TPLF, Ujung Tombak Komunitas Tigray di Ethiopia



Pasukan TPLF yang sedang mengusung bendera Tigray. (tesfanews.net)

Ethiopia adalah nama dari sebuah negara besar di Afrika Timur yang tidak memiliki wilayah laut. Negara ini merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-2 di Afrika sesudah Nigeria. Banyaknya penduduk yang menghuni Ethiopia turut ditunjang oleh komposisi etnis penduduknya yang amat beragam. Satu dari sekian banyak etnis yang menyusun komposisi kependudukan Ethiopia adalah etnis / suku Tigray.

Ethiopia tidak memiliki etnis mayoritas karena tidak ada etnis di Ethiopia yang jumlah penduduknya mencapai lebih dari 50 persen. Namun jika ditinjau dari segi jumlah, etnis Oromo & Amhara merupakan 2 etnis terbesar di Ethiopia karena populasi keduanya jika dikombinasikan mencapai 60 persen dari total penduduk Ethiopia. Itulah sebabnya bahasa Amhara sekarang menjadi salah satu bahasa nasional Ethiopia. Etnis Tigray / Tigrai di lain pihak hanya berstatus sebagai etnis minoritas karena jumlah populasi mereka hanya sekitar 6 persen.

Meskipun kecil, etnis Tigray memiliki peran yang amat penting dalam perjalanan sejarah Ethiopia selama setengah abad terakhir. Hal tersebut dapat dilihat pada perjalanan sejarah kelompok Tigray People’s Liberation Front (TPLF; Front Pembebasan Rakyat Tigray) yang dibentuk oleh orang-orang Tigray pada tahun 1975. Awalnya didirikan sebagai kelompok bersenjata yang ikut terlibat dalam perang sipil Ethiopia, kelompok ini sejak tahun 90-an bertransformasi menjadi partai politik yang mendominasi sektor pemerintahan Ethiopia.


LATAR BELAKANG & PEMBENTUKAN

Etnis Tigray populasinya terkonsentrasi di Ethiopia bagian utara & Eritrea tengah. Dengan pengecualian untuk Kaisar Yohannes IV yang bertahta pada tahun 1872 hingga 1889, posisi kaisar Ethiopia selalu ditempati oleh orang-orang dari etnis non-Tigray. Dikombinasikan dengan jauhnya lokasi daerah Tigray dari ibukota Addis Ababa di Ethiopia tengah, muncullah pandangan di antara orang-orang Tigray kalau wilayah mereka adalah wilayah yang sedang berada di bawah kekuasaan bangsa asing.

Sejak tahun 1936, wilayah Ethiopia (termasuk Tigray) berhasil ditaklukkan oleh Italia sehingga kaisar Ethiopia, Haile Selassie, terpaksa melarikan diri keluar Ethiopia. Namun menyusul timbulnya Perang Dunia II, cengkeraman Italia atas Ethiopia mulai melemah karena Ethiopia berbatasan dengan koloni-koloni milik Inggris di Afrika, sementara Inggris & Italia berada di kubu yang berseberangan semasa perang berlangsung. Bukan hanya itu, Italia juga masih harus berhadapan dengan milisi-milisi lokal Ethiopia yang menerapkan taktik gerilya.

Peta lokasi Tigray. (bbc.com)

Tahun 1941, pasukan Italia terpaksa mundur dari Ethiopia menyusul serangan gabungan yang dilakukan oleh pasukan Inggris & milisi-milisi Ethiopia. Begitu Selassie kembali berkuasa, ia membagi Ethiopia ke dalam daerah-daerah administrasi baru untuk memperkuat kendali pemerintah pusat atas Ethiopia. Kebijakan baru ini juga dimaksudkan untuk membatasi kemandirian memerintah yang selama ini dimiliki oleh kalangan bangsawan di provinsi-provinsi Ethiopia.

Hal tersebut jelas menuai rasa tidak suka dari golongan bangsawan Tigray yang merasa kalau hak-hak istimewa mereka selama ini tengah diusik. Kalangan petani & penggembala tradisional di Tigray juga menolak kebijakan baru Selassie karena mereka kini diharuskan membayar pajak yang jumlahnya dinilai memberatkan. Padahal selama ini untuk sekedar bertahan hidup saja, mereka harus bersusah payah akibat pola hidup mereka yang bergantung pada curah hujan musiman & seringnya mereka menjadi sasaran pencurian serta perampokan.

Kombinasi dari hal-hal tersebut lantas memuncak menjadi Pemberontakan Woyane / Weyane pada tahun 1943. Karena para pemberontak tidak memiliki persenjataan & pengalaman tempur yang memadai, pemberontakan tersebut dengan cepat berhasil ditumpas oleh pasukan Ethiopia yang dibantu oleh pesawat-pesawat militer Inggris. Usai pemberontakan, pemerintah pusat Ethiopia langsung mengambil kebijakan tangan besi untuk memberikan efek jera kepada penduduk Tigray.

Mereka yang terbukti ikut serta dalam pemberontakan beramai-ramai diasingkan atau ditahan, sementara lahan yang mereka miliki diambil paksa oleh pemerintah. Pajak tanah yang nilainya berkali-kali lipat lebih tinggi dibandingkan pajak di masa penjahahan Italia diberlakukan kepada kaum petani setempat. Akibatnya, rasa benci penduduk Tigray kepada pemerintah pusat Ethiopia semakin membara sehingga mereka terus memendam ambisi untuk kembali memberontak di kemudian hari.

Prajurit EPLF semasa perang kemerdekaan Eritrea. (madote.com)

Tigray bukanlah satu-satunya wilayah Ethiopia yang memberontak. Sejak dekade 1960-an, wilayah Eritrea yang berbatasan langsung dengan Laut Merah di sebelah utara juga dilanda pemberontakan. Pemberontakan itu sendiri dipicu oleh tindakan pemerintah pusat Ethiopia untuk mencabut otonomi milik Eritrea & melarang penggunaan bahasa Tigrinya / Tigray di sekolah-sekolah Eritrea. Ada 2 kelompok pemberontak utama yang aktif di Eritrea, yaitu ELF yang keanggotaannya didominasi oleh Muslim Eritrea & EPLF yang mengusung ideologi komunis.

Pemberontakan di Eritrea berlangsung di saat Perang Dingin tengah berlangsung & paham komunisme tengah gencar-gencarnya menyebar. Karena komunisme menjanjikan keadilan sosial & kesejahteraan bersama bagi para pengikutnya, paham ini pun berhasil menarik simpati rakyat Ethiopia dari berbagai golongan. Rakyat sipil Ethiopia merasa muak akan maraknya praktik monopoli lahan subur oleh segelintir golongan kaya, sementara tentara Ethiopia merasa tidak puas dengan gaji yang mereka terima di saat mereka harus mempertaruhkan nyawa untuk memadamkan pemberontakan di Ethiopia.

Saat gelombang ketidakpuasan terhadap Kaisar Ethiopia kian memuncak, sejumlah tentara Ethiopia yang tergabung dalam lembaga dewan militer / Derg kemudian nekat melakukan kudeta & membubarkan kekaisaran pada tahun 1974. Sebuah republik berhaluan komunis kemudian didirikan di Ethiopia. Kacaunya kondisi di pemerintahan pusat Ethiopia akibat kudeta kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah tokoh Tigray untuk mendirikan organisasi bernama Tigrayan National Organization (TNO; Organisasi Nasional Tigray) di tahun yang sama.

Sebagai antisipasi kalau kelak pemerintah pusat Ethiopia bakal mencoba membubarkan TNO lewat jalur militer, TNO lantas mulai menjalin kontak dengan ELF & EPLF. ELF menolak membantu TNO karena mereka merasa tidak memiliki kesamaan pandangan dengan TNO. Jika ELF memiliki wacana untuk memerdekakan Eritrea, maka TNO tidak memiliki niat untuk memerdekakan daerah Tigray. Sikap berbeda ditunjukkan oleh EPLF yang bersedia menjalin kerja sama dengan TNO. Kebetulan banyak anggota EPLF yang berasal dari etnis Tigray.

Tahun 1975, sejumlah anggota TNO tiba di Asmara (sekarang menjadi ibukota Eritrea) untuk menerima pelatihan militer dari EPLF selama 3 bulan. Saat mereka tengah berlatih, para anggota TNO di Tigray melakukan perekrutan anggota secara besar-besaran sambil menyusun rencana mereka berikutnya. Maka, pada tanggal 18 Februari 1975, TNO mengumumkan berdirinya TPLF sebagai kelompok bersenjata sekaligus penerus TNO. Mereka juga sepakat menjadikan perkampungan Dedebit sebagai markas pertama TPLF.


Peta lokasi Dedebit. (wikipedia.org)


TPLF SEMASA PERANG SAUDARA ETHIOPIA (1975 - 1991)

Kerikil Tajam di Awal Pembentukan

Baik TPLF maupun rezim Derg sama-sama mengusung ideologi komunisme & mendukung kebijakan bagi-bagi lahan untuk kaum miskin (land to the tiller). Namun karena keduanya memiliki cara pandang yang berbeda, konflik di antara keduanya tetap tidak bisa dicegah. Jika TPLF ingin supaya komunitas Tigray mendapatkan kemandirian memerintah yang lebih luas, Derg tetap ingin mempertahankan sistem pemerintahan sentralistik. Simpati rakyat Tigray kepada Derg hanya semakin luruh setelah pada bulan Maret 1975, Derg mengeksekusi tokoh-tokoh Tigray & membuang mayat mereka di jalanan.

Di awal pendiriannya, TPLF tidak bisa langsung melancarkan pemberontakan karena mereka tidak memiliki stok persenjataan & jumlah personil yang cukup. TPLF juga terlibat percekcokan internal karena para anggota TPLF yang berasal dari golongan petani tidak mau diperintah oleh para petinggi TPLF yang umumnya berasal dari golongan pelajar. Namun perbedaan pendapat tersebut pada akhirnya bisa diredam setelah para petinggi TPLF memberikan pilihan kepada para milisi petani untuk pergi secara sukarela, atau tetap berjuang bersama TPLF.

Tanggal 4 September 1975, sepasukan kecil TPLF menyerang bank & kantor polisi di kota Aksum, Ethiopia utara. Setelah membunuh sejumlah polisi yang menjaga masing-masing gedung, pasukan TPLF kemudian merampas stok persenjataan di kantor polisi & mengambil simpanan uang senilai 175.000 birr (sekitar 1,2 milyar rupiah) yang ada di bank.

Berkat keberhasilan misi ini, TPLF mendapatkan tambahan logistik yang mereka perlukan. Bukan hanya itu, karena Aksum memiliki banyak peninggalan sejarah yang terkenal, peristiwa ini membantu meningkatkan pamor TPLF di dalam & luar Ethiopia.

Peta yang menampilkan kota-kota di Tigray, termasuk Aksum. (news.yahoo.com)

Melambungnya pamor TPLF di mata penduduk Tigray bukan semata-mata karena kelompok tersebut berani mengangkat senjata melawan pemerintah Ethiopia. Sebelum TPLF memulai pemberontakannya, wilayah Tigray dipenuhi oleh kawanan begal & perampok (shifta). Para shifta kerap merampas harta benda milik warga lokal & bahkan tidak segan-segan membunuh serta membakar rumah milik korban jika keinginan mereka tidak dituruti.

Namun sejak TPLF mulai aktif, para shifta kini diburu secara besar-besaran. Mereka yang melawan saat hendak ditangkap oleh TPLF bakal dibunuh di tempat, sementara mereka yang tertangkap hidup-hidup bakal diarak di hadapan orang banyak sebelum kemudian diadili & dijatuhi hukuman sesuai tingkat kejahatannya. Jika shifta tersebut hanya melakukan kejahatan ringan, TPLF akan membebaskan orang tersebut selama ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

TPLF juga menerapkan tingkat disiplin yang ketat kepada para anggotanya supaya mereka tidak terdorong untuk melakukan aksi premanisme layaknya shifta. Jika ada anggota TPLF yang ketahuan melakukan tindakan terlarang semisal pemerkosaan, orang tersebut bakal dijatuhi hukuman mati. Para anggota TPLF juga tidak diperbolehkan pergi meninggalkan kelompoknya tanpa diawasi oleh annggota TPLF yang lain.

Berkat standar disiplin ketat yang diterapkan oleh TPLF, semakin banyak penduduk Tigray yang menaruh simpati pada mereka. Setiap kali TPLF singgah di suatu desa, warga setempat bakal bergabung menjadi anggota baru TPLF, atau sekedar menyumbangkan hasil bumi yang mereka miliki kepada TPLF secara sukarela. Meskipun begitu, TPLF juga bisa menggunakan metode paksaan jika mereka kebetulan singgah di desa yang kaum petaninya hidup berkecukupan, namun petani tersebut enggan memberikan sumbangan kepada TPLF.


Pasukan milisi TPLF. (tigraionline.com)


Konflik Melawan Sesama Pemberontak

TPLF bukanlah satu-satunya kelompok bersenjata yang aktif di Tigray. Selain mereka, ada pula kelompok-kelompok lain seperti Tigray Liberation Front (TLF; Front Pembebasan Tigray), Ethiopian People’s Revolutionary Party (EPRP; Partai Revolusioner Rakyat Ethiopia), serta Ethiopian Democratic Union (EDU; Serikat Demokrasi Ethiopia) atau dikenal juga sebagai "Teranafit" (Koordinator).

Karena baik TPLF maupun TLF sama-sama memusuhi pemerintah pusat Ethiopia, TPLF kemudian menjalin kontak dengan TLF dengan harapan keduanya bisa bekerja sama & menyatukan kekuatan. Pada bulan November 1975, perwakilan TPLF & TLF melakukan pertemuan di Zegebla, dekat perbatasan Eritrea. Saat itulah, baru diketahui kalau TLF ternyata sedang terpecah ke dalam 3 faksi berbeda : faksi pimpinan Yohannes Tekle-Haimanot, faksi pimpinan Kahsay Dori, & faksi pimpinan Dejen Tessema. Faksi TLF yang menemui TPLF adalah faksi pimpinan Yohannes.

Belakangan diketahui kalau perpecahan tersebut timbul karena Yohannes & para pendukungnya membunuh belasan anggota TLF yang tidak sejalan dengan mereka. Supaya bisa menyatukan kembali faksi-faksi TLF tanpa harus terlibat kontak senjata berlebihan, TPLF berpura-pura setuju untuk menjalin aliansi dengan TLF. Saat malam tiba & orang-orang sedang tertidur lelap, para personil TPLF secara diam-diam mengambil persenjataan milik personil TLF.

Setelah menginterogasi para anggota TLF yang kini tidak bersenjata, TPLF menyimpulkan kalau Yohannes & orang-orang dekatnya adalah penyebab terpecahnya TLF. Maka, TPLF pun kemudian menghukum mati Yohannes & membebaskan para anggota TLF yang lain. Banyak dari mereka yang kemudian memutuskan untuk bergabung dengan TPLF, sehingga TPLF pun sesudah itu mengalami peningkatan kekuatan.

Memasuki bulan Juni 1976, TPLF terlibat konflik dengan EDU / Teranafit setelah kelompok tersebut membunuh anggota senior TPLF yang bernama Gessesew Ayele / Sihul. Sebelum Sihul tewas, TPLF memang memiliki hubungan yang kurang akur dengan EDU akibat masalah perbedaan ideologi. Jika TPLF mengusung aliran komunisme, maka EDU cenderung beraliran konservatif & mendukung pendirian kembali sistem kekaisaran. EDU juga mendapat dukungan dari negara-negara Arab serta Blok Barat.

Peta daerah kekuasaan kelompok-kelompok pemberontak semasa perang sipil Ethiopia. Panah merah menunjukkan rute pasukan TPLF saat menuju ibukota Ethiopia. (Leviavery / wikipedia.org)

Pasukan EDU lebih unggul dalam hal persenjataan karena mendapat pasokan senjata dari Sudan, namun TPLF lebih unggul dalam hal keterampilan & taktik perang gerilya. Hasilnya, pada bulan Desember 1976 pasukan TPLF berhasil mengalahkan pasukan EDU & menyita stok senapan mesin semi otomatis milik EDU. Namun EDU masih jauh dari kata tamat karena kelompok tersebut kini giat melakukan perekrutan anggota baru di Sudan, negara tetangga Ethiopia di sebelah barat & banyak dihuni oleh pengungsi asal Ethiopia.

Tahun 1977, pasukan EDU yang kini berkekuatan lebih dari 10.000 personil & turut diperkuat oleh senapan peluncur roket kembali terlibat konflik melawan pasukan TPLF di Adi Nebriid, Tigray utara. Kalah jauh dalam hal jumlah prajurit & persenjataan, TPLF terpaksa mundur setelah kehilangan 1/3 dari total jumlah personilnya. Beruntung bagi TPLF, EDU tidak bisa mengkonsentrasikan pasukannya untuk menghabisi sisa-sisa personil TPLF karena mereka juga terlibat konflik dengan pasukan pemerintah Ethiopia di Tigray barat.

TPLF sesudah itu membangun kembali kekuatannya secara perlahan sambil melancarkan serangan-serangan sporadis ke konvoi & markas pasukan EDU. Mereka juga mulai merekrut para pengungsi Ethiopia yang tengah bermukim di Sudan. Pasukan EDU di lain pihak tidak bisa berbuat banyak karena meskipun mereka dilengkapi dengan aneka macam persenjataan modern, mereka tidak memiliki komandan perang yang kharismatik & para personilnya tidak memiliki pengalaman tempur yang memadai. Akibatnya, pada bulan November 1979 pasukan EDU terpaksa mundur keluar Tigray.

Rival lain yang harus dihadapi oleh TPLF di Tigray adalah kelompok EPRP yang juga berhaluan komunis. Seperti halnya Derg, EPRP ingin menerapkan sistem pemerintahan seragam di seantero Ethiopia sambil membungkam sentimen kedaerahan. Namun EPRP tetap memusuhi Derg karena tokoh-tokoh EPRP berasal dari golongan sipil, sementara Derg berasal dari golongan militer.

Simpatisan EPRP saat melakukan parade. (jacobinmag.com)

Perwakilan TPLF & EPRP sebenarnya sempat beberapa kali melakukan pertemuan untuk menjajaki kemungkinan kerja sama. Namun karena EPRP ngotot ingin memaksa TPLF beroperasi sebagai kelompok bawahan EPRP, pertemuan antara keduanya berakhir tanpa hasil. Puncaknya adalah ketika pada bulan Februari 1978, pasukan EPRP menyerang klinik yang dikelola oleh TPLF di Agame, Tigray utara.

Dengan memanfaatkan bentang alam Tigray utara yang penuh dengan medan sulit, pasukan TPLF berhasil mengalahkan pasukan EPRP dalam serangkaian pertempuran. Akibatnya, banyak personil EPRP yang memilih untuk mengungsi ke Sudan daripada harus terus mengangkat senjata. EPRP memang belum sepenuhnya musnah. Namun kekuatan mereka kini sudah jauh melemah sehingga mereka tidak lagi dianggap sebagai ancaman oleh pihak TPLF sejak tahun 1979.


Menghadang Raksasa dari Addis Ababa

Setelah berhasil memantapkan kedudukannya di Tigray, kini TPLF harus mencari cara untuk mengalahkan Derg, rezim junta militer yang kini tengah memerintah Ethiopia dari ibukota Addis Ababa. Karena TPLF bukanlah satu-satunya kelompok bersenjata yang melakukan pemberontakan di Ethiopia, rezim Derg tidak bisa mengkonsentrasikan seluruh kekuatannya untuk menggempur pasukan TPLF.

Namun hal tersebut tidak lantas membuat perjuangan TPLF menjadi jauh lebih ringan. Pasalnya supaya bisa menghadapi banyak musuh sekaligus, militer Ethiopia diperkuat oleh ratusan ribu tentara. Pemerintah Ethiopia juga giat melakukan wajib militer kepada warga sipil supaya mereka selalu memiliki jumlah tentara yang cukup. Dan sebagai sekutu dekat Uni Soviet, pasukan Ethiopia dilengkapi dengan aneka macam alutsista buatan negara-negara Blok Timur seperti pesawat MiG, tank, meriam artileri, & sebagainya.

Pemerintah Ethiopia pada awalnya mengira kalau TPLF bisa dikalahkan hanya dengan menerjunkan tentara dalam jumlah banyak. Maka, pada bulan Mei 1976 pemerintah Ethiopia mengirim pasukan berkekuatan 100.000 personil ke wilayah Tigray. Walaupun jumlah mereka begitu banyak, mereka aslinya hanyalah kalangan petani yang tidak menerima latihan militer memadai. Mereka juga tidak dilengkapi dengan pasokan logistik yang cukup & hanya dipersenjatai dengan senapan yang sudah ketinggalan zaman.

Untuk melemahkan moral pasukan Ethiopia, TPLF secara diam-diam mengirimkan sejumlah personilnya ke desa-desa yang bakal dilewati oleh pasukan Ethiopia. Di sana, mereka menyebar kabar kalau mereka sedang diperdaya oleh pemerintah & TPLF bakal membantai mereka semua jika mereka tetap melanjutkan perjalanan. Akibatnya, banyak milisi Ethiopia yang ketakutan & kabur sebelum sempat berperang. Saat pasukan Ethiopia akhirnya tiba di medan perang, mereka menderita kekalahan telak & harus kehilangan 25.000 prajuritnya.

Bangkai tank Ethiopia di Eritrea. (Homo Cosmicos / atlasobscura.com)

Pasca kegagalan tersebut, pasukan Ethiopia berulang kali melakukan serangan ke wilayah Tigray & Eritrea sejak tahun 1978. Hasilnya, pasukan Ethiopia berhasil membuka akses jalan yang menghubungkan Addis Ababa dengan Asmara (Eritrea). Rentetan serangan yang dilakukan oleh pasukan Ethiopia juga berhasil melemahkan kekuatan ELF sehingga pada tahun 1980, sisa-sisa prajurit ELF terpaksa melarikan diri ke Sudan.

Meskipun berhasil menyingkirkan ELF dari Eritrea, pasukan Ethiopia belum berhasil mengalahkan EPLF & TPLF. Jika TPLF sukses bertahan dengan cara bersembunyi di kawasan pelosok sambil melakukan serangan-serangan sporadis, maka EPLF berhasil menahan laju pasukan Ethiopia berkat parit-parit pertahanan yang sudah mereka bangun di Sahil, Eritrea utara.

Sementara itu di wilayah lain Ethiopia, kombinasi dari minimnya curah hujan & menurunnya jumlah hasil panen menyebabkan Ethiopia dilanda bencana kelaparan pada tahun 1983. Alih-alih mencoba membantu para korban bencana tanpa pandang bulu, pemerintah Ethiopia secara sengaja membiarkan mereka yang tinggal di wilayah kekuasaan TPLF menderita kelaparan hingga tewas. Pemerintah Ethiopia berharap, jika penduduk di wilayah kekuasaan TPLF sudah bertumbangan akibat kelaparan, TPLF tidak bisa lagi memanfaatkan mereka sebagai sumber logistiknya.

Pemerintah Ethiopia juga memaksa penduduk di daerah konflik untuk pindah ke lokasi-lokasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Tujuannya sama, untuk menjauhkan TPLF dari sumber logistik utamanya selama ini. Namun karena relokasi tersebut dilakukan tanpa persiapan yang memadai, banyak warga sipil yang meninggal di tengah perjalanan akibat penyakit & kelelahan. Jumlah total orang yang meninggal akibat bencana kelaparan di Ethiopia pada dekade 1980-an diperkirakan mencapai lebih dari 1 juta jiwa.


Warga sipil Ethiopia semasa berlangsungnya bencana kelaparan. (bt.com)


Terbentuknya EPRDF & Berakhirnya Perang Saudara

Sebagai tanggapan atas kian memburuknya kondisi Tigray akibat operasi militer pasukan Ethiopia & bencana kelaparan, sejumlah anggota TPLF mendirikan organisasi politik bernama Marxist-Leninist League of Tigrai (MLLT; Liga Marxis-Leninis Tigray) pada bulan Juli 1985. Salah satu dampak terpenting dari terbentuknya MLLT adalah TPLF kini semakin giat menjalin kontak dengan kelompok-kelompok pemberontak lain yang beroperasi di luar Tigray & Eritrea.

Tahun 1988, TPLF bersama 3 kelompok pemberontak Ethiopia lainnya sepakat untuk membentuk organisasi koalisi yang bernama Ethiopian People's Revolutionary Democratic Front (EPRDF; Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia). Selain TPLF, kelompok-kelompok lain yang menyusun komposisi EPRDF adalah OPDO yang berasal dari daerah Oromo / Oromia, ADP yang berasal dari daerah Amhara, serta SEPDM yang berasal dari Ethiopia selatan. Pendirian EPRDF dimaksudkan sebagai cara bagi kelompok-kelompok penyusunnya untuk bekerja sama menggulingkan rezim Derg

Kondisi rezim Derg sendiri pada waktu itu memang tengah melemah karena Uni Soviet tidak mau lagi mengirimkan bantuan uang & militer kepada Ethiopia. Kemudian pada tahun 1989, sejumlah tentara Ethiopia sempat melakukan percobaan kudeta, namun gagal. Jumlah tentara Ethiopia pada tahun 1990 sudah mencapai setengah juta personil. Namun rendahnya semangat juang mereka menyebabkan semakin banyak wilayah Ethiopia yang berhasil dikuasai oleh kelompok pemberontak.

Di Tigray misalnya, kelompok TPLF kini sudah berhasil menguasai seluruh wilayah Tigray. Di Eritrea, kelompok EPLF kini menguasai hampir seluruh wilayah Eritrea (kecuali kota-kota besar semisal Asmara). Fenomena tersebut membuat TPLF beserta kelompok-kelompok sekutunya merasa semakin bersemangat, sehingga mereka kini berjarak semakin dekat dengan ibukota Addis Ababa.

Tanggal 21 Mei 1991, Mengistu Haile Mariam selaku presiden Ethiopia melarikan diri ke Zimbabwe. Kurang dari seminggu kemudian atau tepatnya pada tanggal 28 Mei, pasukan EPRDF akhirnya berhasil mencapai ibukota Addis Ababa. Di hari yang sama, pasukan EPLF juga berhasil menguasai kota Asmara. Rentetan peristiwa sekaligus menandai berakhirnya perang saudara Ethiopia dengan kemenangan TPLF & sekutu-sekutunya.


Pasukan EPRDF saat memasuki Addis Ababa. (tesfatours.com)


TPLF & EPRDF SEBAGAI PENGUASA ETHIOPIA (1991 - 2019)

Membangun Ulang Ethiopia

Pasca tumbangnya rezim Derg, EPRDF kemudian mendirikan badan pemerintahan transisi Ethiopia & mengubah Ethiopia menjadi negara federasi dengan otonomi daerah yang luas. Provinsi-provinsi Ethiopia kini dibentuk berdasarkan komposisi etnis mayoritas di masing-masing daerah. Berakhirnya perang sipil Ethiopia juga diikuti dengan kembalinya para pengungsi Ethiopia yang selama ini tinggal di Sudan. Antara tahun 1991 hingga 1998, sebanyak hampir 1 juta pengungsi dikabarkan sudah kembali ke Ethiopia.

Karena TPLF giat menjalin kerja sama dengan EPLF sejak awal perang sipil Ethiopia, TPLF awalnya memiliki hubungan dekat dengan EPLF. Namun relasi hangat antara keduanya berubah menjadi ketegangan setelah pada tahun 1993, EPLF menggelar referendum kemerdekaan di Eritrea meskipun ditentang oleh Ethiopia. Seusai referendum, Eritrea memerdekakan diri dari Ethiopia sehingga Ethiopia sejak itu tidak lagi memiliki wilayah laut.

Tahun 1995, Ethiopia menggelar pemilu multipartai. TPLF ikut serta dalam pemilu tersebut sebagai bagian dari EPRDF yang kini beroperasi sebagai partai politik legal. Berkat status EPRDF sebagai kelompok yang berjasa menggulingkan rezim diktator Derg, EPRDF pun berhasil keluar sebagai pemenang pemilu. Meles Zenawi yang berasal dari etnis Tigray & organisasi TPLF terpilih menjadi perdana menteri Ethiopia.

Tedros Adhanom, tokoh jebolan TPLF yang sekarang menjadi Dirjen WHO. (ymca.int)

Pasca terpilihnya Zenawi menjadi PM baru Ethiopia, semakin banyak orang-orang etnis Tigray yang menempati posisi penting di lembaga-lembaga Ethiopia. Tedros Adhanom Ghebreyesus contohnya. Ia sempat menjabat sebagai Menteri Kesehatan Ethiopia selama 7 tahun & sebagai Menteri Luar Negeri Ethiopia selama 4 tahun. Saat reputasi Tedros di dalam & luar Ethiopia kian menanjak, ia kemudian ditunjuk menjadi Direktur Jenderal lembaga kesehatan dunia WHO sejak tahun 2017.

Berubahnya Ethiopia menjadi negara yang lebih demokratis tidak lantas membuat Ethiopia benar-benar terbebas dari konflik bersenjata. Di Ethiopia timur, terjadi pemberontakan oleh kelompok Ogaden National Liberation Front (ONLF; Front Pembebasan Nasional Ogaden) yang beranggotakan etnis Somali setempat. Di Ethiopia tengah & selatan, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pemberontak Oromo, salah satunya Oromo Liberation Front (OLF; Front Pembebasan Oromo).

Di Ethiopia timur laut yang banyak dihuni oleh etnis Muslim Afar, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Afar Revolutionary Democratic Unity Front (ARDUF; Front Persatuan Demokratik Revolusioner Afar). Karena daerah operasi ARDUF berbatasan dengan Eritrea di sebelah utara, pasukan Ethiopia sempat beberapa kali menerobos masuk ke wilayah Eritrea untuk mengejar milisi-milisi ARDUF. Hal tersebut jelas tidak disukai oleh pemerintah Eritrea yang merasa kalau kedaulatannya sudah dilanggar.


Peta lokasi Badme, daerah sumber sengketa Eritrea & Ethiopia. (issafrica.org)


Berperang Melawan Kawan Lama

Ethiopia kebetulan juga memiliki masalah sengketa perbatasan dengan Eritrea, di mana wilayah-wilayah yang dipersengketakan berada di wilayah Tigray (versi klaim Ethiopia). Saat kedua negara sama-sama tidak mau mengalah, ketegangan antara keduanya akhirnya memuncak menjadi perang pada tahun 1998. Tahun 2000, perang berakhir di saat pasukan Ethiopia sedang menduduki kota Badme. Untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah, kedua negara setuju untuk meminta bantuan kepada komisi PBB.

Pada tahun 2001, komisi PBB menyatakan kalau Badme adalah wilayah sah milik Eritrea & pasukan Ethiopia harus ditarik mundur dari sana. Namun pemerintah Ethiopia menolak mematuhi keputusan tersebut sehingga Badme pun tetap diduduki oleh pasukan Ethiopia. Baik Ethiopia maupun Eritrea juga terus menyiagakan ribuan pasukannya di perbatasan kedua negara, sehingga kedua negara sesudah itu sempat beberapa kali terlibat konflik perbatasan.

TPLF semasa perang saudara mengusung ideologi komunisme. Namun setelah berhasil memenangkan perang saudara sebagai bagian dari kelompok EPRDF, TPLF menanggalkan ideologi komunismenya. Dampaknya, sejak EPRDF berkuasa, lahan-lahan pertanian & industri semakin banyak yang dikelola oleh pihak swasta.

Hubungan dagang dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, & negara-negara Eropa dilakukan. Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF & World Bank bahkan menobatkan Ethiopia sebagai salah satu negara dengan laju pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Logo TPLF & EPRDF. (haphtom / twitter.com)

Namun Ethiopia di masa pemerintahan EPRDF bukanlah negara yang sama sekali tidak memiliki masalah. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Ethiopia tidak dinikmati oleh semua golongan sehingga timbullah kesenjangan sosial di mana-mana.

Sektor pertanian selaku sektor ekonomi andalan Ethiopia juga amat bergantung pada ketersediaan curah hujan & harga komoditas di pasaran internasional. Kemudian meskipun rakyat & media Ethiopia sekarang memiliki kebebasan berpendapat yang lebih luas, mereka tetap rentan menjadi sasaran penangkapan & intimidasi jika berani mengkritik pemerintah.

Sistem federasi berbasis etnis yang dijalankan oleh rezim EPRDF juga memunculkan dampak negatif berupa menguatnya sentimen fanatisme etnis di Ethiopia. Hal tersebut paling terlihat pada Provinsi Oromia & Somali, 2 provinsi terbesar yang menyusun wilayah Ethiopia.

Pada tahun 2004 misalnya, sebanyak puluhan ribu etnis Somali terpaksa mengungsi meninggalkan Oromia akibat masalah sengketa wilayah antar provinsi. Kemudian sejak akhir tahun 2016, timbul konflik di perbatasan Oromia & Somali yang menewaskan ratusan orang akibat masalah perebutan lahan subur.



TPLF SEBAGAI KUBU OPOSISI ETHIOPIA (SEJAK 2019)

Tahun 2018, Abiy Ahmed yang berasal dari etnis Oromo terpilih menjadi ketua EPRDF sekaligus Perdana Menteri Ethiopia. Untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang selama ini menjangkiti Ethiopia, Abiy merasa bahwa sudah waktunya Ethiopia menanggalkan sistem federal & kembali menerapkan sistem pemerintahan yang lebih sentralistik tanpa mengabaikan komposisi kependudukan Ethiopia yang beragam. Ide Abiy ini kemudian dikenal dengan nama "medemer".

Wacana Abiy tersebut ganti menuai rasa tidak suka dari TPLF yang khawatir kalau diberlakukannya kembali sistem pemerintahan sentralistik bakal membuat etnis Tigray terpinggirkan. Pasalnya jumlah populasi etnis Tigray tidak sampai 10 persen dari total penduduk Ethiopia. TPLF juga merasa tidak suka dengan tindakan Abiy yang menyerahkan kembali wilayah Badme kepada Eritrea pada tahun 2018 untuk memperbaiki hubungan bilateral antara Ethiopia dengan Eritrea.

Abiy Ahmed (kiri) saat bersama presiden Eritrea, Isaias Afwerki. (Tiksa Negeri / nbcnews.com)

Tahun 2019, Abiy membubarkan EPRDF & mendirikan partai baru yang bernama Prosperity Party (Partai Kemakmuran). Ia kemudian meminta supaya partai-partai yang tadinya menyusun EPRDF segera bergabung ke dalam Prosperity. Namun TPLF yang sudah terlanjur tidak menyukai rezim Abiy menolak permintaan tersebut, sehingga TPLF sejak itu menjelma menjadi partai oposisi di parlemen nasional Ethiopia.

Meskipun TPLF tidak lagi menjadi bagian dari pemerintahan berkuasa Ethiopia, tokoh-tokoh etnis Tigray masih memegang peranan penting di Ethiopia. Di sektor militer contohnya, pasukan komando Ethiopia yang bernama Agazi semua anggotanya berasal dari etnis Tigray.

Kemudian sebagai dampak dari perang antara Ethiopia & Eritrea yang pernah terjadi di masa lampau, masih banyak stok persenjataan yang ditempatkan di wilayah Tigray. Di sektor ekonomi, TPLF mengoperasikan perusahaan gabungan bernama EFFORT yang mendominasi bidang perbankan, transportasi, konstruksi, pertambangan, & sektor-sektor lain di Ethiopia.

Tahun 2020, pemerintah pusat Ethiopia melarang pelaksanaan pemilu-pemilu daerah yang harusnya digelar pada tahun tersebut demi mencegah penyebaran wabah COVID-19. Namun TPLF selaku penguasa daerah Tigray menolak mematuhi perintah tersebut & tetap menggelar pemilu daerah secara sepihak pada bulan September 2020. Pemilu tersebut berhasil dimenangkan oleh TPLF, namun pemerintah Ethiopia menolak mengakui hasil pemilu.

Saat hubungan antara pemerintah Ethiopia dengan TPLF semakin memanas, beredar kabar kalau warga sipil di wilayah Tigray menjadi korban pembantaian massal oleh milisi-milisi TPLF. Menanggapi hal tersebut, pasukan Ethiopia yang diperkuat dengan tank & pesawat kemudian dikirim ke wilayah Tigray pada awal November. Setibanya mereka di sana, mereka langsung terlibat pertempuran sengit melawan pasukan TPLF.

Pasukan Ethiopia. (theguardian.com)

Pasukan Eritrea turut melibatkan diri dalam konflik ini dengan cara menembakkan meriam-meriam artilerinya ke wilayah Tigray. Eritrea sendiri diperkirakan bersedia membantu Ethiopia karena sejak Abiy menjadi PM Ethiopia, Ethiopia tidak lagi menganggap Eritrea sebagai musuh. Perkembangan situasi tersebut lantas ditanggapi oleh pihak TPLF dengan cara menembakkan roket ke Asmara, ibukota Eritrea.

Hingga pertengahan November 2020, wilayah Tigray masih menjadi medan perang yang sengit antara pasukan TPLF melawan pasukan Ethiopia & sekutunya. Memburuknya kondisi keamanan di Tigray lantas memaksa lebih dari 30.000 warga sipil Tigray mengungsi ke wilayah Sudan. Mengenai apakah TPLF bakal lenyap sesudah konflik ini, atau justru mereka bakal berhasil menjungkalkan militer Ethiopia seperti di masa perang saudara, hanya waktu yang dapat menjawabnya.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



BIODATA

Nama resmi : Tigray People’s Liberation Front
Tahun aktif : 1975 - sekarang
Area operasi : Ethiopia
Ideologi : fanatisme Tigray, etnofederalisme, komunisme (hingga dekade 1980-an)



REFERENSI

Addis Standard. 2017. "Analysis: Inside the controversial EFFORT".
(addisstandard.com/analysis-inside-controversial-effort/)

Al Jazeera. 2020. "Ethiopia: Tigray leader confirms bombing Eritrean capital".
(www.aljazeera.com/news/2020/11/15/rockets-fired-from-ethiopias-tigray-region-hit-eritrean-capital)

Al Jazeera. 2020. "Governing party in Ethiopia’s Tigray sweeps regional polls".
(www.aljazeera.com/news/2020/9/11/governing-party-in-ethiopias-tigray-sweeps-regional-polls)

Al Jazeera. 2020. "Sudan braces for up to 200,000 fleeing Ethiopia fighting".
(www.aljazeera.com/news/2020/11/11/sudan-braces-for-up-to-200000-fleeing-ethiopia-fighting)

BBC. 2017. "What is behind clashes in Ethiopia's Oromia and Somali regions?".
(www.bbc.com/news/world-africa-41278618)

BBC. 2019. "Ethiopia's Abiy Ahmed: Inside the mind of this year's Nobel Peace Prize winner".
(www.bbc.com/news/world-africa-50690548)

BBC. 2020. "Ethiopia Tigray crisis: UN warns 'war crimes' may have happened".
(www.bbc.com/news/world-africa-54929100)

Berhe, A.. 2008. "A Political History of the Tigray People’s Liberation Front (1975-1991): Revolt, Ideology and Mobilisation in Ethiopia".
(www.harep.org/Africa/7219.pdf)

Butterly, A.. 2015. "Thirty years of talking about famine in Ethiopia - why's nothing changed?".
(www.bbc.com/news/newsbeat-34776109)

Foulkes, I.. 2020. "Tedros Adhanom Ghebreyesus: The Ethiopian at the heart of the coronavirus fight".
(www.bbc.com/news/world-africa-51720184)

G.C. Last & J. Markakis. 2008". Eritrea. Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

Jeffrey, J.. 2019. "Press freedom under siege again in the new Ethiopia".
(www.dw.com/en/press-freedom-under-siege-again-in-the-new-ethiopia/a-51276791)

Kisika, S.. 2019. "Yes, Ethiopia ‘the fastest growing economy globally’ - but it’s all in the details".
(africacheck.org/fact-checks/reports/yes-ethiopia-fastest-growing-economy-globally-its-all-details)

Marcus, H.G.. 2008. "Ethiopia". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

N. Manek & M.K. Omer. 2018. "Ethiopia and Eritrea Have a Common Enemy".
(foreignpolicy.com/2018/07/12/ethiopia-and-eritrea-have-a-common-enemy-abiy-ahmed-isaias-afwerki-badme-peace-tplf-eprdf/)

Refworld. 2004. "Chronology for Amhara in Ethiopia".
(www.refworld.org/docid/469f3887a.html)

Wikipedia. "Woyane rebellion".
(en.wikipedia.org/w/index.php?title=Woyane_rebellion&oldid=980694858)
  






COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



3 komentar:

  1. Mengenai pihak terlibat dalam perang saudara memang rumit karena saking banyaknya pihak yang terlibat apalagi komunis vs komunis yang ternyata TPLF dapat dukungan dari China sehingga mirip perang Kamboja vs Vietnam sebagai proxy war China vs Soviet

    BalasHapus
  2. Kalo boleh usul tambahin ulasan untuk biografi tokoh gitu min biar blognya tambah rame

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya pernah beberapa kali menulis artikel biografi (contohnya Benito Mussolini), tapi jumlahnya memang nggak banyak. Kapan-kapan saya akan coba lebih sering menulis soal biografi kalau ada tokoh yang menurut saya menarik untuk dibahas.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.