan nasib penduduk asli Aljazair pun bermunculan sejak akhir abad ke-20.

Ada 3 gerakan nasionalis utama yang aktif di Aljazair pada periode ini. Gerakan pertama adalah Jenus Algeriens (Pemuda Aljazair) yang dibentuk oleh penduduk asli Aljazair yang merantau & menimba ilmu di Perancis. Gerakan kedua adalah AUMA yang mengkombinasikan agama dengan sentimen kebangsaan penduduk Aljazair.

Gerakan ketiga sekaligus yang berhaluan paling radikal adalah Etoile Nord-Africain (ENA; Bintang Afrika Utara). Gerakan ini dibentuk pada tahun 1926 & dipimpin oleh Ahmed Messali Hadj. Awalnya dibentuk sebagai gerakan solidaritas para perantauan Aljazair di Perancis, gerakan ini kemudian berkembang menjadi gerakan pejuang kemerdekaan.

Akibatnya, gerakan ini pun sejak tahun 1929 ditetapkan sebagai gerakan terlarang oleh pemerintah Perancis sebelum kemudian bubar pada tahun 1934. Bubarnya ENA tidak lantas membuat perjuangan Hadj terhenti karena sesudah itu, ia kemudian mendirikan gerakan baru yang bernama Parti du Peuple Algérien (PPA; Partai Rakyat Aljazair) & mengusung ideologi komunis.

Sementara itu di Eropa, Jerman menginvasi Polandia di tahun 1939 sehingga pecahlah Perang Dunia II. Perancis juga tidak luput dari api peperangan & berhasil ditaklukkan oleh Jerman pada tahun 1940. Kendati demikian, pasukan Perancis yang tinggal di luar negeri enggan menyerah & memilih untuk tetap melanjutkan perlawanan.

Di saat kondisi perang semakin berlarut-larut, kondisi di Aljazair juga memburuk. Sejak akhir tahun 1944, muncul gelombang ketidakpuasan dari penduduk asli Aljazair akibat timbulnya kelangkaan bahan pokok & gagal panen.

Bulan Mei 1945, Perancis & negara-negara sekutunya merayakan kemenangan mereka atas Jerman. Di Aljazair, penduduk pribumi setempat mencoba memanfaatkan momen tersebut untuk mengingatkan kalau wilayah mereka sendiri sebenarnya masih berada di bawah kendali bangsa asing.

Massa dari golongan penduduk asli Aljazair menggelar parade di bulan yang sama sambil mengusung bendera & plakat bertema nasionalisme Aljazair. Namun parade tersebut berakhir tragis setelah polisi melepaskan tembakan ke arah massa.

Peta lokasi Perancis. (bbc.com)

Warga pribumi Aljazair lain yang mendengar hal tersebut langsung diterpa gelombang kemarahan & beramai-ramai menyerang bangunan & warga Eropa di sekitarnya. Setidaknya 103 warga keturunan Eropa tewas dalam aksi tersebut.

Pemerintah kolonial Perancis lantas menanggapi insiden tersebut dengan cara mengerahkan pasukan & kendaraan tempurnya untuk menyerang lokasi-lokasi berpenduduk mayoritas Muslim. Jumlah korban tewas akibat tindakan balasan Perancis ini berkisar antara 8.000 (menurut sumber versi Perancis) hingga 45.000 (versi Aljazair). Akibat insiden ini, hubungan antara pemerintah kolonial dengan penduduk asli Aljazair kian memanas.

Upaya penduduk asli Aljazair untuk mengubah nasib mereka lewat jalur politik juga terkendala oleh tindakan pemerintah kolonial yang dengan sengaja menggunakan taktik intimidasi supaya penduduk setempat enggan memilih partai Aljazair yang berhaluan nasionalis. Maka, pada tahun 1954 sejumlah penduduk asli Aljazair kemudian mendirikan kelompok baru yang bernama Front de Liberation Nationale (FLN; Front Pembebasan Nasional) untuk mengupayakan kemerdekaan Aljazair lewat jalur pemberontakan bersenjata.



BERJALANNYA PERANG

Deklarasi Perang dari Luar Negeri

Tanggal 1 November 1954, para milisi FLN melancarkan serangan ke bangunan-bangunan milik pemerintah kolonial Perancis di kota-kota panting Aljazair. Di hari yang sama, anggota FLN di Kairo melalui siaran radio meminta supaya semua penduduk Aljazair bergabung dengan FLN untuk membantu mewujudkan negara Aljazair merdeka.

Begitu mendengar hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Perancis langsung menyatakan bahwa pihaknya lebih memilih untuk berperang ketimbang harus berunding dengan pejuang kemerdekaan Aljazair. Terlebih lagi di tahun yang sama, Perancis baru saja kehilangan daerah koloninya di Asia Tenggara (Indocina).

FLN sendiri awalnya berharap kalau insiden pennyerangan massal ini bisa memancing penduduk asli Aljazair untuk beramai-ramai memberontak. Namun kenyataannya, pasca insiden penyerangan tadi, intensitas konflik di Aljazair tidak sampai membesar seperti yang mereka harapkan.

Justru insiden tadi malah membuat aparat Perancis semakin giat beroperasi. Sebanyak 26.000 personil militer tambahan dikirimkan ke Aljazair sejak bulan November. Lalu pada tanggal 15 Januari 1955, pimpinan FLN wilayah Constantinois yang bernama Didouche Mourad tewas dibunuh oleh pasukan Perancis.

Kendala lain bagi FLN dalam mewujudkan kemerdekaan Aljazair adalah mereka juga mendapat perlawanan dari sesama kelompok pejuang kemerdekaan Aljazair. Kelompok tersebut adalah Mouvement National Algerien (MNA; Gerakan Nasional Aljazair) yang didirikan oleh Hadj, tokoh yang dulu juga pernah mendirikan ENA & PPA. Alasan Hadj mendirikan MNA adalah karena dirinya kecewa setelah tokoh-tokoh yang tergabung dalam FLN nekat memulai pemberontakan tanpa berkonsultasi dengan dirinya terlebih dahulu.

Pasukan FLN. (algerie.eklablog.fr)

Perbedaan pandangan ini lantas berdampak pada timbulnya aksi saling jebak & saling bunuh antara kubu FLN dengan MNA. Pada bulan Mei 1957 contohnya, pasukan FLN membantai 374 warga desa di Melouza atas tuduhan kalau mereka adalah pengikut MNA.

Dalam perkembangannya, FLN menjadi kubu yang lebih unggul dalam konflik ini & merekalah yang kelak muncul sebagai penguasa Aljazair pasca berakhirnya perang kemerdekaan. Menurut artikel surat kabar Perancis "Le Monde" keluaran tahun 1962, jumlah korban tewas akibat konflik antara FLN & MNA dikabarkan mencapai 4.000 jiwa.

Tanggal 20 Agustus 1955, terjadi peristiwa yang menjadi titik balik dalam perang kemerdekaan Aljazair. Pada awalnya, ribuan petani di Aljazair timur laut yang dimobilisasi oleh FLN menggelar parade untuk memperingati 2 tahun tergulingnya Sultan Muhammad V di Maroko akibat tekanan pihak Perancis.

Namun parade tersebut kemudian berubah menjadi rusuh setelah massa beramai-ramai menyerang warga keturunan Perancis & bangunan-bangunan seperti kantor polisi. Sebanyak lebih dari 120 orang dikabarkan tewas akibat kerusuhan ini.

Seperti peristiwa di tahun 1945, pemerintah kolonial Perancis langsung menanggapi insiden tersebut dengan cara melakukan operasi militer besar-besaran. Sebanyak 60.000 personil militer yang baru saja dibebas tugaskan kembali diperintahkan untuk kembali bergabung. Sebanyak 150.000 pemuda asli Aljazair direkrut oleh Perancis untuk menjadi anggota "Harki", kelompok milisi yang taktik & metode operasinya serupa dengan taktik gerilya milisi anggota FLN.

Memasuki tahun 1956, jumlah tentara yang diterjunkan oleh Perancis di Aljazair dilaporkan sudah mencapai 400.000 personil. Sementara itu di Perancis sendiri, muncul gelombang protes dari keluarga para tentara yang enggan ditugaskan di Aljazair.


Teror Dibalas Teror

Tanggal 27 Desember 1956, walikota Amedee Froger yang terkenal dengan sikap antipatinya terhadap komunitas Muslim tewas dibunuh di ibukota Aljir. Peristiwa tersebut lantas berdampak pada kian memburuknya hubungan antara warga Muslim & keturunan Eropa di Aljir. Melihat hal tersebut, pemerintah kolonial Aljazair lantas mengirimkan 8.000 prajurit ke dalam ibukota pada tanggal 7 Januari 1957 untuk menormalkan situasi keamanan.

Alih-alih membaik, situasi keamanan di kota Aljir malah semakin mencekam. Aksi ledakan bom oleh FLN menjadi semakin sering terjadi. Untuk menanggapinya, pagar kawat kemudian dipasang di sekeliling pemukiman Muslim untuk mengisolasi mereka dari populasi warga keturunan Eropa.

Aksi penangkapan massal yang diikuti dengan interogasi & penyiksaan juga dilakukan oleh prajurit Perancis. Kendati terlihat kejam, aksi tersebut nyatanya sukses menekan insiden penyerangan di kota Aljir. Jika pada bulan Januari jumlah kasusnya mencapai 112, pada bulan Februari & Maret jumlah kasusnya secara berturut-turut menurun menjadi 39 & 29 kasus.

Namun keberhasilan tersebut di sisi lain mengundang kecaman dari dalam Perancis sendiri. Pada bulan April, sejarawan Robert Bonnaud lewat artikelnya mengecam negaranya sendiri sebagai "negara tanpa kehormatan".

Pada bulan September, giliran Paul Teitgen yang mundur dari jabatannya sebagai sekretaris jenderal wilayah Aljir karena tidak setuju dengan metode yang digunakan oleh militer Perancis. Menurut kesaksian Teitgen, pasukan Perancis atas perintah Jenderal Marcel Bigeard membuang ribuan tahanan Aljazair dari helikopter ke dalam laut. Ia juga mengaku pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Bigeard menyiksa tahanan dengan memakai sengatan listrik.

Tentara Perancis di Aljazair. (express.co.uk)

Rentetan kontroversi tersebut nyatanya tetap tidak membuat pemerintah Perancis merasa kendur. Sejak tahun yang sama, pemerintah Perancis justru kian mengintensifkan operasi militernya untuk memastikan agar pemberontakan di Aljazair bisa segera dipadamkan. Wilayah Aljazair dibagi ke dalam sejumlah sektor yang masing-masingnya diawasi oleh pasukan yang ditempatkan secara permanen.

Patroli di sepanjang perbatasan Maroko & Tunisia dilakukan supaya pasukan FLN tidak bisa mendapatkan logistik dari luar negeri. Di perbatasan dengan Tunisia, pagar pembatas yang dilengkapi dengan aliran listrik & ranjau bahkan sampai didirikan untuk tujuan yang sama.

Rangkaian tindakan tersebut nyatanya masih belum berhasil meredam konflik di Aljazair seutuhnya. Merasa tidak tahan lagi dengan situasi perang di Aljazair yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat, sejumlah tentara Perancis nekat menduduki gedung Gubernur Jenderal di ibukota Aljir pada bulan Mei 1958.

Mereka kemudian meminta supaya Charles De Gaulle - mantan pemimpin faksi Perancis yang berpihak pada Sekutu semasa Perang Dunia II - naik menjadi presiden. Hanya berselang beberapa hari kemudian, giliran Pulau Korsika yang diduduki oleh pasukan pendukung De Gaulle. Dari sana, mereka menyusun rencana untuk melakukan kudeta supaya De Gaulle bisa naik menjadi pemimpin Perancis.

Kudeta di Paris sendiri pada akhirnya tidak sampai terlaksana setelah tokoh-tokoh di pemerintahan Perancis menyatakan kesediaannya untuk membiarkan De Gaulle menjadi presiden Perancis yang baru. Pasca naik menjadi pemimpin Perancis yang baru, De Gaulle kemudian melakukan kunjungan ke Aljir pada tanggal 4 - 7 Juni.

Di Aljir, baik penduduk asli Aljazair maupun penduduk keturunan Eropa sama-sama menyambut kedatangan De Gaulle dengan meriah. Untuk menarik simpati penduduk setempat, De Gaulle memberikan kewarganegaraan Perancis kepada warga Muslim Aljazair secara massal.

Rezim De Gaulle juga menyelenggarakan referendum mengenai konstitusi Perancis yang baru pada bulan September, di mana warga Muslim Aljazair diperbolehkan untuk ikut serta. FLN berupaya menggagalkan partisipasi warga Muslim setempat dengan cara menggunakan taktik intimidasi & ancaman.

Namun pada akhirnya, sebanyak 80 persen warga Muslim Aljazair tetap ikut serta dalam referendum, di mana referendum itu sendiri berhasil dimenangkan oleh golongan pendukung konstitusi yang baru. Konstitusi / undang-undang dasar yang baru ini lantas menjadi konstitusi yang digunakan di Perancis hingga sekarang.


Tentara Perancis yang sedang memeriksa warga sipil memakai detektor logam. (ansamed.info)


Dari Simpati Menjadi Antipati

De Gaulle pada awalnya ingin supaya Aljazair tetap menjadi bagian dari wilayah Perancis, sehingga operasi militer pasukan Perancis di Aljazair tetap berlanjut. Namun setelah De Gaulle melihat kalau pemberontakan di Aljazair mulai menarik perhatian PBB & dunia internasional, pada bulan September 1959 ia mengumumkan kalau Perancis siap memberikan kebebasan bagi warga Aljazair untuk menentukan nasibnya sendiri.

Pernyataan De Gaulle tersebut langsung membuat golongan "pied-noir" (warga Eropa yang sudah menetap di Aljazair secara turun temurun) merasa tersengat. Pasalnya dari segi jumlah, mereka hanyalah golongan minoritas di Aljazair. Mereka khawatir bakal menjadi korban pembantaian massal jika Aljazair benar-benar melepaskan diri dari Perancis.

Sebagai wujud penolakan mereka terhadap pernyataan De Gaulle tersebut, pada bulan Januari 1960 massa dari golongan pied-noir menggelar aksi protes di ibukota Aljazair. Aksi bentrokan & baku tembak yang menewaskan 20 orang pun timbul, di mana sebanyak 14 di antaranya adalah anggota polisi.

Di jantung kota Aljir, sejumlah milisi pied-noir bahkan sampai mendirikan barikade untuk membentengi diri mereka dari aparat Perancis. Namun sesudah pemerintah Perancis menerjunkan militernya ke kota Aljir, mereka memutuskan untuk menyerah pada tanggal 1 Februari. Sejak bulan Juni, pemerintah Perancis juga mulai berunding dengan perwakilan FLN.

Perlawanan yang ditunjukkan oleh golongan pied-noir tadi ternyata baru awalnya. Di tahun yang sama, sebagian dari mereka mendirikan kelompok pemberontak baru yang bernama Organisation Armee Secrete (OAS; Organisasi Tentara Rahasia).

Tujuan pembentukan OAS adalah untuk memastikan supaya Aljazair tetap menjadi bagian dari Perancis dengan segala cara. Kendati belum lama terbentuk, OAS langsung menarik perhatian dunia setelah pada tanggal 21 April 1961, sejumlah anggota OAS merangkap tentara Perancis melakukan percobaan kudeta di Aljir dengan cara menduduki bandara, gedung pemerintahan, & gudang senjata.

Charles De Gaulle.

Begitu kabar mengenai kudeta tersebut terdengar oleh De Gaulle, ia melalui siaran televisi kemudian meminta supaya rakyat Perancis menolak bekerja sama dengan para pelaku kudeta. Gayung bersambut karena kemudian warga sipil & tentara Perancis di Aljazair beramai-ramai menunjukkan pembangkangannya kepada para pelaku kudeta.

Merasa terpojok karena upaya kudeta mereka tidak berjalan sesuai harapan, para pelaku kudeta kemudian beramai-ramai menyerahkan diri kepada militer Perancis. Namun OAS sendiri masih tetap aktif sesudah peristiwa tersebut, di mana aksi-aksi mereka terfokus pada penyerangan kepada komunitas Muslim Aljazair.

Setelah ancaman terhadap kepemimpinan De Gaulle berhasil diakhiri, pemerintah Perancis kembali mengalihkan fokusnya untuk mengakhiri konflik melawan FLN. Pada bulan Maret 1962, perwakilan Perancis & FLN melakukan pertemuan di kota Evian-les-Bains, Perancis timur.

Pertemuan tersebut sukses menghasilkan kesepakatan yang bernama "Perjanjian Evian". Berdasarkan perjanjian tersebut, Perancis setuju untuk memberikan opsi kemerdekaan untuk Aljazair. Sebagai gantinya, hak-hak penduduk keturunan Eropa di Aljazair bakal dijamin dalam kurun waktu 3 tahun.

Kesepakatan tersebut kemudian disahkan oleh parlemen Perancis pada bulan Juni. Di bulan yang sama, gelombang migrasi kaum minoritas dari Aljazair pun dimulai. Dalam jangka waktu hingga satu tahun berikutnya, sebanyak 1,4 juta orang yang terdiri dari golongan pied-noir, kaum Yahudi, & kaum Muslim Aljazair yang pro-Perancis beramai-ramai pergi meninggalkan Aljazair.

Tanggal 1 Juli, Aljazair akhirnya benar-benar menjadi negara merdeka setelah hampir seluruh rakyat Aljazair menyatakan dukungannya atas Perjanjian Evian via referendum. Dua hari kemudian, De Gaulle menerima hasil referendum tersebut & mengumumkan kemerdekaan Aljazair secara resmi.


KONDISI PASCA PERANG

Seperti halnya perang-perang yang terjadi di belahan dunia yang lain, perang kemerdekaan di Aljazair juga merenggut korban jiwa yang tidak sedikit. Tidak diketahui secara pasti jumlah akurat korban tewas dalam perang ini.

Menurut pihak Perancis seperti yang dikutip oleh Encyclopaedia Britannica, jumlah korban tewas ditaksir berkisar antara 300.000 - 500.000 jiwa. Sementara menurut pihak Aljazair, jumlah korban tewas dilaporkan mencapai 1,5 juta jiwa. Selain korban jiwa, perang ini juga berdampak pada hancurnya sejumlah desa & rusaknya hutan di sejumlah titik.

Sudah disinggung sebelumnya kalau warga keturunan Eropa / pied-noir beramai-ramai meninggalkan Aljazair ketika negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya. Tanah yang ditinggalkan oleh mereka kemudian diambil alih oleh pemerintah Aljazair untuk diubah menjadi lahan pertanian.

Namun masalah timbul karena selama ini posisi penting dalam pengelolaan lahan pertanian & pabrik dipegang oleh orang-orang pied-noir. Akibatnya, angka pengangguran seusai perang sempat melonjak seusai perang. Namun secara berangsur-angsur, para pekerja di Aljazair berhasil memanfaatkan lahan pertanian tadi untuk menanam komoditas ekspor, misalnya anggur.

Warga pied-noir yang hendak pergi meninggalkan Aljazair. (denise51 / pinterest.com)

Semasa perang, banyak pemuda Aljazair yang menjadi milisi harki akibat sulitnya mencari pekerjaan yang layak & aman. Ketika perang berakhir, para mantan harki ini kemudian beramai-ramai diadili. Mereka yang terbukti pernah melakukan pembunuhan bakal langsung ditembak mati di tempat. Sementara mereka yang tidak terbukti bersalah dibiarkan hidup bebas.

Namun sebagai konsekuensi dari keberpihakan mereka di masa silam, para bekas milisi harki ini kerap menerima diskriminasi & stigma negatif sebagai pengkhianat bangsa. Sebagai contoh, tidak ada perusahaan negara yang bersedia merekrut bekas milisi harki, sehingga tidak sedikit dari mereka yang kemudian harus hidup terlunta-lunta di tanah airnya sendiri.

Di sektor politik, Ahmed Ben Bella terpilih menjadi presiden pertama Aljazair di tahun 1963. Namun naiknya Ben Bella yang berhaluan sosialis menuai rasa tidak suka dari tokoh-tokoh di pemerintahan yang menganut aliran konservatif. Untuk menyingkirkan pihak-pihak yang menentangnya, Ben Bella pun kemudian memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh petinggi militer Houari Bomediene supaya para penentangnya tewas dibunuh atau melarikan diri keluar negeri.

Namun layaknya pepatah "tidak ada kawan abadi dalam politik", Ben Bella kemudian malah dikudeta & ditawan oleh Boumediene pada tahun 1965. Boumediene lalu menjabat sebagai presiden Aljazair hingga ajal menjemputnya di tahun 1978.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : 1954 - 1962
-  Lokasi : Aljazair

Pihak yang Bertempur
 (Grup)  -  FLN
     melawan
(Negara)  -  Perancis
(Grup)  -  Harki
     melawan
(Grup)  -  MNA
     melawan
(Grup)  -  OAS (sejak 1961)

Hasil Akhir
-  Perang berakhir tanpa pemenang yang jelas
-  Perancis memberikan kemerdekaan kepada Aljazair

Korban Jiwa
Antara 300.000 - 1.500.000 jiwa



REFERENSI

GlobalSecurity.org. "Algerian National Liberation (1954-1962)".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/algeria.htm)

Hitchens, C.. 2006. "A Chronology of the Algerian War of Independence".
(www.theatlantic.com/magazine/archive/2006/11/a-chronology-of-the-algerian-war-of-independence/305277/)

Khettab, D.O.. 2015. "Q&A: What really happened to Algeria’s Harkis".
(www.aljazeera.com/news/2015/8/22/qa-what-really-happened-to-algerias-harkis)

L.C. Brown & S. Zaimeche. 2008. "Algeria". Encylopaedia Britannica, Chicago, AS.

Pickles, D.M.. 2008. "Gaulle, Charles de". Encylopaedia Britannica, Chicago, AS.

The Telegraph. 2010. "General Marcel Bigeard".
(www.telegraph.co.uk/news/obituaries/military-obituaries/army-obituaries/7841910/General-Marcel-Bigeard.html)

Webber, M.. "Algerian War Reading".
(www.usfca.edu/fac-staff/webberm/algeria.htm)
  




COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.