Perang Sipil El Salvador, Petaka di "Negeri Juru Selamat"



Monumen untuk mengenang para korban pembantaian di El Mozote, El Salvador. (miseancara.ie)

El Salvador adalah nama dari sebuah negara kecil di Amerika Tengah yang berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah selatan. Nama "El Salvador" pada negara ini berasal dari bahasa Spanyol yang berarti "Juru Selamat". Sayang, perjalanan sejarah negara ini tidaklah seagung namanya. Pasalnya negara ini pernah dikoyak oleh perang sipil yang merenggut nyawa ribuan orang.

Perang sipil El Salvador adalah perang saudara yang terjadi di El Salvador dari tahun 1981 hingga 1992. Perang ini membenturkan pasukan pemerintah El Salvador melawan kelompok pemberontak FMLN. Saat perang sipil El Salvador masih berlangsung, perang ini dipandang sebagai salah satu perang paling brutal pada masanya akibat banyaknya warga sipil yang menjadi korban kekerasan & pembunuhan tanpa pandang bulu.

Perang sipil El Salvador juga terkenal karena dalam perang ini, kedua belah pihak sama-sama merekrut anak-anak untuk dijadikan tentara. Mereka umumnya direkrut untuk menjalankan tugas-tugas seperti menyampaikan pesan, mengintai pergerakan musuh, hingga ikut bertempur di garis depan.

Menurut survei yang dilakukan oleh UNICEF (lembaga PBB yang menangani masalah kesejahteraan anak-anak), sebanyak lebih dari 90 persen anggota anak-anak FMLN bergabung ke dalam kelompok tersebut karena mereka melakukannya secara sukarela. Di lain pihak, dari sekian banyak anak-anak yang tergabung dalam militer El Salvador, sebanyak lebih dari 50 persen mengaku terpaksa bergabung karena mereka diculik oleh pasukan pemerintah.

Perang sipil El Salvador sekaligus menjadi contoh mengenai konflik bersenjata yang terjadi akibat perbedaan ideologi dalam Perang Dingin. Jika pemerintah El Salvador mendapat bantuan dari Amerika Serikat, maka kelompok FMLN menerima bantuan dari negara-negara komunis seperti Uni Soviet, Kuba, & Nikaragua.


Peta lokasi El Salvador.


LATAR BELAKANG

Sejak abad ke-19, kopi menjadi komoditas ekspor utama negara El Salvador. Walaupun kopi menyumbang pemasukan yang besar bagi El Salvador, kopi juga membawa dampak negatif bagi negara tersebut. Supaya bisa memiliki cukup lahan untuk menanam kopi, banyak petani kecil & warga dari golongan ekonomi bawah yang dipaksa membiarkan lahannya dikuasai oleh para pebisnis kopi.

Para pebisnis kopi tersebut pada gilirannya menjalin hubungan dekat dengan golongan elit politik, militer, & pedagang kaya. Sebagai akibatnya, rakyat El Salvador pun kini terbagi ke dalam 2 golongan utama : golongan kaya yang terdiri dari para pebisnis kopi & kroni-kroninya, serta golongan miskin yang jumlahnya jauh lebih banyak namun harus hidup dalam kondisi serba terbatas.

Memasuki dekade 1930-an, timbul krisis ekonomi global Great Depression (Depresi Besar) yang dampaknya turut dirasakan di El Salvador. Krisis tersebut menyebabkan anjloknya harga kopi dunia sehingga banyak pekerja di sektor kopi yang menerima pemotongan gaji. Masalah makin runyam karena krisis ekonomi juga menyebabkan naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok di El Salvador.

Kombinasi dari hal-hal tadi menyebabkan rakyat El Salvador di kawasan pedesaan beramai-ramai melakukan pemberontakan pada tahun 1932. Namun akibat buruknya komunikasi antar milisi pemberontak, pasukan pemerintah El Salvador berhasil menumpas pemberontakan tersebut dengan cepat.

Milisi pemberontak El Salvador di tahun 1932. (imdb.com)

Sesudah berhasil menggagalkan pemberontakan, militer El Salvador kemudian melakukan pembunuhan massal kepada mereka yang dituding terlibat dalam pemberontakan ini. Sebanyak lebih dari 15.000 rakyat El Salvador dikabarkan tewas akibat dibunuh oleh pasukan pemerintah. Di kemudian hari, peristiwa pembantaian ini lantas dikenal dengan sebutan "La Matanza" (Pembantaian).
 
Para korban pembantaian dalam peristiwa La Matanza umumnya merupakan penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan & berasal dari suku pribumi Indian. Sebagai akibatnya, mereka pun kini memandang pemerintah & golongan kaya El Salvador dengan penuh rasa benci. Sentimen negatif tersebut terus mengakar hingga puluhan tahun kemudian & kelak bakal menjadi sumbu yang memicu pecahnya perang saudara.

Karena pemerintah El Salvador dianggap tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan & kesenjangan sosial yang menjangkiti El Salvador, sejumlah warga El Salvador lantas memutuskan untuk bermigrasi ke Honduras, negara tetangga El Salvador di sebelah utara yang wilayahnya lebih luas dibandingkan El Salvador. Per tahun 1969, jumlah para imigran El Salvador di Honduras dikabarkan sudah mencapai lebih dari 300.000 jiwa.

Akibat begitu banyaknya imigran El Salvador yang tinggal di Honduras, ketegangan pun mulai timbul antara imigran El Salvador dengan penduduk & pemerintah Honduras. Saat hubungan antara kedua belah pihak semakin memanas, militer kedua negara akhirnya ikut terlibat. Akibatnya, meletuslah perang antara militer El Salvador & Honduras pada bulan Juli 1969.

Pada tahun 1969, El Salvador & Honduras terlibat perang. (bbc.com)

Perang tersebut juga dikenal dengan sebutan "Perang Sepak Bola" (Football War) karena menjelang timbulnya perang, terjadi kerusuhan besar saat timnas masing-masing negara saling bertanding dalam babak kualifikasi Piala Dunia 1970. Kendati Perang Sepak Bola hanya berlangsung selama kurang dari seminggu, perang ini menyebabkan ratusan ribu imigran El Salvador di Honduras terpaksa mengungsi ke negara asalnya.

Kembalinya mereka ke El Salvador semakin memperparah masalah sosial di El Salvador karena tanpa kedatangan mereka saja, El Salvador sudah memiliki masalah kronis terkait kemiskinan & kesenjangan sosial. Dalam situasi itulah, sejumlah rakyat El Salvador mulai melirik paham sayap kiri / komunisme sebagai solusi atas permasalahan mereka. Pasalnya komunisme menjanjikan keadilan sosial & kesejahteraan bersama bagi para pengikutnya.



EL SALVADOR MENJELANG PERANG SAUDARA

Memasuki akhir dekade 1970-an, sudah ada beberapa kelompok komunis yang terbentuk di El Salvador. Hal tersebut ganti menuai rasa tidak suka dari pemerintah El Salvador, golongan militer, & golongan konglomerat. Mereka khawatir bakal kehilangan posisi nyamannya selama ini jika kubu komunis sampai berkuasa. Sebagai akibatnya, masyarakat El Salvador pun kini berada dalam kondisi terpecah. Aksi saling culik & saling bunuh di kawasan perkotaan menjadi semakin sering terjadi.

Tahun 1977, El Salvador menggelar pemilu presiden. Pemilu tersebut berhasil dimenangkan oleh Carlos Humberto Romero Mena yang berasal dari golongan militer. Aksi protes pun langsung timbul tak lama kemudian karena adanya tudingan kalau pemerintah El Salvador memanipulasi hasil pemilu. Pemerintah El Salvador lantas menerjunkan aparat untuk membubarkan aksi protes tersebut. Akibatnya, timbullah kerusuhan hebat yang berujung pada tewasnya 50 orang.

Siluet warga sipil El Salvador saat digeledah oleh pasukan pemerintah. (archives.cjr.org)

Saat kondisi sosial politik El Salvador semakin tidak terkendali, sejumlah tentara El Salvador memutuskan untuk melakukan kudeta pada tanggal 15 Oktober 1979. Mereka beralasan kudeta tersebut perlu dilakukan karena rezim Romero dinilai tidak bisa lagi memperbaiki situasi El Salvador. Pasca kudeta, sebuah rezim junta militer kemudian didirikan untuk menjalankan pemerintahan El Salvador.

Begitu berkuasa, rezim junta militer berkomitmen untuk menstabilkan kembali kondisi domestik El Salvador dengan segala cara. Dampaknya, aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat & milisi pro pemerintah mengalami peningkatan sejak junta militer berkuasa. Golongan komunis menjadi sasaran utama pembasmian oleh aparat karena tokoh-tokoh penting dalam junta militer memiliki hubungan erat dengan golongan konglomerat & pemilik lahan luas.

Di pihak yang berseberangan, kelompok-kelompok komunis El Salvador awalnya beroperasi secara sendiri-sendiri karena masing-masing kelompok memiliki ideologi komunis yang berbeda-beda. Namun semakin brutalnya sepak terjang aparat El Salvador menyebabkan kelompok-kelompok tadi setuju untuk mengesampingkan perbedaan mereka & menyatukan kekuatan.

Pada bulan Desember 1979, perwakilan masing-masing kelompok melakukan pertemuan perdana di Havana, Kuba. Bulan Mei 1980, kelompok-kelompok tadi akhirnya sepakat untuk menyatu & membentuk kelompok perlawanan baru yang bernama Direccion Revolucionario Unificada (DRU; Direktorat Revolusi Bersatu). DRU menerima bantuan logistik serta pelatihan dari Kuba, Uni Soviet, & Nikaragua.

Penolakan terhadap rezim junta militer bukan hanya datang dari golongan komunis, tetapi juga dari golongan agamawan El Salvador. Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero menjadi salah satu tokoh agama yang giat mengkritik pemerintah El Salvador. Saat ia menyampaikan khotbah melalui radio, Romero meminta kepada para tentara untuk berhenti membunuh & berhenti menuruti perintah atasannya.

Oscar Romero saat melakukan siaran radio. (maryknollmagazine.org)

Perjuangan Romero mengupayakan perdamaian sayangnya harus berakhir secara tragis setelah ia tewas ditembak pada tanggal 24 Maret 1980. Di hari yang sama dengan hari pemakamannya, massa dari Partido Democrata Cristiano (PDC; Partai Kristen Demokrat) menggelar demonstrasi damai. Namun demonstrasi tersebut harus berakhir naas setelah aparat membubarkan paksa para demonstran dengan cara menembaki mereka.

Di tempat lain, peristiwa penembakan tersebut menyebabkan golongan komunis berkesimpulan kalau pemerintah El Salvador hanya bisa dihentikan lewat jalur kekerasan. Maka, setelah berhasil merekrut lebih banyak anggota, DRU mengumumkan kalau kelompoknya kini mengganti namanya menjadi Farabundo Marti de Liberacion Nacional (FMLN; Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti).

Nama "Farabundo Marti" pada kelompok ini diambil dari tokoh komunis El Salvador yang tewas dibunuh oleh aparat El Salvador pada tahun 1932. Selain melakukan penggantian nama, FMLN pada bulan Januari 1981 juga mengumumkan kalau pihaknya bakal memulai pemberontakan bersenjata. Keluarnya pengumuman tersebut sekaligus menandai dimulainya perang saudara El Salvador.



BERJALANNYA PERANG

Darah Dibalas Darah

Tidak lama setelah keluarnya pernyataan dari petinggi FMLN, pasukan FMLN melakukan serangan ke seluruh penjuru El Salvador. Sasaran penyerangan mereka adalah pos-pos militer yang tersebar di wilayah El Salvador.

Pasukan FMLN pada awalnya berharap kalau serangan yang mereka lakukan bakal mendorong rakyat El Salvador untuk beramai-ramai ikut memberontak. Namun hal tersebut ternyata tidak sampai terjadi karena tidak semua rakyat El Salvador mendukung FMLN. Sebagai akibatnya, pasukan FMLN pun mengalami kekalahan. Sebanyak 500 milisi FMNL dikabarkan tewas dalam penyerangan ini.

Pasukan pemberontak FMLN. (Anthony Zelaya / medium.com)

Pasca serangan besar-besaran yang dilakukan oleh FMLN, pasukan El Salvador menggencarkan operasi militernya untuk menumpas FMLN hingga ke akar-akarnya. Mereka semakin sering melakukan serangan membabi buta ke lokasi & kerumunan orang yang diduga merupakan anggota FMLN.

Pada tanggal 17 Maret 1981 contohnya, sebanyak lebih dari 20 orang petani tewas & 189 lainnya menghilang akibat diserang oleh pasukan El Salvador di Sungai Lempa. Kemudian pada tanggal 11 Desember 1981, pasukan El Salvador memasuki desa El Mozote & membunuh lebih dari 800 orang penduduknya. Peristiwa pembantaian di El Mozote sekaligus menjadi pembantaian dengan jumlah korban tewas tertinggi selama berlangsung perang sipil El Salvador.

Di luar El Salvador, pemerintah Amerika Serikat (AS) pada awalnya enggan memberikan dukungan kepada pemerintah El Salvador akibat maraknya pemberitaan kalau aparat El Salvador kerap menembaki warga sipil yang tak bersenjata. Namun adanya ancaman dari pahan komunis yang dibawa oleh FMLN menyebabkan pemerintah AS akhirnya berubah pikiran.

Sejak bulan Januari 1981, pemerintah AS memberikan bantuan dana & senjata kepada pemerintah El Salvador yang jumlah totalnya mencapai 4 milyar dollar AS. Selain memberikan bantuan materi, militer AS juga membantu melatih pasukan El Salvador supaya mereka lebih mahir mengatasi taktik gerilya pasukan FMLN.


Tentara El Salvador yang sedang melakukan patroli. (Javier Maravilla / pinterest.com)


Saat Warga Sipil Terjepit di Tengah-Tengah

Karena pasukan EL Salvador unggul dalam hal kualitas persenjataan & tidak segan-segan melakukan taktik penyerangan membabi buta, pasukan FMLN lantas beralih ke taktik perang gerilya & sabotase. Antara bulan Januari hingga September 1982, pasukan FMLN melakukan 782 aksi penyerangan ke fasilitas-fasilitas umum di El Salvador. Serangan-serangan tersebut umumnya berupa pembakaran & ledakan bom.

Di pihak yang berseberangan, pasukan pemerintah El Salvador membalas aksi FMLN dengan cara melakukan serangan darat & udara ke desa-desa yang diduga menjadi tempat persembunyian pasukan FMLN. Tidak jarang ada warga sipil yang ikut terbunuh karena pasukan pemerintah El Salvador seringkali melakukan operasi militer tanpa memperhatikan keselamatan warga sipil.

Pada bulan Januari misalnya, ada 150 warga sipil yang tewas saat pasukan pemerintah melakukan operasi militer di Nueva Trinidad & Chalatenango. Kemudian pada tanggal 10 Maret, sebanyak 5.000 warga sipil di San Esteban Catarina dihujani oleh tembakan meriam artileri & helikopter militer El Salvador.

Korban militer El Salvador bukan hanya mencakup personil FMLN & warga sipil yang terkena peluru nyasar, tetapi juga wartawan & tokoh dari partai oposisi. Pada tanggal 17 Maret 1982 misalnya, sebanyak 4 wartawan asal Belanda tewas dibunuh di El Salvador. Kemudian pada tanggal 27 Mei, 6 anggota PTC ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa di El Playon, sebuah dataran di El Salvador yang dipenuhi sisa-sisa lahar gunung berapi.

Potongan ekor helikopter milik pasukan pemerintah yang sekarang dijadikan monumen peringatan. (everythingelsalvador.com)

Semakin brutalnya tindak tanduk militer El Salvador menyebabkan pemerintah AS pada akhirnya turut merasa gerah. Saat Wakil Presiden AS George Bush berkunjung ke El Salvador pada tahun 1983, ia meminta supaya para personil militer El Salvador yang melakukan kejahatan kemanusiaan segera dicopot dari posisinya.

Berkat tekanan yang ditunjukkan oleh pemerintah AS, aksi-aksi kekerasan & pembunuhan yang dilakukan oleh aparat El Salvador kepada warga sipil sempat mengalami penurunan tajam. Namun di lain pihak, fenomena tersebut menyebabkan FMLN kini menjadi lebih leluasa dalam beroperasi. Mereka semakin sering melakukan penculikan & pembunuhan kepada walikota serta tokoh-tokoh pemerintahan.

Di saat kondisi keamanan El Salvador masih belum menentu, negara tersebut menggelar pemilu pada tahun 1984. Hasilnya, Jose Napoleon Duarte yang berasal dari partai PDC berhasil terpilih menjadi presiden. Duarte kemudian melakukan pembicaraan damai dengan perwakilan FMLN pada bulan Oktober & November. Namun pembicaraan tersebut gagal mengakhiri pemberontakan yang dilakukan oleh FMLN.


Serangan Pamungkas Pasukan Pemberontak

Memasuki tahun 1985, intensitas perang hanya semakin bertambah rumit. Pasalnya sejak tahun tersebut, pasukan FMLN kerap memasang ranjau di wilayah-wilayah yang dikuasainya. Kendati ranjau tersebut ditujukan kepada pasukan pemerintah, banyak warga sipil yang ikut menjadi korban tewas akibat tidak sengaja menginjak ranjau.

Masih di tahun 1985, pasukan FMLN melakukan penculikan kepada putri presiden Duarte. Setelah melalui pembicaraan alot yang berlangsung selama berminggu-minggu, pemerintah El Salvador & FMLN akhirnya setuju untuk melakukan pertukaran. FMLN bakal membebaskan putri Duarte & 22 orang walikota yang mereka culik. Sebagai gantinya, sebanyak 101 milisi FMLN diperbolehkan pergi meninggalkan El Salvador.

Pasukan FMLN yang sedang menaiki mobil bak terbuka. (theguardian.com)

Tahun 1988, El Salvador kembali menggelar pemilu. Karena partai PDC dianggap gagal mengakhiri perang saudara, partai ARENA yang berhaluan nasionalis & didirikan oleh mantan tentara berhasil keluar sebagai pemenang. Setahun kemudian, Alfredo Cristiani yang berasal dari partai ARENA terpilih menjadi presiden baru El Salvador.

Tahun 1989 sekaligus menjadi salah satu tahun tersengit dalam perang saudara El Salvador. Semuanya bermula ketika anggota FMLN meledakkan bom di kantor-kantor milik serikat dagang FENASTRAS. Beberapa hari kemudian atau tepatnya pada tanggal 11 November 1989, pasukan FMLN melakukan serangan serempak ke kota-kota besar El Salvador.

Pemerintah El Salvador lantas menanggapi peristiwa tersebut dengan cara memberlakukan darurat militer sejak tanggal 13 November. Pertempuran hebat pun pecah antara pasukan El Salvador & pasukan pemberontak FMLN. Saat pertempuran berakhir pada tanggal 12 Desember, jumlah korban tewas di kedua belah pihak mencapai lebih dari 2.000 jiwa. Pertempuran ini juga mengakibatkan kota-kota El Salvador mengalami kerusakan parah.


Dimulainya Pembicaraan Damai

Pertempuran di penghujung tahun 1989 sekaligus menunjukkan kalau perang ini tidak akan bisa diakhiri lewat jalur kekerasan. Maka, perwakilan pemerintah El Salvador & FMLN pun beberapa kali melakukan pembicaraan damai di luar negeri.

Kemauan pemerintah El Salvador & FMLN untuk berunding turut ditunjang oleh fakta bahwa sejak akhir dekade 80-an, Uni Soviet mengurangi dukungan finansialnya kepada kelompok-kelompok sekutunya di luar negeri. Di pihak berseberangan, hilangnya ancaman komunisme menyebabkan pemerintah AS merasa tidak perlu lagi memberikan bantuan militer secara berlebihan kepada pemerintah El Salvador.

Tahun 1992, perwakilan pemerintah El Salvador & FMLN akhirnya menandatangani perjanjian damai di Chapultepec, Meksiko. Berdasarkan perjanjian ini, FMLN setuju untuk berhenti memberontak. Sebagai gantinya, sektor pemerintahan & militer El Salvador bakal direformasi secara besar-besaran. Dengan dicapainya perjanjian damai di Chapultepec, berakhir pulalah perang saudara di El Salvador yang sudah berlangsung selama 1 dekade lebih.


Lukisan dinding yang mengilustrasikan dicapainya kesepakatan damai di Chapultepec. (en.wikipedia.org)


KONDISI PASCA PERANG

Perang sipil El Salvador membawa dampak negatif yang amat besar bagi negara tersebut. Akibat perang ini, sebanyak lebih dari 75.000 orang menjadi korban tewas. Jumlah tersebut kurang lebih mencakup hampir 2 persen dari total jumlah penduduk El Salvador. Ironisnya, mayoritas dari korban tewas tersebut adalah warga sipil yang kebetulan terjebak di tengah zona konflik.

Selain korban jiwa, perang sipil El Salvador juga menimbulkan kerugian material yang amat besar akibat banyaknya bangunan & fasilitas umum yang menjadi sasaran penyerangan. Jika pasukan pemerintah melakukannya lewat taktik serangan udara & tembakan meriam artileri, maka pasukan FMLN melakukannya lewat taktik pembakaran & ledakan bom rakitan. Akibatnya, seusai perang El Salvador mengalami kesulitan untuk segera bangkit & memulihkan ekonominya.

Sesuai dengan kesepakatan damai di Chapultepec, FMLN sudah tidak lagi mengangkat senjata sejak tahun 1992. Sebagai gantinya, kelompok tersebut berubah menjadi partai politik legal yang memperjuangkan kepentingannya lewat jalur politik. Puncaknya adalah ketika pada tahun 2009, anggota FMLN yang bernama Mauricio Funes berhasil terpilih menjadi presiden baru El Salvador.

Meskipun perang sipil El Salvador sudah lama berakhir, dampak dari konflik tersebut masih terasa hingga sekarang. Semasa berlangsungnya perang saudara, banyak penduduk El Salvador yang terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangganya untuk menghindari perang. AS menjadi salah satu negara tujuan para pengungsi tersebut, di mana jumlah mereka dilaporkan mencapai hampir 500.000 orang.

Karena mereka mengungsi ke AS dalam kondisi miskin, tidak sedikit dari para pengungsi tersebut yang kemudian terjerumus ke dalam aktivitas kriminal. Mereka inilah yang kelak bakal menjadi cikal bakal geng kriminal MS-13, salah satu geng kriminal paling berbahaya di AS. Banyak dari mereka yang kemudian ditangkap oleh polisi AS.

Anggota geng El Salvador saat ditangkap oleh polisi. (abc.net.au)

Saat perang sipil El Salvador sudah berakhir, para anggota MS-13 yang sedang ditahan di penjara AS kemudian beramai-ramai dideportasi ke El Salvador. Kebijakan tersebut belakangan malah menjadi blunder fatal karena sekembalinya mereka di El Salvador, mereka merekrut lebih banyak anggota dengan memanfaatkan kondisi El Salvador yang masih porak poranda akibat dampak perang saudara.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak geng kriminal yang bermunculan di El Salvador. Akibatnya, El Salvador pun kini menjadi salah satu negara dengan tingkat kejahatan tertinggi di Benua Amerika. Aksi saling bunuh antar geng menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari penduduk El Salvador. Sementara mereka yang tidak tergabung dalam geng kerap menjadi korban kekerasan & pemalakan.

Saat kondisi domestik El Salvador tidak kunjung membaik, banyak warga sipil El Salvador yang terpaksa mengungsi ke luar negeri. Layaknya situasi yang terjadi pada masa perang saudara, banyak dari para pengungsi tersebut yang menjadikan wilayah AS sebagai negara tujuannya. Perang sipil El Salvador memang sudah lama berakhir. Namun negara tersebut masih harus menempuh jalan panjang untuk memakmurkan rakyatnya.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



RINGKASAN PERANG

Waktu & Lokasi Pertempuran
-  Waktu : 1981 - 1992
-  Lokasi : El Salvador

Pihak yang Bertempur
(Negara)  -   El Salvador
     melawan
(Grup)  -  FMLN

Hasil Akhir
-  Perang berakhir tanpa pemenang
-  FMLN berubah menjadi partai politik legal

Korban Jiwa
Sekitar 75.000 jiwa



REFERENSI

B. Bentacur, dkk.. 2001. "From Madness to Hope".
(www.usip.org/sites/default/files/file/ElSalvador-Report.pdf)

BBC. 2009. "Left-winger wins El Salvador poll".
(news.bbc.co.uk/2/hi/americas/7944899.stm)

Flemion, P.F.. 2008. "El Salvador, history of". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

Garsd, J.. 2015. "How El Salvador Fell Into A Web Of Gang Violence".
(www.npr.org/sections/goatsandsoda/2015/10/05/445382231/how-el-salvador-fell-into-a-web-of-gang-violence)

Gibb, T.. 2000. "The killing of Archbishop Oscar Romero was one of the most notorious crimes of the cold war. Was the CIA to blame?".
(www.theguardian.com/theguardian/2000/mar/23/features11.g21)

GlobalSecurity.org. "El Salvador Civil War".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/elsalvador2.htm)

Haggarty, R.A.. 1988. "Economic Crisis and Repression".
(countrystudies.us/el-salvador/7.htm)

Haggarty, R.A.. 1988. "The 1969 War with Honduras".
(countrystudies.us/el-salvador/10.htm)

Haggarty, R.A.. 1988. "The Oligarchy and the Liberal State".
(countrystudies.us/el-salvador/6.htm)

Miller, S.. 2016. "Child Soldiers in the Salvadoran Civil War".
(www.exhibit.xavier.edu/xjur/vol4/iss1/2)

Terrazas, A.. 2010. "Salvadoran Immigrants in the United States in 2008".
(www.migrationpolicy.org/article/salvadoran-immigrants-united-states-2008)
 






COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.