Komoro, Negara Kepulauan yang Penuh Pergolakan



Foto udara Moroni, ibukota negara Komoro. (William John Hunter / shutterstock.com)

Komoro (Comoros) adalah nama dari sebuah negara kepulauan berpenduduk mayoritas Muslim yang terletak di antara Mozambik & Madagaskar. Ada 3 pulau utama yang menyusun wilayah negara ini, yaitu Moheli, Anjouan, & Grande Comore / Njazidja. Sebagai akibat dari ukurannya yang kecil & lokasinya yang agak tersembunyi, tidak banyak orang awam yang pernah mendengar soal negara ini.

Kenyataannya adalah meskipun Komoro tergolong sebagai negara yang kecil & kurang terkenal, negara ini justru memiliki perjalanan sejarah yang amat berwarna-warni sebagai akibat dari seringnya terjadi pergolakan di negara ini. Warna-warni sejarah Komoro dapat dilihat bahkan saat negara ini masih belum terbentuk.

Sebagai akibat dari lokasinya yang terletak di antara Afrika, Kepulauan Indonesia, & Asia bagian selatan, penduduk Komoro memiliki budaya yang merupakan hasil kombinasi dari kebudayaan bangsa-bangsa lain seperti Bantu (penduduk asli Afrika bagian selatan), Madagaskar, Indonesia, Arab, hingga Persia.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, di wilayah Komoro pernah berdiri kesultanan-kesultanan kecil yang didirikan oleh kelompok etnis Shirazi, etnis perantau yang diperkirakan berasal dari Shiraz, Iran selatan. Komunitas Shiraz pulalah yang berjasa memperkenalkan Islam ke Komoro & mengubah Komoro menjadi bagian dari jalur dagang strategis di Samudera Hindia barat.

Ramainya aktivitas dagang di Komoro lantas turut menarik perhatian orang Eropa yang pertama kali menginjakkan kakinya di Pulau Njazidja pada tahun 1505. Walaupun bangsa Eropa sudah menjamah Komoro sejak abad ke-16, baru pada abad ke-19 Komoro menjadi wilayah jajahan Perancis setelah Perancis memaksa sultan-sultan di Komoro membiarkan wilayahnya berada di bawah pengawasan Perancis.

Oleh Perancis, Komoro kemudian dimanfaatkan sebagai tempat untuk menamam komoditas-komoditas pertanian bernilai ekspor seperti vanila, kopra kelapa, & cengkeh. Namun sebagai akibat dari wilayahnya yang kecil & berkurangnya nilai strategis Komoro pasca dibukanya Terusan Suez, aktivitas modernisasi di Komoro cenderung berjalan lambat.

Tahun 1958, menyusul maraknya fenomena kemerdekaan massal pasca Perang Dunia II, Perancis menggelar referendum di Komoro untuk menentukan apakah daerah tersebut bersedia menjadi negara sendiri.

Karena selama ini Komoro bergantung pada Perancis untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan pentingnya, referendum tersebut berhasil dimenangkan oleh golongan penentang kemerdekaan. Sebagai tindak lanjut atas hasil referendum tersebut, Komoro pun dijadikan daerah bawahan Perancis yang memiliki otonomi luas & badan pemerintahannya sendiri.

Peta Komoro. (pasarelapr.com)

Meskipun mayoritas rakyat Komoro pada awalnya tidak keberatan membiarkan wilayahnya tetap menjadi bagian dari Perancis, rangkaian peristiwa yang terjadi di negara-negara tetangga Komoro secara berangsur-angsur mulai mengubah cara pandang mereka. Pada tahun 1961, Tanganyika merdeka setelah sebelumnya dikuasai oleh Inggris.

Tiga tahun kemudian, Tanganyika melebur dengan Pulau Zanzibar untuk membentuk negara Tanzania pasca terjadinya revolusi rakyat di Zanzibar. Pada periode yang bersamaan, wilayah Mozambik juga sedang dilanda pemberontakan oleh kelompok pejuang kemerdekaan setempat.

Rentetan peristiwa tadi lantas membuat sejumlah penduduk Komoro mulai giat mengkampanyekan kemerdekaan tanah airnya. Menurut mereka, Komoro harus menjadi negara merdeka karena selama ini Perancis enggan melakukan modernisasi secara serius di Komoro.

Sebagai langkah awal, pada tahun 1962 para perantauan Komoro di Tanzania mendirikan organisasi Molinaco untuk mengkampanyekan ide Komoro merdeka. Sementara itu di Komoro sendiri, terjadi demonstrasi oleh kaum pelajar yang berakhir ricuh pada tahun 1968. Lalu pada tahun 1973, terjadi pembakaran gedung parlemen oleh massa pro-kemerdekaan.



KOMORO MERDEKA, MAYOTTE TETAP SETIA (1974)

Sebagai respon atas kian meningkatnya sentimen kemerdekaan di Komoro, referendum kemerdekaan pun digelar pada akhir tahun 1974. Referendum tersebut berhasil dimenangkan oleh golongan pendukung kemerdekaan.

Namun di Kepulauan Mayotte yang letaknya berada paling timur, referendumnya justru dimenangkan oleh golongan penentang kemerdekaan. Melihat hal tersebut, Perancis memutuskan untuk menunda pemberian kemerdekaan pada Komoro supaya pihaknya bisa menggelar referendum kedua di Mayotte.

Peta lokasi Mayotte. (operationworld.org)

Ada beberapa alasan mengapa referendum kemerdekaan di Mayotte bisa dimenangkan oleh golongan penentang kemerdekaan. Pertama, Mayotte memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit & standar hidup yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau Komoro yang lain.

Kedua, ibukota koloni Komoro pada awalnya berada di kota Dzaoudji (Mayotte) sebelum kemudian dipindahkan ke Moroni (Grande Comore) pada tahun 1962. Sejak pemindahan tersebut dilakukan, penduduk Mayotte merasa kalau pemerintah koloni Komoro cenderung menelantarkan nasib Mayotte sehingga mereka merasa tidak antusias jika wilayahnya harus menjadi bagian dari negara Komoro merdeka.

Alasan ketiga, karena Perancis sudah menjalin kontak dengan Mayotte sejak tahun 1841, kepulauan tersebut memiliki ikatan yang lebih kuat dengan Perancis jika dibandingkan dengan pulau-pulau Komoro yang lain.

Alasan terakhir, rakyat Mayotte merasa kalau kesejahteraan mereka akan lebih terjamin jika wilayah mereka tetap berada di bawah kendali Perancis. Sebagai akibatnya, saat Perancis menggelar referendum kedua di Mayotte pada tahun 1976, referendum tersebut lagi-lagi berhasil dimenangkan oleh golongan penentang kemerdekaan sehingga Mayotte tetap menjadi wilayah bawahan Perancis hingga sekarang.

Keputusan Perancis untuk menunda pemberian kemerdekaan & mempertahankan kepemilikannya atas Mayotte di lain pihak mengundang rasa tidak suka dari pemerintah daerah Komoro. Maka, pada tanggal 6 Juli 1975 Komoro secara sepihak memproklamasikan kemerdekaannya dengan Ahmed Abdallah sebagai presiden pertamanya.

Namun di saat Komoro belum lama menikmati kemerdekaannya, hal yang tidak diduga kemudian terjadi. Pada tanggal 3 Agustus, terjadi kudeta yang didukung oleh sejumlah politikus Komoro sendiri. Pasca kudeta, Abdallah dijebloskan ke dalam penjara & Ali Soilih diangkat menjadi pemimpin Komoro yang baru setahun kemudian.

Semasa menjadi presiden, Soilih banyak menerapkan kebijakan yang berbau sosialis & sekuler. Para pemuda & pemudi Komoro direkrut untuk menjadi anggota paramiliter Moissy. Instruktur militer Tanzania didatangkan untuk membantu melatih militer Komoro. Batas usia untuk ikut serta dalam pemilu diturunkan menjadi hanya 14 tahun.

Praktik memakai jilbab & pernikahan berbiaya tinggi dilarang. Para nelayan diharuskan menjual hasil tangkapannya kepada negara. Dan untuk menunjukkan kalau negaranya tidak mau lagi diatur oleh Perancis, Soilih memerintahkan pembakaran arsip-arsip peninggalan Perancis yang masih ada di Komoro.

Karena kebijakan-kebijakan Soilih tersebut dianggap sebagai upaya untuk memusnahkan budaya tradisional Komoro, dukungan terhadap rezimnya pun secara perlahan-lahan mulai memudar. Hal tersebut semakin diperparah oleh memburuknya perekonomian Komoro akibat terhentinya bantuan finansial dari Perancis.

Namun Soilih tidak mau menyerah pada nasib. Ia menerjunkan para personil Moissy untuk menyerang pihak-pihak yang berani menentang kebijakannya. Sebagian penduduk Komoro yang merasa tidak tahan namun tidak berani menentang rezim Soilih lantas memutuskan untuk mengungsi ke Mayotte.

Ali Soilih. (alchetron.com)

Bak mendapat karma, Soilih yang bisa berkuasa lewat jalur kudeta pada akhirnya harus lengser akibat kudeta juga. Pada tanggal 12 Mei 1978, pasukan tentara bayaran Eropa yang beranggotakan 50 personil & dipimpin oleh Bob Denard mendarat di sebelah utara ibukota Moroni untuk menggulingkan rezim Soilih secara paksa.

Kudeta tersebut berakhir dengan kesuksesan karena rakyat & tentara Komoro sudah terlanjur muak dengan gaya pemerintahan Soilih yang bersifat tangan besi. Soilih sendiri akhirnya tewas dibunuh pada tanggal 29 Mei. Menurut pernyataan resmi pemerintah Komoro pasca kudeta, Soilih tewas karena mencoba melarikan diri saat disekap.



KEMBALINYA PRESIDEN PERTAMA KOMORO (1978)

Pasca lengsernya Soilih, Abdallah kembali menjabat sebagai presiden Komoro. Sementara Denard pada awalnya tetap tinggal di Komoro setelah menerima hadiah uang dari rezim Abdallah. Namun akibat tekanan dari Perancis & organisasi Uni Afrika (OAU) yang menganggap Denard tengah mencampuri urusan domestik negara lain, Denard terpaksa meninggalkan Komoro di tahun yang sama. Meskipun begitu, Denard tidak benar-benar melupakan Komoro sepenuhnya karena sejak dekade 80-an, Denard secara diam-diam kembali aktif beroperasi di Komoro.

Tahun 1982, sebagai upaya untuk memperkuat kedudukannya di Komoro, Abdallah membentuk partai UCP & menetapkan partai tersebut sebagai satu-satunya partai politik yang boleh beroperasi di Komoro. Lalu pada tahun 1985, posisi Perdana Menteri dihapuskan sehingga kini Abdallah berstatus sebagai kepala negara merangkap kepala pemerintahan Komoro.

Abdallah secara berkala juga melakukan penggantian anggota kabinet (reshuffle) supaya dirinya aman dari upaya pelengseran paksa oleh anggota pemerintahannya sendiri. Dan untuk melindungi dirinya dari upaya kudeta militer, Abdallah membentuk pasukan pengawal yang bernama "Garda Presidentelle" (GP; Garda Presiden).

Pasukan tersebut beranggotakan kurang lebih 700 personil & dipimpin oleh tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan Bob Denard. Selain bertugas melindungi Abdallah, GP juga dimanfaatkan oleh Abdallah untuk mengintimidasi pihak-pihak yang berseberangan dengannya.

Pada bulan Juli 1983 contohnya, GP menangkap & menyiksa para demonstran yang menentang kebijakan parpol tunggal Abdallah. Saking seringnya GP diterjunkan untuk membungkam para penentang rezim Abdallah, kelompok tersebut lantas memperoleh julukan "les affreux" (sang peneror). Pentingnya peran GP dalam menjaga kelanggengan rezim Abdallah lantas membuat para petinggi GP memiliki semacam hak istimewa untuk mengatur kebijakan-kebijakan ekonomi Komoro.

Saat dunia internasional beramai-ramai mengucilkan rezim apartheid Afrika Selatan (Afsel), GP justru mengundang Afsel untuk melakukan investasi & membantu pembangunan infrastruktur di Komoro. GP juga membiarkan militer Afsel memanfaatkan wilayah Komoro sebagai tempat untuk menyelundupkan senjata kepada milisi-milisi anti-komunis di Mozambik. Sebagai gantinya, GP mendapatkan pemasukan sebesar 3 juta dollar per tahunnya dari Afsel.

Tanggal 4 November 1989, Komoro menggelar referendum penggantian konstitusi supaya Abdallah bisa kembali menjabat sebagai presiden setelah sebelumnya sudah menjabat selama 2 periode. Hasilnya, referendum tersebut berhasil dimenangkan oleh golongan pendukung penggantian konstitusi dengan perolehan suara mencapai lebih dari 92%.

Namun menurut klaim pihak oposisi, referendum tersebut tidak dilaksanakan secara jurdil karena referendum tidak dilakukan di tempat yang tertutup. Mereka juga mengklaim kalau para personil keamanan mengambil kotak suara sebelum referendum selesai dilaksanakan.

Kerusuhan di ibukota Moroni pada tahun 1989. (gettyimages.fr)

Kericuhan sendiri dilaporkan marak terjadi di tempat-tempat penyelenggaraan referendum. Di Pulau Grande Comore, para pemilih membanting kotak suara supaya kotaknya tidak bisa dibawa pergi oleh petugas keamanan.

Di Pulau Anjouan, kantor gubernur setempat dibakar massa. Di ibukota Moroni, kantor Menteri Keuangan setempat bahkan sampai dipasangi bom. Sebanyak lebih dari 100 orang ditangkap oleh polisi pasca kerusuhan ini. Namun jika kerusuhan tersebut masih cukup, peristiwa yang lebih mengagetkan ternyata baru akan terjadi beberapa hari kemudian.

Tanggal 27 November 1989, Abdallah tewas saat sedang tidur di kediamannya. Haribon Chebani kemudian naik menjadi presiden sementara Komoro. Namun baru dua hari Chebani menjalankan tugasnya, pasukan GP secara tiba-tiba melancarkan kudeta & memaksa Chebani turun dari posisinya.

GP kemudian menempatkan Mohamed Said Djohar sebagai presiden baru Komoro. Namun tindakan nekat GP tersebut kemudian malah menjadi bumerang karena pasca kudeta, Afsel menghentikan semua bantuan finansialnya ke Komoro. Sementara Perancis mulai menambah jumlah pasukannya di Mayotte.

Di Komoro sendiri, sebanyak ribuan pelajar & pekerja menggelar aksi protes untuk memprotes kudeta yang dilakukan oleh GP. Mereka juga menggelar aksi mogok bersama sehingga aktivitas pendidikan & layanan publik mengalami kelumpuhan.

Merasa tidak punya pilihan lain, Denard pun terpaksa menyerahkan diri kepada pasukan Perancis pada tanggal 15 Desember sebelum kemudian ditahan di Pretoria, Afsel. Tahun 1993, ia diterbangkan ke Perancis untuk menjalani persidangan. Namun karena Denard tidak terbukti bersalah dalam tewasnya Abdallah, Denard pun kemudian dibebaskan.



KUDETA PASUKAN ASING & INVASI PERANCIS (1995)

Denard sendiri ternyata masih belum rela melepaskan Komoro sepenuhnya. Pada tanggal 28 September 1995, ia & 33 orang pengikutnya kembali melakukan kudeta di Komoro. Selama kudeta berlangsung, Denard membebaskan para personil militer Komoro & anggota GP yang sedang ditahan oleh rezim Djohar. Satu dari sekian banyak tentara Komoro yang dibebaskan oleh Denard dalam kudeta ini adalah Combo Ayouba, yang kemudian ditunjuk oleh Denard untuk memimpin badan pemerintahan sementara Komoro.

Di luar Komoro, begitu kabar mengenai kudeta yang dilakukan oleh Denard sampai ke telinga pemerintah Perancis, presiden Perancis langsung memerintahkan pengiriman 1.000 tentara Perancis ke Komoro dengan kode sandi "Operasi Azalea" (Operation Azalee).

Denard sendiri sudah menduga kalau Perancis bakal mengirimkan pasukannya untuk menggagalkan kudeta ini, Untuk mengantisipasinya, Denard pun memerintahkan pemasangan instalasi-instalasi senapan mesin di lokasi-lokasi Komoro yang strategis, misalnya di bandara.

(Kiri & kanan) Bob Denard & Combo Ayouba di tahun 1995. (historia.org.pl)

Tanggal 11 Oktober pukul 11 malam waktu setempat, pasukan Perancis akhirnya tiba di Komoro. Dengan memanfaatkan pekatnya malam & unggulnya perlengkapan tempur yang mereka miliki, pasukan Perancis dengan sigap berhasil menguasai tempat-tempat penting di Komoro hanya dalam rentang waktu kurang dari 2 hari.

Sadar kalau melanjutkan perlawanan akan berakhir percuma, Denard pun menyerah & kemudian ditangkap oleh pasukan Perancis. Seusai peristiwa tersebut, Denard tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di Komoro hingga ajal menjemputnya pada tahun 2007.

Djohar yang awalnya terguling akibat kudeta di tahun 1995 sendiri kemudian kembali menjabat sebagai presiden pada tahun 1996. Namun saat Denard tidak lagi menjadi ancaman bagi Komoro, masalah baru kemudian malah datang dari dalam wilayah Komoro sendiri.

Pada tanggal 3 Agustus 1997, Pulau Anjouan yang terletak di Komoro timur secara sepihak memerdekakan diri dari Komoro. Sepekan kemudian, giliran Pulau Moheli yang terletak di Komoro tengah yang mendeklarasikan kemerdekaannya. Pemerintah pusat Komoro jelas enggan membiarkan wilayah negaranya menyusut sehingga pasukan Komoro pun kemudian dikirimkan ke Anjou.

Saat pasukan Komoro akhirnya tiba di Anjou pada awal September, mereka langsung mendapatkan perlawanan sengit dari golongan separatis setempat. Sebagai akibatnya, sebanyak 3 tentara Komoro harus kehilangan nyawanya & pemerintah pusat Komoro gagal menjadikan pulau tersebut berada di bawah kendalinya.

Saat kondisi domestik Komoro tengah kacau balau, peristiwa baru tapi lama kembali terjadi di ibukota Moroni. Pada bulan April 1999, para tentara Komoro melancarkan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa Komoro. Pasca kudeta, Kolonel Azali Assoumani selaku pemimpin kudeta ini kemudian naik menjadi presiden Komoro yang baru.

Untuk merangkul kembali Pulau Anjouan & Moheli supaya kedua wilayah tersebut tetap bersedia menjadi bagian dari Komoro, referendum penggantian konstitusi pun digelar pada tahun 2001. Dalam usulan konstitusi baru ini, Komoro akan diubah menjadi negara federal & 3 pulau utama Komoro akan diberikan otonomi luas serta badan pemerintahannya masing-masing.

Untuk mencegah timbulnya kesan kalau pemerintahan pusat Komoro hanya dimonopoli oleh orang-orang di Pulau Grande Comore, posisi presiden Komoro akan dirotasi di antara perwakilan masing-masing pulau. Saat referendum selesai digelar, sebanyak lebih dari 70% pemilih mendukung penggantian konstitusi sehingga Komoro sesudah itu berubah menjadi negara federal dengan nama "Serikat Komoro" (Union des Comores).

Referendum ini juga berdampak pada kembalinya Pulau Anjouan & Moheli ke pangkuan Komoro. Bendera nasional Komoro juga diubah desainnya menjadi lebih berwarna-warni untuk menyimbolkan perubahan yang terjadi di negara kepulauan tersebut. Namun dicapainya konstitusi baru ini ternyata tidak serta merta membuat masalah separatisme di Komoro benar-benar teratasi.


Bendera Komoro dari masa ke masa. Seringnya Komoro mengalami pergantian bendera  menunjukkan bagaimana  tidak stabilnya kondisi domestik negara tersebut.


INVASI UNI AFRIKA KE ANJOUAN (2008)

Pada tahun 2007, Pulau Anjouan seharusnya menggelar pemilu daerahnya pada tanggal 10 Juni. Namun karena kondisi keamanan di Anjouan dianggap tidak ideal untuk menggelar pilkada pada tanggal tersebut, Mahkamah Konstitusi Komoro pun mengumumkan kalau penyelenggaraan pilkada akan diundur hingga sepekan kemudian. Namun bukannya menurut, Mohammed Bacar selaku presiden berkuasa Anjouan pada masa itu justru tetap menggelar pilkada pada tanggal 10 Juni.

Bacar yang maju tanpa saingan berhasil keluar sebagai pemenang, namun hasil pemilunya tidak diakui oleh pemerintah pusat Komoro. Karena Bacar menolak untuk turun & menggelar pilkada ulang, pasukan Komoro yang dibantu oleh negara-negara anggota Uni Afrika kemudian melancarkan invasi militer ke Anjouan pada bulan Maret 2008.

Berkat invasi tersebut, Bacar berhasil digulingkan dari posisinya. Namun sebelum pasukan gabungan Uni Afrika berhasil meringkus Bacar, Bacar keburu berhasil melarikan diri ke Mayotte. Pasca kaburnya Bacar, pemilu kembali digelar di Anjouan pada bulan Juni di mana Moussa Toybou berhasil keluar sebagai pemenang.

Pasukan Uni Afrika saat menyerbu Anjouan di tahun 2008. (aljazeera.com)

Selain peristiwa yang terjadi di Anjouan, kondisi domestik Komoro sejak tahun 2001 bisa dikatakan stabil. Namun sebagai akibat dari seringnya Komoro dilanda kudeta & pergantian pemimpin, pertumbuhan ekonomi di Komoro pun menjadi tersendat.

Akibat kombinasi dari hal-hal tadi, Komoro pun kini berstatus sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Bukan hanya itu, begitu bergantungnya Komoro akan ekspor hasil pertanian juga membuat perekonomian negara tersebut amat dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas mentah di pasaran internasional.

Di luar masalah ekonomi, pemerintah Komoro hingga sekarang juga masih terlibat sengketa wilayah dengan Perancis karena keduanya sama-sama mengklaim Mayotte sebagai bagian dari wilayahnya. Klaim Komoro atas Mayotte mendapat dukungan dari PBB yang menyatakan bahwa jika referendum kemerdekaan digelar di suatu koloni, maka hasil referendumnya akan berlaku di seluruh daerah koloni tersebut.

Namun Perancis justru menolak untuk membiarkan Mayotte menjadi bagian dari negara Komoro merdeka meskipun hasil referendum di seantero Komoro menunjukkan kalau mayoritas rakyat Komoro mendukung opsi kemerdekaan. Meskipun PBB menyatakan dukungannya atas klaim Komoro, Mayotte pada akhirnya tetap berstatus sebagai bagian dari wilayah Perancis karena Perancis merupakan negara pemegang hak veto dalam sidang PBB.

Penduduk Mayotte sendiri lebih suka jika wilayahnya tetap berada di bawah kendali Perancis karena mereka merasa kesejahteraan & stabilitas wilayah mereka lebih terjamin jika tetap menjadi bagian dari Perancis. Pada akhirnya, jika masalah sengketa Mayotte ini tetap tidak bisa terselesaikan dalam waktu dekat, semoga sengketanya tidak sampai memburuk menjadi konflik bersenjata.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



BIODATA

Nama resmi : Union des Comores (Serikat Komoro)
Tahun aktif : 1975 - sekarang
Ibukota : Moroni
Bentuk pemerintahan : republik
Luas wilayah : 1.659 km persegi
Mata uang : franc Komoro
Bahasa nasional : Perancis, Komoro, Arab



REFERENSI

African Elections Database. 2011. "Autonomous Island Elections in the Comoros".
(africanelections.tripod.com/km_2.html)

African Elections Database. 2012. "Elections in the Comoros".
(africanelections.tripod.com/km.html)

Alwahti, A.. 2018. "Comoros row with France intensifies as turmoil brews at home".
(africanarguments.org/2018/06/comoros-row-france-intensifies-mayotte-turmoil-brews-home/)

Amnesty International. 1998. "Amnesty International Report 1998 - Comoros".
(www.refworld.org/docid/3ae6a9fb14.html)

Aspinall, T.. "Comoros Islands. 1975-1995. Bob Denards 1995 Coup".
(www.mercenary-wars.net/comoros/denard-1995.html)

Expatica. "Comoros: a long history of coups".
(www.expatica.com/fr/uncategorized/comoros-a-long-history-of-coups-70493/)

Metz, H.C.. 1994. "Early Visitors and Settlers".
(countrystudies.us/comoros/2.htm)

Metz, H.C.. 1994. "French Colonization".
(countrystudies.us/comoros/3.htm)

Metz, H.C.. 1994. "The Break with France".
(countrystudies.us/comoros/4.htm)

Metz, H.C.. 1994. "The Soilih Regime".
(countrystudies.us/comoros/5.htm)

Metz, H.C.. 1994. "The Abdallah Regime".
(countrystudies.us/comoros/6.htm)

Metz, H.C.. 1994. "The Issue of Mahore".
(countrystudies.us/comoros/7.htm)

Simons, M.. 2007. "Bob Denard, Hired Gun for Coups, Is Dead at 78".
(www.nytimes.com/2007/10/16/world/europe/16denard.html)

Wikipedia. "Flag of the Comoros".
(en.wikipedia.org/w/index.php?title=Flag_of_the_Comoros&oldid=890747294)
 





COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



1 komentar:

  1. oh ya republik, bolehkah anda membuat artikel tentang kudeta di burkina faso?

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.