Rwanda, Negara Mini yang Menjadi Arena Genosida



Tentara pemerintah Rwanda yang sedang berdiri di dekat
timbunan tengkorak korban genosida. (Sumber)

Rwanda. Itulah nama dari sebuah negara mini yang terletak di Afrika bagian timur. Negara tersebut berbatasan dengan Uganda di utara, Tanzania di sebelah timur, Burundi di selatan, & Republik Demokratik Kongo (RD Kongo) di sebelah barat. Pada era 90-an, negara kecil ini pernah menyita perhatian dunia internasional karena perang sipil & pembantaian etnis yang merenggut nyawa ratusan ribu penduduknya. Nah, artikel kali ini akan membahas mengenai bagaimana perang sipil & genosida tersebut bisa berlangsung.

Perang sipil Rwanda adalah perang saudara yang terjadi di negara tersebut pada tahun 1990 - 1994 dengan jeda gencatan senjata antara tahun 1992 - 1994. Faktor perbedaan etnis sangat mendominasi alur peperangan karena perang tersebut terjadi antara kelompok pemberontak FPR yang mayoritasnya berasal dari etnis Tutsi melawan militer pemerintah Rwanda yang saat itu didominasi oleh etnis Hutu. Faktor perbedaan etnis pula yang melatar belakangi terjadinya genosida di Rwanda di mana korban genosida mayoritasnya adalah etnis Tutsi, sementara pelaku utama genosida berasal dari etnis Hutu.



LATAR BELAKANG

Ditinjau dari komposis etnisnya, Rwanda terdiri dari 2 golongan etnis utama : etnis mayoritas Hutu & etnis minoritas Tutsi. Dari segi fisik & budaya, kedua etnis tersebut sebenarnya bisa dikatakan serupa. Perbedaan utama antara keduanya adalah etnis Tutsi dianggap sebagai etnis yang lebih mapan & lebih tinggi status sosialnya karena etnis Tutsi memiliki kerajaannya sendiri di tanah Rwanda. Mereka yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan pada dasarnya sudah bisa dikategorikan sebagai bagian dari Tutsi.

Penduduk setempat yang tidak memiliki kedekatan dengan orang-orang kerajaan di lain pihak hanya bisa berprofesi sebagai petani rendahan & pekerja kasar. Golongan profesi inilah yang didominasi oleh orang-orang etnis Hutu. Memasuki tahun 1894, Rwanda menjadi daerah jajahan Jerman, namun Jerman tidak membubarkan kerajaan milik orang-orang Tutsi. Jerman membiarkan kerajaan mereka berdiri selama mereka mau tunduk pada orang-orang Jerman & membiarkan Jerman menempatkan penasihatnya di sana. Namun menyusul kekalahan Jerman pada Perang Dunia I, Rwanda menjadi daerah jajahan Belgia sejak tahun 1918.

Peta lokasi Rwanda. (Sumber)

Semenjak Belgia mulai berkuasa inilah, perbedaan antara etnis Hutu & Tutsi mulai ditonjolkan. Orang-orang Tutsi dianggap sebagai golongan kelas atas yang lebih superior sehingga jabatan-jabatan dalam birokrasi setempat pun didominasi oleh orang-orang Tutsi. Perbedaan antara keduanya semakin kentara setelah pada tahun 1933, Belgia melakukan sensus & menambahkan kolom etnis dalam kartu tanda penduduk setempat untuk membedakan orang Hutu dengan Tutsi. Dengan adanya kebijakan pembedaan tersebut, orang-orang Hutu pun jadi semakin sulit menempati posisi-posisi elit dalam birokrasi. Buntutnya, sentimen kebencian etnis Hutu terhadap etnis Tutsi mulai membumbung.

Menyusul terjadinya arus kemerdekaan massal di negara-negara Asia & Afrika, Belgia berencana memberikan kemerdekaan kepada Rwanda. Rencana Belgia tersebut lantas menimbulkan konflik antara komunitas Tutsi yang menginginkan Rwanda merdeka sebagai kerajaan yang didominasi orang-orang Tutsi & komunitas Hutu yang menginginkan Rwanda merdeka sebagai republik. Hasilnya, komunitas Hutu yang didukung secara terselubung oleh Belgia keluar sebagai pemenang sehingga Rwanda pun merdeka sebagai republik di tahun 1962. Konflik menjelang kemerdekaan tersebut juga menyebabkan ratusan ribu orang-orang Tutsi melarikan diri ke luar negeri, khususnya ke Uganda & Burundi.

Tahun 1988, komunitas perantauan Tutsi di Uganda mendirikan kelompok bersenjata yang bernama Front Patriotique Rwandais (FPR; Front Patriotik Rwanda) dengan tujuan memperjuangkan kembali hak-hak komunitas Tutsi yang terusir dari Rwanda via jalur perjuangan bersenjata. Youri Musevini selaku pemimpin Uganda sendiri mendukung pendirian & aktivitas FPR sebagai balas jasa karena semasa perang sipil Uganda di tahun 1983 - 1986 dulu, orang-orang Tutsi di Uganda ikut menjadi bagian dari pasukan Musevini & simpatisannya. Kemunculan FPR inilah yang nantinya menjadi penyebab utama meletusnya perang sipil di Rwanda.


Bendera kelompok FPR. (Sumber)


BERJALANNYA PERANG & GENOSIDA

Awal Oktober 1990, ratusan anggota FPR di Uganda yang memakai seragam tentara Uganda menerobos masuk ke dalam wilayah Rwanda. Hanya dalam kurun waktu beberapa hari, pasukan FPR berhasil bergerak hingga sejauh 60 km dari perbatasan Rwanda-Uganda dengan memanfaatkan ketidak siapan militer Rwanda dalam mengantisipasi serangan mendadak yang dilakukan oleh FPR. Namun, pergerakan pasukan FPR akhirnya berhasil dihentikan setelah Prancis & Zaire (sekarang RD Kongo) mengirimkan bantuan persenjataan & tentara untuk membantu militer Rwanda.

Meskipun sepak terjang mereka berhasil diredam, FPR tidak patah semangat & mulai mengumpulkan kembali kekuatannya. Para perantauan Tutsi di berbagai penjuru dunia direkrut sehingga jumlah personil FPR pun membengkak menjadi 5.000 orang. Dengan modal tambahan kekuatan tersebut, FPR pun memulai kembali perjuangan bersenjatanya pada awal tahun 1991. Dalam fase perjuangan bersenjata kali ini, FPR mengubah taktik bertempurnya menjadi taktik gerilya & serangan sporadis sehingga pasukan Rwanda kesulitan menghancurkan FPR.

Perang antara pasukan Rwanda & FPR terus berlangsung sebelum akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk melakukan perundingan damai pada bulan Juli 1992 di Arusha, Tanzania. Dalam perundingan yang difasilitas oleh Organisasi Uni Afrika tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk berhenti mengangkat senjata, mendirikan pemerintahan bersama, & memberi izin bagi kelompok pengamat netral untuk mengawasi jalannya proses perdamaian. Perundingan-perundingan susulan yang membahas masalah politik lalu dilakukan sejak bulan September 1992. Dengan demikian, perang sipil Rwanda pun secara resmi berakhir, namun waktu membuktikan bahwa banjir darah yang sebenarnya baru akan segera datang.

Tanggal 6 April 1994, presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana, tewas setelah pesawat yang dinaikinya ditembak jatuh oleh orang yang tidak diketahui identitasnya. Pasca peristiwa tersebut, hubungan antara kelompok FPR & rezim Hutu di Rwanda langsung memanas kembali setelah pihak Hutu menuduh anggota FPR sebagai pelakunya.

Anggota FPR saat berdiri di dekat bangkai pesawat
yang mengangkut presiden Rwanda. (Sumber)

Tuduhan tersebut lantas dijadikan pembenaran oleh para ekstrimis Hutu - khususnya kelompok milisi Interahamwe - untuk melakukan pembantaian kepada orang-orang Tutsi di Rwanda. Selain etnis Tutsi, orang-orang Hutu yang menolak kebijakan pembantaian juga ikut menjadi sasaran karena dicap sebagai pengkhianat & tidak loyal.

Usai munculnya seruan dari para petinggi ekstrimis Hutu untuk melakukan pembantaian, orang-orang Hutu di seluruh penjuru Rwanda yang dilengkapi dengan senjata tajam melakukan razia dari rumah ke rumah untuk mencari orang-orang Tutsi & membunuh mereka. Awalnya dunia internasional hanya berpikir bahwa pembantaian tersebut adalah kekerasan biasa yang lumrah terjadi dalam perang. Namun menyusul terjadinya pembantaian anak-anak etnis Tutsi di Gereja Katolik Pallotine, Gikondo, barulah dunia internasional terhenyak & menyadari kalau aktivitas genosida yang menargetkan etnis Tutsi sedang berlangsung.

Anggota FPR yang berada di Kigali juga tidak luput dari sasaran penyerangan oleh para ekstrimis Hutu. Maka, mereka yang berhasil menyelamatkan diri lalu bergabung dengan pasukan FPR yang berada sebelah utara Rwanda sebelum kemudian melakukan penyerbuan secara bersama-sama ke wilayah Rwanda. Perlahan tapi pasti, pasukan FPR berhasil menguasai wilayah Rwanda sepetak demi sepetak. Keberhasilan FPR tersebut tak lepas dari keunggulan pengalaman perang para anggotanya yang dulunya pernah membantu Youri Musevini & para simpatisannya dalam perang saudara di Uganda.

Memasuki awal Mei 1994, sebagian besar wilayah Rwanda berada di bawah kendali FPR. Di pihak yang berseberangan, petinggi-petinggi rezim Hutu Rwanda terpaksa mengungsi ke Gitarama, Rwanda barat, menyusul serangan artileri & blokade yang dilancarkan pasukan FPR ke ibukota Kigali & sekitarnya. Pasukan pemerintah & milisi Hutu Rwanda sendiri sudah tidak bisa diandalkan setelah banyak dari mereka yang lebih memilih untuk melarikan diri ke sebelah barat - menuju perbatasan Rwanda-Zaire (sekarang RD Kongo). Memasuki pertengahan Juli 1994, seluruh wilayah Rwanda akhirnya berhasil dikuasai oleh FPR & perang sipil Rwanda berakhir dengan kemenangan pihak FPR.


Prajurit FPR saat terlibat dalam baku tembak. (Sumber)


KONDISI PASCA PERANG

Perang sipil Rwanda adalah salah satu konflik paling berdarah dalam sejarah modern Afrika. Jumlah korban tewas dalam perang tersebut bisa begitu tinggi akibat adanya aksi pembantaian tersistematis oleh ekstrimis Hutu yang ditujukan kepada etnis Tutsi & Hutu moderat. Jumlah korban tewas akibat pembantaian tersebut diperkirakan berkisar antara 500 ribu - 1 juta jiwa!

Akibat perang sipil & genosida itu pula, jumlah populasi Rwanda merosot drastis & perekonomian negara tersebut sempat mengalami kelumpuhan. Pasca perang sipil, muncul pula laporan bahwa rezim Rwanda yang kini dikuasai oleh etnis Tutsi melakukan intimidasi & genosida balasan terhadap orang-orang Hutu.

Pasca keberhasilannya memenangi perang sipil, FPR berubah menjadi partai politik terbesar di Rwanda, sementara sayap militernya dirombak menjadi tentara nasional Rwanda yang baru. Pasteur Bizimungu diangkat sebagai presiden sementara sebelum posisinya digantikan oleh petinggi FPR, Paul Kagame.

Untuk menekan sentimen kebencian antar etnis, pemerintahan baru Rwanda pasca perang sipil melakukan sejumlah kebijakan penting. Kolom etnis pada kartu identitas dihilangkan, para pejabat serta petinggi militer yang ikut terlibat dalam genosida diserahkan ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), &  proses pengadilan para pelaku genosida dengan metode rapat masyarakat desa (gacaca) dilakukan.

Suasana dalam pengadilan gacaca. (Sumber)

Keberhasilan FPR memenangkan perang sipil di lain pihak memunculkan gelombang ketakutan massal di antara orang-orang Hutu yang khawatir kalau mereka akan menjadi sasaran genosida balasan oleh orang-orang Tutsi. Sebagai akibatnya, jutaan rakyat Hutu lalu mengungsi ke wilayah timur RD Kongo & mendirikan kompleks pengungsian raksasa di sana.

Sebagian besar dari mereka akhirnya kembali ke Rwanda pasca meletusnya Perang Kongo I, namun sebagian lainnya memilih untuk tetap bersembunyi di pelosok timur RD Kongo & melancarkan serangan-serangan sporadis ke perbatasan Rwanda dengan harapan bisa menggulingkan pemerintahan berkuasa Rwanda yang didominasi oleh etnis Tutsi.

Bicara soal serangan-serangan ke perbatasan Rwanda, ada pendapat yang menyatakan bahwa perang sipil Rwanda sebenarnya masih berlangsung, namun lokasi medan perangnya bukan lagi di tanah Rwanda. Dasar klaimnya adalah seusai perang sipil, timbul 2 perang besar di kawasan RD Kongo di mana pihak Hutu & Tutsi berada di pihak yang berseberangan.

Pasca berakhirnya Perang Kongo II, konflik-konflik berskala kecil juga masih tetap terjadi di pelosok timur RD Kongo. Salah satu konflik tersebut adalah pemberontakan M23 di penghujung tahun 2012 lalu di mana kelompok M23 didukung oleh rezim Tutsi di Rwanda, sementara pemerintah pusat RD Kongo selaku lawan dari M23 mendapat bantuan dari milisi-milisi etnis Hutu.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
- Waktu : 1990 - 1992, 1994
- Lokasi : Rwanda

Pihak yang Bertempur
(Grup)  -  FPR
(Negara) - Uganda
        melawan
(Negara)  -  Rwanda, Prancis, Zaire
(Grup)  -  Interahamwe, milisi-milisi Hutu

Hasil Akhir
- Kemenangan pihak FPR & sekutunya
- Konflik susulan berlanjut di Zaire / RD Kongo timur

Korban Jiwa
Sekitar 1 juta jiwa.



REFERENSI

About.com - Rwanda Genocide Timeline
BBC News - Q&A: DR Congo's M23 rebels
BBC News - Rwanda 'gacaca' genocide courts finish work
GlobalSecurity.org - Rwanda Civil War
Wikipedia - Rwandan Civil War
Wikipedia - Rwandan Genocide
Wikipedia - Rwandan Patriotic Front
Amnesty. 1998. "Democratic Republic of Congo : A Long-Standing Crisis Spinning Out
of Control".

 





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



10 komentar:

  1. Suasana pengadilannya itu ya sobat sangat sederhana

    BalasHapus
  2. @agus

    Kalau untuk rakyat kecilnya memang iya, sebab pada dasarnya hampir semua orang dari etnis Hutu ikut serta dalam aktivitas genosida. Jadi untuk memudahkan & mempercepat penanganan hukumnya, digunakanlah sistem pengadilan macam itu (gacaca)

    Tapi kalau untuk para pejabat & petinggi militernya sih, mereka diadilinya oleh pengadilan internasional yang lokasinya berada di luar Rwanda

    BalasHapus
  3. TERIMA KASIH. SANGAT MEMBANTU TUGAS PKN SAYA

    BalasHapus
  4. Pernah nonton film kejadian ini, judul nya hotel rwanda. Salut buat tokoh nya Paul Rasusabagina yang katanya masih hidup di Belgia

    BalasHapus
  5. Bagus, sistematis, menggambarkan garis besar secara jelas

    BalasHapus
  6. soo jd secara umum tutsi dan hutu itu beda karena status kelas sosial aja kan?
    yang bertanggung jawab sepenuhnya atas genosidanya ini pada akhirnya semua kaum hutu atau hanya pemimpinnya?

    BalasHapus
  7. coba deh nonton film HOTEL RWANDA biar terasa bagaimana merindingnya melihat kejadian kejadian nya.....

    BalasHapus
  8. Terimakasih ya... Sangat membantu sebagai referensi untuk tugas sejarah saya!

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.