Kerajaan Champa, Negara Kerabat Nusantara yang Doyan Berperang



Menara Duong Long peninggalan Kerajaan Champa di Vietnam. (dulichquynhon.binhdinh.gov.vn)

Champa adalah nama dari kerajaan yang pernah berdiri di Vietnam tengah & selatan pada abad ke-2 hingga abad ke-15. Kendati wilayah kekuasaannya tidak terlampau besar, Champa tetap tidak bisa dipandang sebelah mata. Pasalnya sepanjang perjalanan sejarahnya, Champa pernah terlibat perang melawan bangsa Cina, Mongol, Vietnam, Kamboja, hingga Indonesia.

Kerajaan Champa bisa dibilang sebagai saudara jauh bangsa Indonesia. Pasalnya nenek moyang suku Cham / Champa diperkirakan merupakan rombongan pelaut asal Kalimantan yang menetap di wilayah cikal bakal Champa sejak tahun 1000 Sebelum Masehi.

Saat Kerajaan Champa sudah berdiri, kerajaan tersebut sempat beberapa kali terlibat konflik & aliansi pernikahan dengan kerajaan-kerajaan Nusantara. Sementara dalam hal bahasa, ada sejumlah kosakata dalam bahasa Champa yang memiliki kemiripan dengan bahasa yang digunakan di Nusantara. Mulai dari raja, kampong, nagara, & lain sebagainya.

Karena wilayah Champa terletak di tepi laut & termasuk dalam jalur perdagangan yang ramai, orang-orang Champa pun memiliki keahlian di bidang perdagangan & pelayaran. Sebagian di antara mereka ada yang bermigrasi & menetap di wilayah Indonesia. Di Pulau Jawa misalnya, terdapat makam yang diyakini sebagai makam putri bangsawan Champa.

Peta Champa & negara-negara tetangganya di abad ke-11. (Javierfv1212 / wikipedia.org)

Sebelum ditaklukkan oleh Vietnam pada abad ke-15, Champa merupakan kerajaan bercorak agama Hindu. Itulah sebabnya kerajaan ini memiliki banyak peninggalan berupa patung & candi bercorak Hindu di wilayah Vietnam selatan. Sayangnya, akibat dampak dari perang-perang yang terjadi di Vietnam, banyak peninggalan Champa yang mengalami kerusakan.

Di masa kini, suku Cham berstatus sebagai suku minoritas di Asia Tenggara yang umumnya menganut agama Hindu & Islam. Kendati Vietnam merupakan lokasi berdirinya Kerajaan Champa di masa lampau, jumlah suku Cham yang masih ada di Vietnam sekarang justru tinggal 160.000 jiwa. Sebagai perbandingan, jumlah suku Cham di negara tetangganya Kamboja mencapai lebih dari setengah juta jiwa.

Rendahnya populasi suku Cham di Vietnam tidak lepas dari fakta bahwa di masa lampau, Kerajaan Champa & Vietnam (Dai Viet) merupakan musuh bebuyutan. Sebagai akibatnya, saat Champa akhirnya berhasil ditaklukkan oleh Vietnam, banyak penduduk Champa yang tewas dibunuh, dipaksa mengadopsi budaya Vietnam, atau mengungsi ke luar Vietnam.



ABAD 2 - 5 : LAHIRNYA CHAMPA & KONFLIK DENGAN DINASTI CINA

Wilayah Vietnam selatan pada awalnya berstatus sebagai wilayah bawahan Dinasti Han Cina. Namun memasuki abad ke-2, terjadi pemberontakan di Vietnam yang berujung pada tewasnya gubernur Cina untuk wilayah tersebut.

Pasca pemberontakan tadi, muncul kerajaan baru yang dalam catatan sejarah Cina dikenal dengan nama "Linyi". Kerajaan Linyi inilah yang diyakini sebagai cikal bakal Kerajaan Champa. Literatur Vietnam sendiri menyebut Linyi dengan nama "Lam Ap".

Peta wilayah kekuasaan Dinasti Han Cina. (empireofthehan.weebly.com)

Berkat lokasinya yang strategis karena terletak di antara jalur dagang India, Cina, & Nusantara, Linyi / Champa dengan cepat tumbuh menjadi negara kaya yang mendapatkan pemasukan dari sektor perdagangan. Selain mendapatkan komoditas impor dari wilayah-wilayah tadi, Champa juga menyediakan produk-produk lokal seperti cula badak, gading gajah, budak, hasil kerajinan berbahan emas, hingga kayu pohon khas Asia Tenggara.

Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara pada umumnya, Champa bukanlah negara dengan budaya pertanian / agraris yang kuat. Pasalnya wilayah kekuasaan Champa umumnya berupa kawasan berpasir yang notabene kurang subur. Meskipun begitu, penduduk Champa diketahui tetap mempraktikkan budaya menanam padi dalam jumlah yang terbatas.

Padi yang ditanam oleh penduduk Champa dikenal dengan sebutan "padi Champa" & menyandang reputasi sebagai tanaman yang tahan banting karena bisa tumbuh di lahan kering. Saking terkesannya bangsa Cina dengan padi varian Champa, Kaisar Zhenzong yang bertahta pada abad ke-10 bahkan sempat mengimpor benih padi Champa untuk ditanam di wilayah Cina yang gersang.

Dalam hal politik & sistem pemerintahan, Champa bukanlah kerajaan dengan sistem pemerintah terpusat, melainkan gabungan dari negara-negara kecil (mandala) yang kadang-kadang terlibat konflik 1 sama lain. Apa yang disebut sebagai raja Champa aslinya adalah pemimpin mandala terkuat yang diakui oleh mandala-mandala lainnya. Itulah sebabnya pemimpin Champa dikenal dengan gelar "rajadiraja" (raja dari segala raja).

Champa pada gilirannya kerap terlibat konflik dengan Kerajaan Funan (sekarang terletak di Kamboja) serta dengan Rinan (wilayah Vietnam utara yang saat itu masih dikuasai oleh Cina). Pasukan Champa kerap melakukan invasi ke wilayah-wilayah tadi supaya bisa memperoleh budak & harta rampasan perang.

Tahun 446, sebagai balasan atas seringnya Champa menyerang wilayah Dinasti Song Cina, pasukan Song melancarkan invasi besar-besaran ke ibukota Champa. Selain berhasil menduduki ibukota Champa, pasukan Song juga berhasil mendapatkan harta rampasan perang dalam wujud emas yang jumlahnya amat banyak. Pasca invasi tadi, Champa terpaksa menjadi negara bawahan Song.

Sejak periode yang sama, Champa juga mulai mengadopsi agama Hindu sebagai agama resmi kerajaan. Peninggalan-peninggalan Champa yang berupa patung, candi Hindu, & prasasti berbahasa Sansekerta umumnya berasal dari periode abad ke-5 & sesudahnya. Kompleks candi My Son di Vietnam tengah menjadi contoh lokasi di mana bangunan-bangunan peninggalan Champa masih berdiri hingga sekarang.


Kompleks candi My Son. (thomastravelvietnam.com)


ABAD 6 - 8 : INVASI PASUKAN CINA & NUSANTARA)

Tahun 542, wilayah Vietnam utara (Tonkin) melepaskan diri dari kekuasaan Cina menyusul timbulnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ly Bon. Champa lantas mencoba memperluas wilayahnya sendiri dengan cara menginvasi wilayah Tonkin. Namun serangan Champa tersebut berhasil dipukul mundur.

Tonkin sendiri pada akhirnya berhasil ditaklukkan kembali oleh Dinasti Sui Cina pada abad ke-6. Pasca kembalinya Tonkin ke tangan Cina, Cina melakukan invasi lanjutan ke wilayah Champa pada tahun 605 untuk memperkuat kekuasaan Cina di seluruh wilayah Vietnam.

Pasukan Champa yang dilengkapi dengan gajah lantas diterjunkan untuk menghentikan laju pasukan Cina tersebut. Namun pasukan Cina jauh lebih cerdik. Pada awalnya, pasukan Cina membangun lubang galian untuk menjebak pasukan gajah Champa. Saat hari pertempuran tiba, pasukan Cina berpura-pura mundur supaya pasukan Champa mengejar mereka.

Di tengah-tengah berlangsungnya pengejaran, ada gajah yang terperosok masuk ke dalam lubang sehingga gajah-gajah yang lain spontan merasa panik. Pasukan Cina kemudian menembaki kawanan gajah tadi dengan senjata pistol busur (crossbow). Akibatnya, gajah-gajah tersebut tidak bisa lagi dikendalikan & kemudian malah menginjak-injak prajurit Champa yang lain.

Ilustrasi gajah perang & prajurit Champa. (johnfish2 / pinterest.com)

Berkat keberhasilan tersebut, laju pasukan Cina ke ibukota Champa menjadi tidak terbendung. Tepat sebelum pasukan Cina tiba di ibukota Champa, Sambhuwarman selaku raja Champa sempat melarikan diri keluar ibukota. Ia baru kembali ke ibukota saat pasukan Cina sudah pergi meninggalkan wilayah Champa sambil membawa harta rampasan perang.

Tahun 629, Sambhuwarman meninggal dunia. Posisinya sebagai raja Champa kemudian digantikan oleh putranya, Kandarpadharma. Saat Kandarpadharma berkuasa, ia mencoba memperbaiki kembali hubungan antara Champa dengan Cina yang kini diperintah oleh Dinasti Tang.

Sudah disinggung sebelumnya kalau Champa memiliki lokasi geografis yang strategis karena terletak di antara jalur dagang India & Cina. Situasi tersebut lantas mengundang rasa tidak suka dari Kerajaan Sriwijaya di Indonesia yang ingin memonopoli jalur dagang setempat.

Atas sebab itulah, pasukan Sriwijaya sempat beberapa kali melakukan invasi ke wilayah Champa pada abad ke-8. Armada laut Champa di bawah pimpinan raja Satyawarman memang berhasil memukul mundur armada Sriwijaya. Namun akibat serangan tersebut, sejumlah candi milik Champa mengalami kerusakan.

Peta Champa & Sriwijaya (Srivijaya) di abad ke-11. (Javierfv1212 / wikipedia.org)

Sejak periode yang sama, kawasan pesisir Champa juga mulai banyak disinggahi oleh rombongan pedagang Muslim dari Asia Barat & India. Selain mereka, para penganut Syiah yang berasal dari Kesultanan Umayyah juga berdatangan untuk menetap di wilayah Champa. Kedatangan mereka sekaligus menandai masuknya agama Islam ke wilayah Champa.

Kendati jumlah penduduk Champa yang menganut agama Islam hanya segelintir, sebagian di antara mereka berhasil mendapatkan kepercayaan dari raja Champa untuk menempati posisi penting di pemerintahan, khususnya duta besar. Pada tahun 958 misalnya, Champa mengirim duta besarnya yang bernama Abu Hasan untuk mempersembahkan hadiah wangi-wangian kepada kaisar Cina.



ABAD 10 - 12 : JATUHNYA KAMBOJA KE TANGAN CHAMPA

Memasuki abad ke-10, Champa terlibat konflik segitiga dengan Khmer (Kamboja) di sebelah barat & dengan Annam / Dai Viet (Vietnam) di sebelah utara. Faktor ekonomi menjadi faktor utama yang memicu seringnya terjadi konflik di antara ketiganya. Pasalnya setiap kali pasukan salah satu negara berhasil menduduki kota milik negara rivalnya, mereka akan kembali ke negara asalnya sambil membawa pulang harta jarahan.

Pasukan Champa & negara-negara tetangganya pada masa itu umumnya didominasi oleh pasukan gajah & prajurit yang berjalan kaki. Namun situasi tersebut mulai berubah setelah pada tahun 1171, kapal yang dinaiki oleh petinggi militer asal Cina terdampar di pesisir Champa.

Saat sedang berada di Champa, petinggi asal Cina tersebut memperkenalkan senjata pistol busur (crossbow) beserta teknik penggunaannya di atas punggung kuda. Dengan bermodalkan pengetahuan baru tersebut, pasukan Champa yang kini dilengkapi dengan kavaleri pemanah kemudian diterjunkan untuk berhadapan dengan pasukan gajah Khmer.

Lukisan yang menggambarkan sosok gajah perang Khmer. (cambodiaexpatsonline.com)

Ikut terlibatnya pasukan kavaleri pemanah terbukti merupakan keputusan yang manjur. Karena kavaleri pemanah memiliki gerakan yang lincah & bisa menembakkan senjatanya dari jarak yang aman, pasukan Champa berhasil mengalahkan pasukan gajah milik Khmer di perbatasan kedua negara.

Merasa terkesan akan kemenangan tersebut, raja Champa berniat melatih lebih banyak prajurit kavaleri berkuda. Maka, ia kemudian mengutus petinggi asal Cina tadi untuk bepergian ke seantero wilayah Champa dengan maksud mengumpulkan kuda-kuda yang bisa digunakan sebagai hewan tunggangan kavaleri pemanah.

Setelah berkeliling menyusuri wilayah Champa, petinggi Cina tersebut kembali ke hadapan raja Champa sambil membawa kabar yang kurang mengenakkan. Menurut pengamatannya, kuda-kuda asli Champa memiliki fisik yang terlalu kecil & tidak cocok untuk dijadikan hewan tunggangan.

Mendengar hal tersebut, raja Champa kemudian mengirimkan sejumlah utusannya ke Pulau Hainan, Cina selatan, untuk membeli kuda-kuda yang ada di pulau tersebut. Saat penduduk setempat menolak, orang-orang Champa langsung merampas kuda-kuda milik penduduk Hainan secara paksa.

Saat pemerintah pusat Cina mendengar kabar tersebut, mereka merasa marah & melarang ekspor kuda ke wilayah Champa sejak tahun 1175. Akibat keluarnya keputusan tadi, Champa kini tidak bisa lagi memperoleh kuda dalam jumlah yang cukup untuk membentuk kavaleri pemanahnya sendiri.

Namun waktu tidak bisa ditawar. Pada tahun 1177, pasukan Champa yang dipimpin oleh raja Jaya Indrawarman IV memutuskan untuk melakukan invasi sesegera mungkin ke ibukota Khmer, Yasodharapura (dikenal juga dengan nama Angkor).

Dalam invasi ini, pasukan Champa memodifikasi senjata pistol busur miliknya supaya bisa menembakkan proyektil berukuran besar. Karena senjata baru ini terlalu besar jika harus dipanggul oleh manusia, pasukan Champa memasang pistol busur buatan mereka di atas punggung gajah & di atas roda.

Pasukan Champa yang sedang mengoperasikan ballista / pistol busur raksasa. (Wayne Reynolds)

Ukiran di Museum Da Nang yang menampilkan delman & prajurit pemanah Champa. (Daderot / wikipedia.org)

Ada 2 versi berbeda mengenai bagaimana jalannya invasi pasukan Champa ke ibukota Khmer. Menurut Prasasti Phimeanakas di Kamboja, pasukan Champa melakukan invasi memakai iring-iringan delman yang dinaiki oleh rombongan prajurit.

Namun kalau menurut Prasasti Prasat Chrung yang juga terletak di Kamboja, pasukan Champa menginvasi ibukota Khmer dengan cara menaiki armada kapal yang berlayar menyusuri Sungai Mekong & anak sungainya.

Apapun metode yang digunakan oleh pasukan Champa dalam melancarkan invasinya, invasi tersebut berujung pada hancurnya kota Angkor & tewasnya raja Khmer, Tribhuwanadityawarman. Jika itu masih belum cukup, Kerajaan Khmer sesudah itu juga terjerumus ke dalam perang saudara & konflik perebutan tahta.



ABAD 12 - 13 : SAAT CHAMPA BALIK DISERBU KAMBOJA & MONGOL

Tahun 1181, Jayawarman VII berhasil menjadi raja Khmer yang baru. Begitu berkuasa, Jayawarman berkomitmen mengalahkan Champa dengan segala cara supaya kerajaan tersebut tidak bisa lagi membawa ancaman bagi Khmer. Untuk mewujudkan ambisinya tersebut, Jayawarman mendapatkan bantuan dari seorang bangsawan sekaligus pembelot asal Champa yang bernama Sri Widyanandana.

Tahun 1190, setelah melakukan persiapan secara sembunyi-sembunyi selama bertahun-tahun, pasukan Khmer melakukan invasi ke ibukota Champa, Wijaya. Bak peribahasa "senjata makan tuan", pasukan Khmer yang terlibat dalam invasi ini juga melengkapi diri mereka dengan gajah yang mengangkut pistol busur raksasa. Invasi tersebut berhasil & Champa sesudah itu berbalik menjadi negara bawahan Khmer.

Relief di Candi Bayon, Kamboja, yang menampilkan prajurit Khmer saat mengoperasikan pistol busur di atas punggung gajah. (Wandalstouring / wikimedia.org)

Tahun 1215, Jayawarman meninggal dunia. Pasca wafatnya Jayawarman, Champa yang selama ini berada di bawah kendali Khmer berhasil mendapatkan kembali kemerdekaannya. Sejak kembali menjadi negara merdeka, ancaman bagi Champa sekarang bukan hanya datang dari negara-negara tetangganya, tetapi juga dari bangsa Mongol yang kini menguasai wilayah Cina dalam wujud Dinasti Yuan.

Tahun 1283, pasukan Mongol / Yuan melancarkan invasinya ke wilayah Vietnam. Pasukan Champa yang dilengkapi dengan gajah & ketapel raksasa (trebuchet) mencoba menghadang pasukan Mongol di pesisir Teluk Thi Nai. Namun karena pasukan Mongol jauh lebih berpengalaman & sudah terbiasa menghadapi aneka macam musuh, pasukan Champa harus mengalami kekalahan.

Pasca kekalahan tersebut, pasukan Mongol melanjutkan perjalanannya & berhasil menduduki ibukota Wijaya. Namun sebelum pasukan Mongol tiba, raja Indrawarman V berhasil melarikan diri terlebih dahulu ke pedalaman. Dari sana, ia bersama sisa-sisa pengikutnya melanjutkan perlawanan dengan memakai taktik gerilya.

Supaya memiliki cukup kekuatan untuk mengalahkan pasukan Mongol, Champa pada periode ini juga sepakat untuk bekerja sama dengan Dai Viet. Hasilnya, dengan memanfaatkan kondisi geografis Vietnam yang penuh dengan pegunungan & sungai, pasukan Dai Viet berhasil mengalahkan pasukan Mongol pada akhir dekade 1280-an.

Prajurit kavaleri Dai Viet di masa perang melawan Mongol. (Ptdtch / wikipedia.org)

Pasca mundurnya pasukan Mongol dari wilayah Vietnam, Jaya Simhawarman III selaku raja Champa giat menjalin persekutuan dengan negara-negara luar. Tujuannya tidak lain supaya Champa memiliki sekutu yang bisa diandalkan jika wilayahnya kelak kembali diinvasi oleh bangsa asing.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Jaya Simhawarman III / Che Man menikah dengan Putri Tapasi - adik Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari - pada tahun 1292. Saat pasukan Mongol melakukan invasi ke Pulau Jawa, Champa menolak memberikan izin kepada armada Mongol untuk berlabuh & mengisi perbekalan di wilayah Champa.

Tahun 1306, giliran putri mahkota Kerajaan Dai Viet (Vietnam) yang dinikahi oleh Jaya Simhawarman. Ia juga menyerahkan sebagian wilayah milik Champa kepada Dai Viet. Namun saat Jaya Simhawarman meninggal pada tahun 1307, hubungan antara Champa dengan Dai Viet kembali memburuk karena raja Champa yang baru meminta supaya Dai Viet mengembalikan wilayah yang sudah diserahkan oleh pendahulunya.

Abad ke-13 juga ditandai dengan singgahnya Marco Polo - penjelajah asal Italia - di wilayah Champa. Marco kemudian menuliskan catatan perjalanannya sambil menggambarkan kekayaan yang dimiliki oleh negara-negara Asia. Di kemudian hari, catatan buatan Marco Polo menjadi penyebab mengapa orang-orang Eropa - salah satunya Christopher Columbus - merasa tertarik untuk melakukan perjalanan jauh ke benua lain.



ABAD 14 :  MASA KEJAYAAN CHAMPA DI VIETNAM

Tahun 1360, Che Bong Nga / Po Binasuor naik menjadi raja baru Champa. Di bawah kepemimpinannya inilah, Champa yang awalnya berada di bawah bayang-bayang Dai Viet berhasil mengukuhkan kembali statusnya sebagai kekuatan regional setempat.

Setelah berhasil mengumpulkan cukup kekuatan, Che Bong Nga memimpin pasukan Champa melakukan invasi ke wilayah Dai Viet dari arah laut. Pada tahun 1371, dengan berlayar melalui muara Sungai Merah, kapal-kapal perang Champa berhasil mencapai Thang Long (ibukota Dai Viet yang sekarang bernama Hanoi) & kemudian memporak porandakan kota tersebut.

Kapal perang Champa. (weaponsandwarfare.com)

Dai Viet mencoba membalas serangan tersebut dengan cara balik menginvasi Wijaya (ibukota Champa) pada tahun 1378. Namun bukannya berhasil, serangan tersebut malah berujung pada tewasnya raja Dai Viet.

Dengan memanfaatkan kondisi Dai Viet yang kini tengah limbung usai kehilangan rajanya, Champa kembali menginvasi ibukota Dai Viet pada tahun yang sama. Sesudah berhasil menguasai ibukota Dai Viet, pemimpin Champa kemudian memaksa putra mahkota Dai Viet untuk menikah dengan putri Champa.

Keperkasaan yang ditunjukkan oleh militer Champa menyebabkan Dai Viet menyadari kalau mereka tidak akan bisa mengalahkan Champa dengan modal kekuatan yang mereka miliki sekarang. Maka, Dai Viet kemudian mengimpor aneka macam persenjataan berbasis mesiu dari Cina. Mulai dari senapan, panah roket, hingga meriam bambu.

Penggunaan senjata api oleh Dai Viet terbukti merupakan keputusan jitu karena pasukan Champa sebelum ini belum pernah berhadapan dengan senjata macam itu. Pasalnya selain bisa menewaskan sasarannya dari jarak jauh, senjata-senjata berbasis mesiu juga memiliki suara tembakan yang amat keras & bisa membuat panik prajurit musuh.

Contoh dari efektivitas senjata mesiu dapat dilihat di tahun 1390, tahun di mana Champa & Dai Viet kembali berperang 1 sama lain. Dalam perang tersebut, pasukan Dai Viet yang dilengkapi dengan senapan berhasil menewaskan Che Bong Nga yang sedang berada di atas kapalnya.


Raja Che Bong Nga dalam kondisi biasa (kiri) & saat pergi ke medan perang (kanan). (theodongsuviet2018 / facebook.com)


ABAD 15 : TAKLUKNYA CHAMPA DI TANGAN MUSUH LAMA

Pasca tewasnya Che Bong Nga, Dai Viet yang awalnya kerap menjadi bulan-bulanan Champa mulai berbalik menjadi pihak yang mendominasi lawannya. Tahun 1446 contohnya, pasukan Dai Viet melakukan invasi ke ibukota Champa & berhasil menahan rajanya. Kemudian pada tahun 1450, pasukan Dai Viet kembali menginvasi ibukota Champa & kembali ke negaranya sambil membawa pulang 33.500 tahanan perang.

Rentetan keberhasilan tadi ternyata masih belum membuat Dai Viet merasa puas. Pada akhir dekade 1460-an, Le Thanh Tong selaku pemimpin Dai Viet meminta supaya Champa menjadi negara bawahan Dai Viet & menyetor upeti secara berkala kepada Dai Viet. Saat pemimpin Champa menolak, Dai Viet kemudian mengirimkan pasukannya untuk menginvasi ibukota Champa pada tahun 1470.

Untuk mengantisipasi datangnya pasukan Dai Viet, Champa menyiagakan pasukannya di luar ibukota. Pasukan tersebut terdiri dari 100.000 prajurit & beberapa ekor gajah perang. Di lain pihak, pasukan Dai Viet terdiri dari 300.000 prajurit yang dilengkapi dengan gajah, meriam, & senapan.

Kalah jauh dalam hal jumlah & persenjataan, pasukan Dai Viet berhasil mengalahkan pasukan Champa. Sesudah itu, pasukan Dai Viet menerobos masuk ke dalam ibukota Champa dari arah timur & membumihanguskan kota tersebut. Dalam serangan tersebut, pasukan Dai Viet dilaporkan berhasil menewaskan lebih dari 50.000 prajurit Champa.

Setelah pasukan Dai Viet selesai melakukan penjarahan besar-besaran di kota Wijaya, pasukan Dai Viet kembali ke negaranya bersama dengan keluarga kerajaan Champa & 30.000 tahanan perang. Sementara wilayah Champa sesudah itu diserap ke dalam wilayah Dai Viet. Peristiwa ini sekaligus menandai runtuhnya Kerajaan Champa.

Pasca runtuhnya Kerajaan Champa, salah seorang jenderal Champa kemudian mendirikan kerajaan kecil yang bernama "Panduranga" di bekas wilayah Champa selatan. Ia sesudah itu menawarkan diri untuk tunduk pada pemimpin Dai Viet. Tawaran tersebut diterima & Panduranga sejak itu beroperasi sebagai daerah bawahan Dai Viet sekaligus kerajaan khusus etnis Cham hingga pembubarannya di abad ke-17.  -  © Rep. Eusosialis Tawon



REFERENSI

 - . "Champa". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

Barker, R.. 2011. "The Origin and Spread of Early-Ripening Champa Rice: It’s Impact on Song Dynasty China".
(thericejournal.springeropen.com/articles/10.1007/s12284-011-9079-6)

Budianto, E.E.. 2019. "Kisah Putri Campa dan Cikal Bakal Masuknya Islam ke Bumi Majapahit".
(news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4540293/kisah-putri-campa-dan-cikal-bakal-masuknya-islam-ke-bumi-majapahit)

Charney, M.W.. 2004. "Southeast Asian Warfare, 1300-1900" (hal. 173-174). Brill, Leiden, Belanda

Brayfor, A.. 2014. "The Cham: Descendants of Ancient Rulers of South China Sea Watch Maritime Dispute From Sidelines".
(www.nationalgeographic.com/science/article/140616-south-china-sea-vietnam-china-cambodia-champa)

Coedes, G.. 1975. "The Indianized States of Southeast Asia". Australian National University Press, Canberra, Australia.

Facts and Details. 2014. "Ancient Civilizations In Cambodia: Funan And Champa And The Chams".
(factsanddetails.com/southeast-asia/Cambodia/sub5_2a/entry-2839.html)

Kijewski, L.. 2019. "‘Beautifying Phnom Penh’: Muslim Cham face eviction in Cambodia".
(www.aljazeera.com/news/2019/12/13/beautifying-phnom-penh-muslim-cham-face-eviction-in-cambodia)

Kiernan, B.. 2007. "Blood and Soil: A World History of Genocide and Extermination from Sparta to Darfur" (hal. 102-112). Yale University Press, AS.

Maraini, F.. 2008. "Polo, Marco". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.

Momoki, S.. 1996. "A Short Introduction to Champa Studies".
(core.ac.uk/download/pdf/39312548.pdf)

Nakamura, R.. 2000. "The Coming of Islam to Champa" dalam "The Journal of the Malaysia Branch of the Royal Asiatic Society Volume LXXIII Part 1". Universiti Utara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.

Putri, R.H.. 2019. "Masyarakat Singhasari Pada Masa Kertanagara".
(historia.id/kuno/articles/masyarakat-singhasari-pada-masa-kertanagara-Dpgal/page/1)

Schafer, E.H.. 1985. "The Golden Peaches of Samarkand, Volume 2" (hal. 173). University of California Press, AS.

Schweyer, A.. 2013. "The Birth of Champa".
(halshs.archives-ouvertes.fr/file/index/docid/828812/filename/AVS_Birth_of_Champa_2012.pdf)

SLK. 2009. "The History of Cambodia from 1st Century to 20th Century".
(sokheounnews.files.wordpress.com/2010/05/6-history-of-jayavarman-vii.pdf)

The Independent. 2013. "5 ways elephants changed history: A brief history of stomping victories and disastrous reversals".
(www.independent.co.uk/voices/iv-drip/5-ways-elephants-changed-history-a-brief-history-of-stomping-victories-and-disastrous-reversals-8983414.html)

Turnbull, S.. 2001. "Siege Weapons of the Far East (1) AD 612–1300" (hal. 14-25). Osprey Publishing, Inggris.

Wade, G.. 2005. "Champa in the Song hui-yao: A draft translation".
(static.blog4ever.com/2009/05/313755/artfichier_313755_208099_201102063329985.pdf)

Weapons and Warfare. 2020. "Khmer History and Armies".
(weaponsandwarfare.com/2020/10/26/khmer-history-and-armies/)

Wikipedia. "Battle of Thị Nại Bay".
(en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Th%E1%BB%8B_N%E1%BA%A1i_Bay)

Wikipedia. "Chế Mân".
(en.wikipedia.org/wiki/Chế_Mân)
  






COBA JUGA HINGGAP KE SINI...



1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.