Chad, Negeri Jantung Mati Afrika



Bendera Chad yang sedang berkibar. (Sumber)

Chad. Itulah nama dari negara yang terletak di Gurun Sahara, Afrika. Negara yang beribukota di N'Djamena tersebut berbatasan dengan Libya di sebelah utara, Sudan di sebelah timur, Republik Afrika Tengah di sebelah selatan, serta Kamerun, Nigeria, & Niger di sebelah barat. Sebagai akibat dari kondisi wilayahnya yang didominasi oleh padang gurun & lokasinya yang jauh dari laut, Chad pun memperoleh julukan "jantung mati Afrika".

Secara demografis, Chad bisa dibagi menjadi 2 zona : zona utara (serta tengah) yang berpenduduk mayoritas Muslim & zona selatan yang berpenduduk mayoritas Kristen serta animisme. Pemerintah Chad sendiri menetapkan bahasa Perancis & Arab sebagai bahasa resminya. Sementara dari segi ekonomi, Chad merupakan salah satu negara termiskin di dunia di mana mayoritas penduduknya masih bergantung pada sektor pertanian & peternakan tradisional. Prestasi negatif yang terjadi bukan semata akibat kondisi tandus negaranya, tapi juga akibat maraknya praktik korupsi & seringnya Chad dilanda konflik internal.



DI BAWAH KEKUASAAN PERANCIS

Walaupun Chad memiliki iklim gersang & tidak berbatasan dengan laut, hal tersebut tidak lantas menunjukkan kalau wilayah Chad tidak diminati sama sekali. Terhitung sejak tahun 1890-an, Perancis mulai mencoba menancapkan pengaruhnya ke wilayah Chad. Upaya Perancis sendiri awalnya tidak begitu mulus akibat adanya perlawanan dari kerajaan-kerajaan setempat, khususnya Kerajaan Ouaddai / Wadai. Namun berkat keunggulan kekuatan militer & teknologi, seluruh wilayah Chad akhirnya jatuh ke tangan Perancis pada tahun 1900.

Perancis lalu menamai daerah koloni barunya dengan nama "Chad" (Tchad). Nama yang diambil dari danau bernama sama yang terletak di sebelah barat wilayah Chad. Oleh Perancis, Chad difungsikan sebagai sumber komoditas kapas & tenaga kerja kulit hitam yang dikirim ke wilayah-wilayah jajahan lain milik Perancis di sebelah selatan. Selebihnya, Perancis cenderung memandang Chad sebagai wilayah jajahan yang kurang penting sehingga wilayah itupun mengalami proses modernisasi & konsolidasi antar golongan suku yang lambat.

Peta lokasi Chad. (Sumber)

Tahun 1910, Perancis menggabungkan Chad ke dalam daerah koloni lainnya untuk membentuk federasi bernama Afrique Equatoriale Francaise (AEF; Afrika Khatulistiwa milik Perancis). Chad menjadi wilayah AEF yang terletak paling utara & juga paling gersang. Sesudah Perang Dunia II, Perancis mengubah status politik daerah-daerah penyusun AEF (termasuk Chad) sebagai teritori seberang lautan sehingga daerah-daerah tersebut kini bisa memilik parlemennya sendiri & kemandirian memerintah hingga tingkatan tertentu.

Sebagai akibat dari perubahan status politik Chad, partai-partai politik lokal mulai bermunculan. Salah satu partai politik (parpol) yang menonjol adalah Union Democratique Tchadienne (UDT; Serikat Demokratik Chad) yang anggotanya didominasi oleh golongan Muslim dari sebelah utara Chad & orientasi politiknya cenderung menguntungkan Perancis. Parpol inilah yang menjadi kubu paling dominan dalam panggung politik domestik Chad. Menjelang dekade 60-an, UDT mengganti namanya menjadi Action Sociale Tchadienne (AST; Aksi Sosial Chad).

Selain UDT / AST, parpol lain yang juga menonjol adalah Parti Progressiste Tchadien (PPT; Partai Progresif Chad) yang yang ideologinya cenderung kekirian & keanggotaannya didominasi oleh golongan non-Muslim dari selatan Chad. Tahun 1956, Perancis melakukan perubahan aturan kepada daerah koloninya di Afrika, sehingga semakin banyak warga lokal yang bisa mengikuti pemilu di masing-masing wilayahnya. Karena wilayah selatan Chad yang subur memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak daripada wilayah utara yang gersang, pada pemilu tahun 1957 PPT berhasil memenangkan pemilu & menggantikan posisi AST sebagai parpol yang mendominasi pemerintahan.

Foto satelit Chad & sekitarnya. Jika wilayah utara & tengah didominasi
oleh gurun, maka wilayah selatan didominasi oleh lahan hijau subur.

Tahun 1958, Perancis menggelar referendum di AEF untuk menentukan masa depan dari daerah-daerah koloni penyusun AEF. Hasilnya, golongan pendukung kemerdekaan berhasil memenangkan referendum sehingga Chad pun dimerdekakan 2 tahun kemudian dengan Francois Tombalbaye dari partai PPT sebagai presiden pertama Chad. Tombalbaye langsung dihadapkan dengan pekerjaan rumah yang sama sekali tidak ringan karena Chad yang baru merdeka merupakan negara yang miskin sumber daya alam & daeahnya terisolasi satu sama lain akibat masih kuatnya sentimen kesukuan & minimnya fasilitas jaringan penghubung modern.



NEGARA MUDA YANG LANGSUNG BERGOLAK

Sebagai solusi atas semua masalah tadi sekaligus untuk memperkuat kedudukannya sendiri, Tombalbaye memilih untuk menggunakan gaya pemerintahan otoriter. Mula-mula, semua pegawai negeri yang berkewarganegaraan Perancis dicopot dari jabatannya. Lalu memasuki tahun 1962, semua parpol selain PPT dinyatakan sebagai parpol terlarang. Setahun kemudian, Tombalbaye membubarkan parlemen nasional & melakukan penahanan massal kepada lawan-lawan politiknya menyusul pecahnya kerusuhan di ibukota N'Djamena. Tahun 1964, parlemen nasional didirikan kembali di mana kali ini komposisi anggotanya hanya berasal dari PPT & orang-orang dekat Tombalbaye.

Semakin otoriter & diskriminatifnya kebijakan-kebijakan rezim Tombalbaye lantas berujung pada semakin radikalnya respon yang ditunjukkan oleh para penentang kebijakan rezim Tombalbaye. Tanggal 1 November 1965, pecah kerusuhan besar di kota Mangalme, Prefektur Guera, yang berujung pada tewasnya 500 orang. Bagaikan api yang membakar sekam, kerusuhan & pemberontakan mulai menjalar ke prefektur-prefektur lainnya. Setahun kemudian, para penentang rezim Tombalbaye yang bermukim di Sudan mendirikan kelompok bersenjata yang bernama Front de Liberation Nationale du Tchad (FROLINAT; Front Pembebasan Nasional Chad) sehingga pecahlah Perang Sipil Chad Pertama.

Prajurit FROLINAT. (Sumber)

Upaya FROLINAT untuk menggulingkan rezim Tombalbaye terkendala oleh fakta bahwa kelompok tersebut tidak benar-benar kompak akibat gesekan antar petingginya sendiri. Sebagai contoh, ketika Ibrahim Abatcha yang bertanggung jawab atas pasukan FROLINAT di front timur tewas dalam perang, 4 orang langsung mengklaim dirinya sebagai suksesor Abatcha & mulai terlibat konflik satu sama lain. Beruntung bagi FROLINAT, pemerintah Chad tidak memiliki militer yang kompeten sehingga kelompok tersebut bisa tetap bertahan kendati harus menghadap gempuran dari luar & dalam.

Sadar kalau militer negaranya sendiri tidak bisa diandalkan, Tombalbaye lalu meminta bantuan militer kepada Perancis. Perancis memang menerjunkan pasukannya untuk memerangi pasukan FROLINAT, namun Perancis juga menekan Tombalbaye untuk melakukan reformasi politik supaya perang saudara di Chad bisa lekas berhenti. Tombalbaye lantas meresponnya dengan menghapuskan sejumlah pajak yang dinilai memberatkan rakyat Chad, mengembalikan tokoh-tokoh Chad utara ke dalam birokrasi, & membebaskan ribuan tahanan politik pada akhir dekade 60-an serta awal dekade 70-an.

Semua upaya yang dilakukan Tombalbaye untuk mengembalikan stabilitas Chad sayangnya berakhir sia-sia setelah ia menahan sejumlah anggota militer Chad atas tuduhan percobaan kudeta pada tahun 1971. Tombalbaye juga melancarkan tuduhan kalau pemerintah Libya berada di balik upaya kudeta tersebut & kemudian mengundang para penentang rezim Qaddafi (Libya) untuk bermukim di wilayah Chad. Qaddafi lantas membalasnya dengan memberikan dukungan logistik & markas kepada para personil FROLINAT. Sebagai akibatnya, Perang Sipil Chad pun kembali memasuki fase sengitnya.

Francois Tombalbaye, presiden pertama Chad. (Sumber)

Kacaunya kembali kondisi dalam negeri Chad lantas diikuti dengan semakin vokalnya orang-orang Chad selatan kepada rezim Tombalbaye. Tombalbaye lantas merespon situasi tersebut dengan menahan ratusan penduduk Chad selatan, sehingga kini Tombalbaye kehilangan dukungan dari daerah yang notabene merupakan daerah pendukung utama rezimnya. Tombalbaye juga semakin sering mengkritik kinerja militer Chad yang dianggap tidak becus dalam memenangkan perang sipil. Merasa kesal dengan kurangnya dukungan Tombalbaye kepada militer Chad, pada tanggal 13 April 1975 sejumlah tentara Chad nekat mengkudeta Tombalbaye & membunuhnya.



KUDETA & BERLANJUTNYA PERANG SAUDARA

Pasca tumbangnya rezim Tombalbaye, sebuah pemerintahan transisi bentukan militer Chad yang bernama Conseil Superieur Militaire (CSM; Dewan Militer Tertinggi) didirikan dengan Felix Malloum sebagai pemimpinnya. Beban CSM sebagai pemegang baru tampuk kekuasaan Chad sama sekali tidak ringan kerena selain harus mengatasi masalah-masalah ekonomi peninggalan rezim Tombalbaye, CSM juga harus mencari cara untuk menghentikan perang sipil menyusul semakin ganasnya performa FROLINAT di medan perang berkat bantuan persenjataan dari Libya.

Tahun 1978, CSM berhasil membujuk Hissene Habre untuk meletakkan senjata dengan iming-iming kursi perdana menteri Chad. Habre sendiri adalah pemimpin Conseil de Commandement des Forces Armees du Nord (CCFAN; Dewan Komando Tentara Angkatan Bersenjata Utara), elemen penyusun FROLINAT yang berbasis di Chad utara. Di pihak yang berseberangan, sisa-sisa pasukan FROLINAT yang menolak bekerja sama dengan CSM memutuskan untuk merombak ulang struktur kelompoknya & mengadopsi nama Forces Armees Populaires (FAP; Tentara Populer Rakyat) sebagai nama baru bagi kelompok mereka. Goukouni Oueddei menjadi pemimpin tertinggi FAP & perang sipil Chad pun kini siap memasuki babak baru.

Pasukan Perancis di Chad. (Sumber)

Tahun berganti, posisi Habre di pemerintahan pusat Chad semakin dominan setelah ia memerintahkan Malloum mundur dari jabatannya. Bulan Februari 1979, perang akhirnya menjalar ke ibukota N'Djamena menyusul pecahnya kontak senjata antara FAN - sayap militer CCFAN yang kini menjadi angkatan bersenjata resmi Chad - melawan FAP. Tercatat puluhan ribu orang tewas setelah para pengungsi Chad utara & tengah menjadi sasaran pembantaian orang-orang Chad selatan. Situasi yang lantas mendorong negara-negara Afrika tetangga Chad untuk melibatkan diri & memediasi konflik.

Tanggal 21 Agustus 1979, pasca perundingan yang dilakukan di Lagos (Nigeria), perwakilan dari pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Sipil Chad setuju untuk meletakkan senjata & membentuk pemerintahan koalisi yang bernama Gouvernement d'Union Nationale de Transition (GUNT; Pemerintahan Transisi Persatuan Nasional). Dalam pemerintahan koalisi tersebut, Goukouni bertindak sebagai presiden & Habre mendapat jatah sebagai menteri pertahanan serta korban perang. Periode damai di Chad pasca dibentuknya GUNT sayangnya tidak berlangsung lama & konflik bersenjata kembali meletus pada awal tahun 1980.

Bulan Mei 1980, pasukan Perancis ditarik mundur dari Chad. Goukouni lantas melirik Libya sebagai negara yang ia yakini bisa memberikan bantuan militer. Kebetulan, Libya sejak diperintah oleh Qaddfi memang sangat berambisi menjadikan Chad berada di bawah pengaruhnya dengan harapan bisa mendapatkan Jalur Aouzou yang terletak di Chad utara. Hal yang selanjutnya terjadi adalah pada bulan Oktober 1980, Libya mengirimkan pasukannya ke kota-kota besar di Chad sehingga Habre yang selama ini dikenal sangat antipati kepada Libya terpaksa melarikan diri ke Sudan.

Peta lokasi Jalur Aouzou (merah). (Sumber)

Hubungan mesra antara Libya & rezim Goukouni tidak berlangsung lama akibat gencarnya penolakan dunia internasional terhadap penempatan pasukan Libya di Chad & adanya kecurigaan dari Goukouni kalau Libya mendukung salah satu anggota GUNT rival Goukouni. Maka, pada tahun 1981 Goukouni memerintahkan pasukan Libya untuk angkat kaki dari Chad. Mundurnya pasukan Libya tidak disia-siakan oleh Habre & para simpatisannya untuk memulai pemberontakan bersenjata dari wilayah timur Chad. Bulan Juni 1982, pasukan pimpinan Habre berhasil menguasai N'Djamena, sementara Goukouni melarikan diri ke Libya.



BERKONFLIK DENGAN NEGARA-NEGARA TETANGGA

Bulan Juni 1983, pasukan pro-Goukouni (FAP / GUNT) yang disuplai oleh persenjataan Libya melancarkan serangannya untuk merebut kembali ibukota Chad dari tangan pasukan pro-Habre (FANT). Ketika FAN yang mendapatkan bantuan persenjataan dari Perancis & AS berhasil menahan laju pasukan GUNT, Libya merespon situasi tersebut dengan mengirimkan pasukan udaranya untuk membantu GUNT. Perancis lantas merespon tindakan Libya dengan cara mengirimkan 3.000 tentaranya, sehingga pasukan gabungan Libya & GUNT tidak berani bergerak lebih jauh ke Chad selatan.

Sejak tahun 1984, konflik skala besar di Chad tidak lagi terjadi. Namun Chad kini ibarat terbelah menjadi 2 zona : zona utara yang dikuasai oleh pasukan Libya & GUNT, serta zona selatan yang dikuasai oleh pasukan Perancis & FAN. 2 tahun berlalu, konflik kembali pecah setelah serangan pasukan gabungan Libya & GUNT untuk merebut N'Djamena berhasil dipatahkan oleh pasukan FANT. Gagalnya serangan tersebut berujung pada semakin memburuknya hubungan antara Libya & GUNT sehingga banyak personil GUNT yang kemudian membelot ke kubu Habre.

Pasukan Chad di atas mobil bak terbuka.

Tahun 1987 merupakan tahun terakhir dalam rangkaian konflik bersenjata antara Chad & Libya. Kali ini seluruh penduduk Chad berada di kubu yang sama & disatukan oleh sentimen anti-Qaddafi. Dengan bermodalkan senjata anti-tank & mobil Toyota bak terbuka, pasukan Chad secara mengagumkan berhasil menghancurkan sisa-sisa pasukan Libya di Chad utara yang notabene dilengkapi dengan persenjataan berat. Pasca konflik, Qaddafi menyatakan kesediaannya untuk mengakui rezim Habre & menyelesaikan sengketa Jalur Aouzou secara damai via pengadilan internasional. Pengadilan internasional sendiri akhirnya menyatakan kalau Jalur Aouzou adalah wilayah sah milik Chad.

Riwayat Habre sebagai pemimpin Chad tidak berlangsung lama setelah pada bulan Desember 1990, Habre digulingkan oleh Idriss Deby yang saat itu masih menjabat sebagai jenderal bawahan Habre. 3 bulan kemudian, Deby diangkat menjadi presiden baru Chad. Seperti yang sudah diduga, naiknya Deby lewat jalur kudeta tidak diterima oleh semua golongan penduduk Chad, sehingga pecah pemberontakan menentang rezimnya. Untuk mengatasinya, pada tahun 1996 Deby pun menggelar pemilu multipartai yang berhasil dimenangkan oleh parpol asalnya, Mouvement Patriotique du Salut (MPS; Gerakan Keselamatan Patriotik).

Tahun 2003, Chad memperoleh sumber pendapatan baru menyusul dibukanya jalur pipa minyak di wilayahnya. Sementara itu di luar Chad, terjadi konflik bersenjata di Darfur, Sudan barat, di mana banyak pengungsi & milisi dari Darfur yang menyeberang ke Chad. Masuknya mereka ke dalam Chad mulai menggoyang kembali kondisi keamanan internal Chad yang memang rapuh. Maka, pada tahun 2005 muncullah kelompok bersenjata baru yang bernama Front Uni pour le Changement (FUC; Front Bersatu untuk Perubahan) di mana FUC aslinya merupakan gabungan dari 8 kelompok bersenjata yang sudah terbentuk lebih dulu di tahun yang sama.

Peta lokasi Darfur. (Sumber)

FUC mendapat bantuan persenjataan dari pemerintah Sudan karena Sudan berniat menjadikan wilayah Chad berada di bawah pengaruhnya. Pemerintah Chad lantas membalasnya dengan ganti mendukung kelompok pemberontak anti-Sudan di Darfur. Konflik di masing-masing negara pun sebagai akibatnya semakin memanas. Baru pada tahun 2010, perang sipil di Chad mereda setelah pemerintah Chad & Sudan sepakat untuk berhenti mendukung kelompok pemberontak di negara tetangganya masing-masing. Walaupun masalah keamanan dalam negeri sudah mulai membaik, rakyat Chad masih harus menempuh jalan terjal untuk meningkatkan taraf hidup & memajukan tanah airnya.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



BIODATA NEGARA

Nama resmi : Republique du Tchad; Jumhuriyyat Tshad
Tahun aktif : 1960 - sekarang
Ibukota : N'Djamena
Bentuk pemerintahan : republik
Luas wilayah : 1.284.000 km persegi
Mata uang : franc CFA
Bahasa nasional : Perancis, Arab



REFERENSI

BBC News - Profile : Idriss Deby
Country Studies - Arrival of French and Colonial Administration
Country Studies - Civil War and Multilateral Mediation, 1979-82
Country Studies - Decolonization Politics
Country Studies - Fall of the Tombalbaye Government
Country Studies - Malloum's Military Government, 1975-78
Country Studies - Rebellion in Eastern and Northern Chad
Country Studies - Tombalbaye's Governance: Policies and Methods
GlobalSecurity.org - Libyan Intervention in Chad, 1980-Mid-1987
Wikipedia - Chad
Wikipedia - Chadian-Libyan conflict
Wikipedia - Chadian Civil War (2005–10)

 




COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



5 komentar:

  1. Mengapa dalam berbagai perang saudara di negara-negara Afrika selalu ada intervensi negara-negara Afrika lain?
    Baik sebagai pasukan perdamaian seperti AMISOM di Somalia. Ataupun saling dukung-mendukung antarkelompok pemberontak dikedua negara yang bertikai seperti Angola mendukung SWAPO memerdekakan diri dari Afrika Selatan krn Afrika Selatan mendukung pemberontakan UNITA di Angola.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tergantung kasusnya. Tapi secara umum, negara-negara Afrika pada umumnya masih rentan dilanda perang saudara karena rakyatnya masih memiliki sentimen fanatisme golongan & kedaerahan yang tinggi. Lalu karena tingkat kemiskinan & kesenjangan sosial di negara-negara Afrika masih tinggi, jadinya mereka lebih mudah diprovokasi untuk ikut terlibat dalam jalur kekerasan.

      Kalau untuk kasus di mana pemimpin suatu negara mendukung pemberontak di negara lain, biasanya faktor pendorongnya karena sang pemimpin berharap dapat balas jasa dari pemberontak yang didukungnya seandainya kubu pemberontaknya menang & menjadi penguasa negara yang baru. Misalnya hak untuk mengeksploitasi barang tambang di negara tetangganya (macam kasus perang saudara di Sierra Leone & RD Kongo).

      Untuk kasus Afsel, Afsel di era apartheid dikucilkan oleh dunia internasional. Jadinya mereka berusaha sekuat tenaga supaya bisa mendapat sekutu tambahan sebanyak mungkin dengan cara mendukung pihak-pihak apapun di luar negeri yang dianggap bisa dijadikan sekutu baru. Afsel juga cenderung memusuhi kelompok & negara yang menganut ideologi kiri karena paham apartheid Afsel adalah paham berbasis diskriminasi ras, sementara ideologi kiri menonjolkan ide kesetaraan & keadilan sosial.

      Untuk kasus AMISOM di Somalia, mereka menjadi sekutu pemerintah resmi Somalia karena kubu lawannya (Al-Shabaab) hanya mau mengakhiri perang jika dibiarkan menjadi penguasa mutlak Somalia tanpa melalui jalur pemilu & semacamnya. Al-Shabaab juga dicap sebagai kelompok berbahaya yang harus ditumpas karena selain berperang di Somalia, mereka beberapa kali melakukan pembantaian terhadap warga sipil di Kenya.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.