Park Chung Hee, Diktator yang Merintis Kemajuan Korea Selatan



Gambar raksasa Park Chung Hee saat perayaan "Hari
Angkatan Bersenjata" di tahun 1973. (Sumber)

Rasanya tidak ada yang tidak mengenal Korea Selatan. Negara yang terletak di bagian selatan Semenanjung Korea tersebut memang memiliki banyak hal yang membuatnya terkenal. Mulai dari kemakmuran penduduknya, kemajuan teknologinya, hingga budaya modern K-Pop yang sedang menjadi tren di negara-negara lain, tak terkecuali di Indonesia. Banyak pihak yang menyebut bahwa Korea Selatan tidak akan bisa semaju sekarang bila dulunya tidak dipimpin oleh Park Chung Hee. Siapa itu Park Chung Hee & apa sumbangsihnya bagi kemajuan Korea Selatan?

Park Chung Hee adalah penguasa Korea Selatan sejak tahun 1961 hingga kematiannya di tahun 1979. Sebelum menjadi penguasa Korea Selatan, ia berprofesi sebagai tentara & pernah ikut terjun langsung dalam Perang Korea. Di masa kepemimpinannya, Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi & perkembangan infrastruktur yang amat pesat.

Namun, masa kepemimpinan Park juga diwarnai dengan kontroversi karena di tahun-tahun terakhir kepemimpinannya, Park menerapkan aneka kebijakan tangan besi seperti pembungkaman kebebasan berpendapat & manipulasi konstitusi agar bisa berkuasa selama mungkin.



DARI GURU MENJADI TENTARA

Park Chung Hee lahir pada tanggal 30 September 1917 di desa Sangmo-ri, provinsi Gyeongsangbuk-do. Ia adalah anak ketujuh dari pasangan petani miskin yang mendiami desa tersebut. Saat mulai mengenyam bangku sekolah, gurunya merasa terkesan dengan kecerdasan Park & kemudian menyarankan Park untuk melanjutkan sekolahnya ke sekolah keguruan di kota Daeju. Saran tersebut dituruti oleh Park & ia berhasil lulus dari sekolah keguruan tersebut menjelang akhir Maret 1937.

Sesudah lulus, Park mulai bekerja sebagai guru di kota Mungyeong, Provinsi Gyeongsangbuk-do. Di tahun yang sama (1937), pecah perang antara Cina melawan Jepang di mana Korea saat itu sedang dikuasai oleh pihak Jepang.

Merasa bosan dengan pekerjaannya & tertarik dengan situasi perang saat itu, Park lalu pergi ke Manchukuo - negara buatan Jepang yang berlokasi di Cina utara - untuk bergabung dengan sekolah militer setempat. Sejak itulah, Park pun menjadi bagian dari militer Jepang & berhasil meraih pangkat Letnan Kedua di tahun 1944.

Park (kiri) saat masih menjadi jenderal Korsel. (Sumber)

Tahun 1945, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang sehingga Park pun kemudian memutuskan untuk kembali ke Korea. Setahun sesudahnya, ia bergabung dengan akademi militer Korea.

Memasuki tahun 1948, sebagai akibat dari memanasnya kondisi Korea saat itu akibat perselisihan antara pihak Utara (komunis) & selatan (non-komunis), Park dijatuhi hukuman mati oleh militer Korea Selatan (Korsel) karena saat itu Park merupakan anggota dari sebuah partai komunis di Korsel yang kelak melebur dengan partai komunis di Korea Utara. Namun, hukuman tersebut batal dilaksanakan menyusul pecahnya Perang Korea di tahun 1950 & militer Korsel sedang membutuhkan personil sebanyak mungkin.

Selama & sesudah Perang Korea, keterampilan Park membuatnya diganjar kenaikan pangkat beberapa kali. Puncaknya adalah ketika di tahun 1960, ia diangkat sebagai Kepala Staf Operasi Militer Korsel sehingga ia memiliki pengaruh kuat atas militer negara tersebut.

Sementara itu di tahun yang sama, pecah aksi protes besar-besaran menuntut mundurnya presiden Syngman Rhee akibat krisis ekonomi & korupsi yang merajarela. Rhee akhirnya memang mundur di tahun yang sama, namun kondisi sosial politik Korsel tetap tidak mengalami peningkatan signifikan. Maka pada tanggal 16 Mei 1961, Park & para pengikutnya pun nekat melakukan kudeta yang berujung pada tumbangnya pemerintahan berkuasa Korsel saat itu.



BERJALANNYA REZIM PARK

Tidak lama sesudah kudeta, Park mendirikan Dewan Tinggi Rekonstruksi Nasional sebagai badan pemerintahan sementara dengan Park sebagai ketuanya. Sebulan kemudian, Park mendirikan Korea Central Intelligence Agency (KCIA; Agen Intelijen Pusat Korea) dengan tujuan menjaga stabilitas negara & menyingkirkan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan Park.

Bulan Oktober 1963, Korsel menggelar pemilu nasional & Park ikut mencalonkan diri sebagai kandidat presiden. Hasilnya, Park beserta Partai Demokratik Republik - partai pendukung Park - berhasil memenangkan pemilu tersebut dengan keunggulan suara tipis.

Perwakilan Korsel & Jepang dalam perundingan di tahun 1965. (Sumber)

Prioritas pertama Park usai terpilih sebagai presiden adalah memulihkan perekonomian Korsel yang belum benar-benar bangkit usai Perang Korea. Maka, program-program ekonomi seperti penyediaan dana pinjaman dengan bunga lunak, hak meminjam dana dari luar negeri, & penghapusan pajak untuk impor bahan-bahan mentah digalakkan sehingga perusahaan-perusahaan industri swasta yang berorientasi ekspor pun mulai tumbuh subur di negara tersebut. Buntutnya, barang-barang hasil industri Korsel mulai menyerbu pasaran luar negeri & perekonomian negara tersebut mulai mengalami pertumbuhan pesat.

Rencana ekonomi rezim Park tentunya tidak akan berjalan lancar kalau dia tidak memiliki dana yang memadai. Maka di tahun 1965, Korsel memulihkan hubungan diplomatik dengan Jepang sehingga Korsel bisa mendapatkan uang pinjaman dalam jumlah besar dari "Negeri Matahari Terbit" tersebut. Bank-bank lokal dinasionalisasi agar pemerintah Korsel bisa memiliki kontrol penuh atas aliran uang di negaranya.

Rezim Park juga menangkap para pebisnis yang dianggap korup & menawarkan pengampunan hukuman pada mereka kalau mereka mau menyumbang uang dalam jumlah besar ke negara. Seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri & perekonomian Korsel, semakin banyak pula investor asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya di negara semenanjung tersebut.

Di luar sektor ekonomi, rezim Park juga berusaha menjalin hubungan lebih dekat dengan Amerika Serikat (AS) dengan cara ikut mengirimkan pasukan ke Perang Vietnam demi membantu pasukan AS & sekutunya di medan perang. Memasuki tahun 1966, hubungan antara Korsel dengan Korut juga semakin tegang menyusul semakin seringnya pasukan kedua negara terlibat kontak senjata di perbatasan.

Tidak hanya itu, pemerintah Korut bahkan sempat mengirimkan pasukan khusus untuk menyelinap ke dalam wilayah Korsel & membunuh Park. Namun, upaya pembunuhan tersebut berhasil digagalkan setelah rombongan pasukan khusus Korut berhasil dicegat oleh polisi Korsel yang sedang berpatroli.


Park (kiri) saat bertemu presiden AS di Hawaii pada tahun 1968. (Sumber)


AKHIR TRAGIS SANG DIKTATOR

Tahun 1971, Park melanjutkan perannya sebagai presiden Korsel menyusul kemenangannya dalam pemilu di tahun yang sama. Namun dengan alasan demi memperkuat kontrol pemerintah pusat atas perekonomian negara, Park mengeluarkan aneka kebijakan baru yang kontroversial seperti pembubaran parlemen, pemberlakuan darurat militer di seantero Korsel, & revisi aturan negara sehingga masa jabatan presiden bertambah menjadi 6 tahun.

Tahun 1975, Park bahkan bertindak lebih jauh dengan melarang siapapun mengkritik dirinya. Kebijakan Park tersebut tak pelak membuat popularitasnya semakin menurun sehingga aksi protes pun semakin sering terjadi. Fenomena yang direspon Park dengan melakukan pembubaran paksa & penahanan ratusan demonstran.

Masih pada periode yang sama, rezim Park juga mulai memberlakukan diversifikasi ekonomi. Sektor-sektor ekonomi seperti pertanian, industri baja, perkapalan & elektronik mulai dikembangkan secara serius sehingga kemampuan Korsel untuk mengolah bahan tambang & mengekspor mobil pun meningkat. Namun sebagai konsekuensinya, terjadi peningkatan gaji buruh & kelangkaan barang-barang konsumsi dalam negeri.

Untuk mengakalinya, rezim Park yang sebelumnya fokus mendukung sektor industri berat mengalihkan fokusnya pada sektor industri ringan dengan harapan jumlah barang konsumsi yang beredar di pasaran lokal jadi semakin banyak. Kebijakan baru yang berujung pada kebangkrutan massal perusahaan-perusahaan industri kecil & meningkatnya angka pengangguran.

Semakin brutalnya perlakuan rezim Park terhadap pihak-pihak yang tidak sejalan & memburuknya perekonomian Korsel membuat aksi-aksi protes yang menentang dirinya semakin lama semakin besar. Di tengah-tengah kondisi sosial politik yang semakin kritis inilah, terjadi hal yang tidak diduga oleh siapapun. Tanggal 26 Oktober 1979, Park tewas ditembak oleh kepala KCIA, Kim Jae Kyu.

Tidak diketahui secara pasti apa motivasi Kim melakukan pembunuhan tersebut. Namun 1 hal yang pasti, tewasnya Park secara otomatis membuat rezimnya yang sudah berjalan selama 18 tahun menemui akhirnya. Choe Kyu Ha lalu terpilih menjadi presiden baru Korsel pada bulan Desember 1979, namun kondisi sosial politik negara tersebut tetap dilanda ketidakstabilan hingga beberapa tahun berikutnya.

Park saat berkumpul bersama keluarganya. (Sumber)

Di masa kini, rakyat Korsel memandang Park Chung Hee sebagai sosok dengan 2 sifat yang bertolak belakang. Di 1 sisi, ia disanjung karena berhasil merintis kemajuan Korsel hingga bisa menjadi salah satu macan Asia seperti sekarang. Namun di sisi lain, ia juga dianggap sebagai diktator yang haus kekuasaan & tidak segan-segan memakai cara apapun demi mempertahankan kekuasaannya.

Sisa-sisa jejak Park Chung Hee di dunia politik sendiri masih bisa ditemukan hingga sekarang setelah pada bulan Februari 2013 lalu, Park Geun Hye - putri tertua dari Park Chung Hee - menjadi presiden Korsel yang baru. Akhir kata, setiap pemimpin negara di belahan dunia manapun memang selalu memiliki sisi terang & gelapnya sendiri-sendiri.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



BIODATA

Nama lengkap : Park Chung Hee
Tempat, tanggal lahir : Sangmo-ri, 30 September 1917
Tempat, tanggal wafat : Seoul, 26 Oktober 1979 (usia 62)
Terkenal sebagai : presiden Korea Selatan (1963 - 1979)



REFERENSI

ABC-CLIO - Park Chung Hee (1917–1979)
About.com - Park Chung Hee Biography
Country Studies - Economic Development
Country Studies - South Korea Under Park Chung Hee, 1961-79
Country Studies - The Military in Politics
Country Studies - The Transition
San Jose State University - The Park Chung Hee Regime in South Korea
Wikipedia - History of South Korea

 




COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



4 komentar:

  1. Wah, gan susah, nih buat ngutip, nda bisa di-select text-nya...
    ==============================================

    sebelumnya kan dibilang bahwa rezim Park mengalihkan perhatian dari industri besar ke industri ringan (kecil?). Lalu disambung kalimat berikutnya kebijakan ini berujung pada kebangkrutan industri kecil.

    kayaknya perlu ada penjelasan tuh, biar dua kalimat itu nyambung....

    BalasHapus
  2. @gremory

    Industri ringan (light industry) itu maksudnya industry yang fokus produksinya adalah barang-barang konsumsi, misalnya makanan & pakaian. Sementara perusahaan industri kecil itu maksudnya industri (berat) yang modal & penghasilannya nggak sebesar perusahaan-perusahaan sejenis. Dan yang terkena kebangkrutan itu gak cuma industri, tapi juga usaha-usaha lain yang mengandalkan pinjaman dari pemerintah, tapi cuma menjadi prioritas kesekian pasca perubahan kebijakan.

    BalasHapus
  3. Kesian, mendirikan kcia, matinya dibunuh ketua kcia..

    Apakah di korea sana ada baliho "enak jamanku to?" bergambar park chung hee?

    BalasHapus
  4. @multilemma

    Hehehe, memangnya Suharto?

    Sejauh yang saya tahu sih nggak ada slogan / baliho macam itu. Tapi Park Geun Hye - presiden Korsel sekaligus anak dari Park Chung Hee - dalam kampanyenya menjelang pilpres pernah mendompleng nama ayahnya dengan menyatakan bahwa kalau dia berkuasa, dia akan meneruskan prestasi & kontribusi positif dari ayahnya.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.